Risiko Ekonomi Pembangkit Listrik Gas

Bakhrul Fikri
Oleh Bakhrul Fikri
8 Mei 2025, 07:05
Bakhrul Fikri
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memasukkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2040 akan menyebabkan upaya transisi ke energi bersih terhambat. PLTG merupakan pembangkit berbahan bakar fosil. 

Di dalam rancangan program accelerated renewable energy development (ARED) disebutkan, PLN berencana membangun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan sebesar 75%. Namun, 25% sisanya akan didukung melalui pembangunan PLTG berkapasitas mencapai 22 GW. 

Data Global Energy Monitor pada Januari 2025 mencatat, terdapat proyek pembangunan pembangkit gas fosil PLN sebesar 2,68 GW dengan status diumumkan, pra konstruksi, dan konstruksi. Dalam studi terbaru Celios dan Greenpeace calon pembangkit gas fosil ini berpotensi menyumbang CO2 hingga 5,97 juta ton dan metana (CH4) mencapai 5.332 ton per tahun. 

Jika merujuk kepada rencana pembangunan pembangkit gas fosil dalam program ARED yang mencapai 22 GW, maka akan ada potensi lonjakan CO2 hingga 49,02 juta ton dan CH4 hingga 43.769 ton per tahun.

Gas Fosil Bukan Solusi Transisi Energi

Klaim pembangkit gas fosil lebih ramah lingkungan dibandingkan pembangkit batubara perlu diuji. Terdapat ancaman yang lebih serius dari karbon dioksida yang dihasilkan pembangkit gas yaitu metana. 

Menurut studi EMBER 2023, metana dapat memerangkap suhu panas di atmosfer 82,5 kali lebih banyak dibandingkan karbon dioksida dalam periode 20 tahun. Akibatnya, dapat mempercepat peningkatan suhu global dalam jangka pendek. 

Tingginya emisi metana dari pembangkit gas fosil juga disebabkan dari jenis bahan bakarnya yang memang merupakan campuran hidrokarbon dengan komponen di dalamnya seperti metana dan etana. Artinya skema peralihan penggunaan batu bara ke gas fosil sebagai dalih transisi adalah solusi yang problematik.

Ironinya, pemerintah justru mendukung penggunaan gas fosil dalam berbagai lini melalui Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 249.K/MG.01/MEM.M/2022 tentang penugasan pelaksanaan penyediaan pasokan dan pembangunan infrastruktur liquified natural gas (LNG). 

Padahal secara keekonomian gas fosil justru akan banyak membebani keuangan negara baik dalam jangka pendek maupun panjang. Ini disebabkan dari tingginya volatilitas harga gas alam yang akan berdampak terhadap perubahan kontrak, penyesuaian alokasi subsidi dan kompensasi secara drastis, dan tekanan pada sisi inflasi jika naiknya harga gas fosil diteruskan ke konsumen akhir.

Ancaman Nyata terhadap Ekonomi dan Kesehatan

Alih-alih menjadi solusi dalam masa transisi energi, pembangkit gas fosil –yang menggunakan teknologi turbin gas maupun siklus gabungan—justru menimbulkan dampak berganda negatif terhadap perekonomian nasional dan kesehatan. 

Studi Celios dan Greenpeace mengungkap dampak ekspansi pembangkit gas fosil hingga 22 GW dengan teknologi siklus gabungan akan menyebabkan output ekonomi anjlok sebesar Rp280,9 triliun, dan pertumbuhan ekonomi berisiko turun Rp154,3 triliun. 

Dampak lanjutan dari ekspansi pembangkit gas tercermin pada proyeksi kontraksi keuntungan dunia usaha sebesar Rp25,3 triliun dan turunnya angka serapan tenaga kerja mencapai 2,43 juta jiwa pada 2040. 

Sementara pembangkit gas fosil berteknologi turbin gas berpotensi menimbulkan kerugian lebih signifikan bagi output ekonomi nasional mencapai Rp941,4 triliun, penurunan pertumbuhan ekonomi hingga Rp603,6 triliun, kerugian dunia usaha mencapai Rp221,1 triliun, dan turunnya serapan kerja mencapai Rp6,76 juta jiwa.

Secara spesifik kerugian tersebut disebabkan dari dampak kerusakan lingkungan yang memiliki korelasi negatif terhadap sektor pertanian, perkebunan dan perikanan. Operasional pembangkit listrik biasanya menggunakan air danau, sungai, dan sumber air tanah untuk proses pendinginan. Public service commission of wisconsin menyatakan bahwa konsumsi air ini dapat mengurangi debit air di sekitar pembangkit. 

Pada kasus di Indonesia, dampak pemanfaatan gas alam sebagai pembangkit dapat memicu kekeringan yang berujung pada gagal panen, terutama di sektor pertanian dan perkebunan. Belum lagi gas metana yang dilepaskan ke atmosfer, memperparah peningkatan suhu udara dan memicu kemarau panjang. Sehingga produktivitas pertanian dan perkebunan turun secara signifikan, mengancam ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat. 

Dampak dari ekspansi pembangkit gas fosil sebesar 22 GW juga membebani perekonomian dari sisi biaya kesehatan masyarakat yang berpotensi melonjak hingga Rp249,8 triliun per tahun. Faktor utamanya adalah paparan polutan udara berbahaya seperti NOx, PM 2,5, dan ozone. 

Studi yang dilakukan oleh health and environment alliances (HEAL) menunjukkan bahwa pada tahun 2019 terdapat lebih dari 2.864 kematian dini di 27 negara anggota Uni Eropa dan Inggris Raya akibat paparan polutan udara berbahaya dari pembangkit gas fosil. Potensi beban biaya kesehatan akibat ketergantungan pada gas fosil pada tahun tersebut mencapai 8,7 miliar euro atau setara dengan Rp137,77 triliun (kurs rata-rata 2019 Rp15.836).

Stop Mitos Gas Fosil, Fokus di Terbarukan

Temuan-temuan tersebut membuktikan bahwa ekspansi gas fosil dapat menjadi jembatan ke energi terbarukan hanyalah mitos belaka. Justru sebaliknya Indonesia akan terjebak ke dalam skema Fossil Gas Lock-in, yang tentu akan membuat capaian net zero emission 2060 hanya menjadi utopia. 

Justru sebaliknya potensi stranded assets-yakni fasilitas pembangkit gas fosil yang kehilangan nilai ekonominya sebelum umur operasionalnya habis-akan semakin besar. Ini tidak hanya membebani keuangan negara dan investor, tetapi juga menghambat alokasi anggaran untuk pengembangan energi terbarukan yang jauh lebih bersih dan berkelanjutan.

Alih-alih fokus pada pembangkit gas alam, studi Celios dan 350.org menunjukkan bahwa potensi energi terbarukan justru lebih menguntungkan bagi perekonomian selama 25 tahun. Secara agregat kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat mencapai Rp10.529 triliun, keuntungan dunia usaha Rp9.750 triliun, dan menyerap tenaga kerja hingga 96 juta orang. 

Transisi energi terbarukan berarti transisi ekonomi karena memperbesar peluang transformasi ekonomi dari yang sebelumnya berbasis fosil menjadi ekonomi hijau yang berkelanjutan, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas. Fokus pada pengembangan energi terbarukan misalnya yang berbasis komunitas dapat mendorong pemerataan akses energi, penguatan ekonomi lokal, serta peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola sumber daya energi secara mandiri. 

Tidak hanya menjadi solusi teknis terhadap krisis iklim, potensi energi terbarukan berbasis komunitas juga dapat menjadi jalan keluar dari ketimpangan ekonomi. Oleh karena itu, rencana ekspansi pembangkit gas fosil harus dibatalkan dalam skema transisi energi di Indonesia khususnya pada RUPTL yang meluncur di 2025 ini.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Bakhrul Fikri
Bakhrul Fikri

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...