Mengapa Negara Diam ketika Keputusan Inovatif BUMN Dikriminalisasi?
Dalam lanskap korporasi modern, direksi adalah penentu dan pelaksana strategis perusahaan yang memikul harapan perseroan, termasuk kepada pemegang saham. Pada diri merekalah keberanian mengambil risiko dilekatkan, sebab tanpa keberanian, tidak ada kemajuan, tanpa keputusan, tidak ada nilai yang tercipta. Namun, Indonesia hari ini memperlihatkan tragedi menarik, keberanian inovatif itu justru dihukum. Dan lebih ironis lagi, hukuman itu dijatuhkan ketika karya tersebut menghasilkan keuntungan terbesar yang pernah dicatat perusahaan. Kasus yang menimpa Ira Puspadewi, Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), menjadi potret paling telanjang dari paradoks itu.
Business Judgment Rule: Pilar yang Diabaikan
Dalam hukum korporasi ada satu prinsip penting, Business Judgment Rule (BJR). Prinsip ini hadir sebagai pengakuan bahwa bisnis adalah arena ketidakpastian. Tidak ada keputusan bisnis yang steril dari risiko, dan tidak ada pemimpin korporasi yang dijamin luput dari salah perhitungan. BJR melindungi setiap keputusan bisnis yang dibuat dengan itikad baik, kehati-hatian dan berdasarkan informasi yang cukup untuk kepentingan perseroan. Ini bukan sekadar norma, ia adalah fondasi yang memungkinkan manajer profesional untuk berkreasi. Tanpa perlindungan ini, direksi akan hidup dalam ketakutan terhadap kriminalisasi atas setiap keputusan bisnis yang berani dan inovatif.
Keputusan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh ASDP berada dalam kerangka ini, perluasan armada, posisi pasar yang semakin kuat, dan pada akhirnya adalah laba tertinggi dalam sejarah perusahaan. Indikator objektif tidak menunjukkan pengkhianatan terhadap perusahaan—jika pun ada, yang tampak justru keberhasilan secara strategis. Lalu mengapa keberhasilan itu berujung pada dakwaan pidana?
Memidana seseorang atas “korupsi” padahal tidak ada aliran dana ke dirinya, tidak ada keuntungan pribadi, tidak ada mens rea dan keputusan itu justru menghasilkan keuntungan bagi perusahaan, bukanlah hanya problem hukum melainkan runtuhnya akal sehat. Kalau tidak ada aliran dana yang dinikmati, tidak ada keuntungan yang mengalir, tidak ada motif memperkaya diri — apa yang diadili? Niat jahat tidak terbukti, keuntungan pribadi tidak ada, kerugian negara, justru perusahaan untung. Ini membuat logika pemidanaan absurd, dan ketika logika kabur maka keadilan ikut runtuh.
Seorang direksi diukur dari keberanian mengambil risiko yang wajar, bukan dari kemampuan menghindari semua ketidakpastian. Dan di sini letak absurditasnya, keputusan yang menghasilkan laba tertinggi dalam sejarah ASDP, keputusan yang menambah armada dan memperkuat posisi pasar, keputusan yang berjalan sesuai kewenangan korporasi, malah dijadikan dasar pemidanaan.
Seperti kata Aristoteles, keadilan adalah menempatkan setiap hal pada tempatnya yang benar. Korupsi ditempatkan pada ranah keserakahan, keputusan bisnis ditempatkan pada ranah pertimbangan ekonomi dan kinerja direksi ditempatkan pada penciptaan nilai perusahaan. Ketika keputusan bisnis ditarik pada ranah pidana tanpa motif korupsi, maka rasionalitas tertukar, dan keadilan tercerabut dari maknanya. Apa yang terjadi pada Ibu Ira bukan sekadar putusan, ini adalah anomali epistemik—salah baca terhadap realitas.
“Jika tidak ada keuntungan pribadi, lalu di mana letak corrupt intent-nya?” Tanpa niat jahat, tanpa illegal enrichment, tanpa self-dealing, maka konstruksi “korupsi” berubah menjadi kriminalisasi risiko bisnis dan keputusan strategis. Ini bukan lagi penegakan hukum, ini pelebaran makna korupsi yang liar dan jahat.
Negara sebagai Pemegang Saham: Diam yang Membisu
Dalam struktur BUMN, negara sebagai pemegang saham yang juga Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) hadir melalui formal organ, dalam hal ini dikuasakan kepada Menteri BUMN, yang secara hukum memiliki hak dan kewajiban untuk memastikan perusahaan berjalan dalam logika korporasi. Ketika direksi dianggap salah langkah, hukum korporasi menyediakan mekanisme yang layak, antara lain RUPS dapat memberhentikan, mengevaluasi direksi, atau bahkan sebagai pemegang saham dapat menggugat direksi melalui derivative suit maupun personal right claim. Semua mekanisme itu bekerja di dalam ruang hukum korporasi, bukan di ruang pidana. Pun sebaliknya, ketika direksi membuat perusahaan berperforma baik, sudah selayaknya pemegang saham memuji, mempetahankan dan membelanya.
Sayangnya, dalam kasus ASDP, negara sebagai pemegang saham maupun RUPS—baik Presiden Kepala Pemerintahan pemegang kekuasaan pengelolaan BUMN, atau melalui Kementerian BUMN maupun Danantara yang baru dibentuk—nyaris tidak bersuara. Tidak ada penegasan bahwa keputusan bisnis tidak boleh dikriminalisasi. Tidak ada pernyataan lantang bahwa direksi yang berprestasi berhak mendapat perlindungan dari kriminalisasi. Bahkan tidak ada penjelasan publik atas nilai perusahaan yang justru meningkat setelah keputusan tersebut. Sebuah keheningan yang terlalu bising untuk diabaikan.
Ketika Diam Menjadi Preseden yang Berbahaya
Diamnya negara sebagai pemegang saham dan RUPS bukanlah sikap bijak. Diam adalah preseden. Dan preseden itu berbahaya. Ia menyampaikan pesan kepada seluruh direksi BUMN, “Beranilah menciptakan nilai dan inovasi, tapi bersiaplah dihukum.” Ironisnya, di saat negara mengejar profesionalisme BUMN, diamnya pemegang saham menghancurkan fondasi psikologis profesionalisme itu sendiri. Direksi yang inovatif menjadi ragu. Para kandidat profesional yang semula bertalenta akan berpikir dua kali sebelum menerima jabatan. Bagaimana mungkin negara berharap BUMN bergerak lincah dalam kompetisi regional bila para pengambil keputusan hidup dalam ketakutan?
Negara bukan sekadar pemilik saham atau RUPS, ia adalah metafora dari kehendak kolektif. Pemegang saham negara idealnya mencerminkan kebijaksanaan yang melindungi, mengawasi, dan mengarahkan tanpa menindas kreativitas organ yang menjalankan perusahaan. Tetapi ketika pemegang saham memilih bungkam saat direksi yang inovatif dijerat pidana atas keputusan bisnis, negara tampak kehilangan refleksi dirinya. Negara seolah lupa bahwa keberanian berbisnis adalah aset, bukan ancaman; inovasi membutuhkan ruang, bukan hukuman; dan keputusan strategis tidak boleh diperlakukan sebagai tindak kriminal kecuali ada bukti nyata niat jahat. Prinsip korporasi mengingatkan kita bahwa nilai tidak diciptakan oleh ketakutan, melainkan oleh keberanian mengambil langkah yang tepat.
Oleh karena itu, pemegang saham wajib melindungi integritas direksi profesional yang mengambil keputusan bisnis dengan itikad baik. Suara pemegang saham adalah jangkar moral korporasi. Dan jangkar itu seharusnya diturunkan, bukan ditinggalkan melayang. Kasus ASDP bukan hanya tentang satu direksi. Ia adalah cermin masa depan:
- Apakah BUMN akan benar-benar menjadi perusahaan yang dikelola secara profesional?
- Atau justru BUMN menjadi institusi yang memenjarakan inovasi dengan ketakutan?
- Apakah negara berani berdiri membela keputusan bisnis yang sah?
- Atau akan terus membiarkan definisi “korupsi” menjadi elastis hingga merusak logika korporasi itu sendiri?
Keadilan bukan hanya tentang hukuman, tetapi tentang menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Dan meletakkan keputusan bisnis yang telah menghasilkan nilai di ruang pidana tanpa bukti niat jahat adalah ketidakadilan terhadap logika, profesionalisme dan masa depan BUMN itu sendiri. Negara sebagai pemegang saham harus berbicara. Karena diam adalah bentuk kezaliman yang paling halus.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
