Bencana Tapanuli: Tragedi Ekologis dan Impunitas Korporasi

Dian Purba
Oleh Dian Purba
5 Desember 2025, 06:05
Dian Purba
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Banjir besar dan tanah longsor yang melanda wilayah Tapanuli pada November 2025, yang mengakibatkan banyak korban jiwa, hancurnya bangunan, dan kerugian ekonomi yang besar, sering kali disajikan sebagai musibah yang tak terhindarkan akibat hujan yang sangat deras. Cerita yang menempatkan faktor cuaca sebagai satu-satunya “biang keladi” ini adalah cerita yang menyesatkan. 

Tragedi Tapanuli bukanlah sekadar bencana alam biasa, melainkan sebuah bencana lingkungan yang diperburuk oleh lemahnya tata kelola dan kebal hukumnya perusahaan besar (korporasi) di kawasan penyangga utama, yaitu Ekosistem Batang Toru. Sudut pandang ini harus didasarkan pada pemahaman bahwa Ekosistem Batang Toru—yang mencakup Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara —adalah kawasan hutan tropis yang berfungsi sebagai “penyerap air raksasa” untuk menahan air dan mengikat tanah. Ketika fungsi alami ini dirusak, setiap hujan lebat akan berubah dari anugerah menjadi pemusnah.

Kerusakan Terstruktur dan Penggusuran Hak Rakyat

Kerusakan di Batang Toru bukanlah kejadian alamiah. Data dan hasil investigasi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam laporannya mengenai Tragedi Tapanuli (2025) secara tegas menyebutkan setidaknya tujuh perusahaan sebagai “biang bencana” karena kegiatan eksploitasi mereka yang merusak tutupan hutan Batang Toru. 

Ketujuh perusahaan ini bergerak di sektor tambang emas, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), panas bumi (Geothermal), serta perkebunan kayu dan kelapa sawit. Secara spesifik, perusahaan-perusahaan yang disorot termasuk PT Agincourt Resources (Tambang Emas Martabe), Proyek PLTA Batang Toru (PT North Sumatera Hydro Energy/NSHE), PT Toba Pulp Lestari (TPL), PTPN III, dan PT Sago Nauli Plantation.

Walhi mengidentifikasi bahwa PT Agincourt Resources disorot karena mengurangi tutupan hutan sekitar 300 hektare di DAS Batang Toru, sementara lokasi Tailing Management Facility (TMF) yang dekat dengan Sungai Aek Pahu menyebabkan air sungai keruh saat musim hujan. Proyek PLTA Batang Toru menghilangkan lebih dari 350 hektare tutupan hutan di sepanjang 13 km sungai, memicu fluktuasi debit sungai dan sedimentasi tinggi dari limbah galian terowongan. Selain itu, PT Toba Pulp Lestari mengubah ratusan hingga ribuan hektare hutan menjadi perkebunan eukaliptus, yang turut memicu banjir bandang, sementara pembukaan lahan sawit oleh PTPN III dan PT Sago Nauli Plantation juga berkontribusi pada kerusakan. Kerusakan ekosistem ini secara kolektif memperparah banjir dan longsor di wilayah yang menjadi habitat orangutan tapanuli dan harimau sumatera.

Inilah titik awal kritik yang paling tajam: bencana di Tapanuli adalah bukti nyata dari teori “kekuasaan penggusuran” (powers of exclusion), sebagaimana dianalisis oleh Hall, Hirsch, dan Li (2011). Pembangunan industri besar, seperti Tambang Emas Martabe (yang mengurangi hutan sekitar 300 hektare) dan Proyek Strategis Nasional PLTA Batang Toru (yang menghilangkan lebih dari 350 hektare hutan di sepanjang sungai), secara sengaja mengabaikan peran Ekosistem Batang Toru sebagai penjamin kehidupan dan pengendali bencana. Kawasan yang seharusnya menjadi hutan pelindung air malah diubah menjadi zona produksi dan mencari keuntungan. 

Perubahan paksa bentang alam ini mencerminkan bagaimana kehidupan yang “lebih dari manusia,” termasuk kemampuan sungai dan hutan sebagai sistem pencegah bencana, dihilangkan dan dikesampingkan oleh kepentingan satu jenis ekonomi perusahaan (Sophie Chao, 2022). Cara kerja tambang Martabe dan PLTA secara mendasar merusak hubungan alam yang harmonis, mengubah Hutan Batang Toru dari penyangga kehidupan menjadi sumber kekacauan air.

Konsesi perusahaan di Batang Toru adalah bentuk perampasan tanah secara sistematis: meskipun masyarakat mungkin tidak sepenuhnya diusir dari rumah mereka, fungsi produktif dan pelindung dari tanah dan ekosistem di sekitarnya telah “direbut” oleh kepentingan eksploitasi, yang pada akhirnya memicu banjir dan longsor. Kasus Tapanuli menunjukkan bagaimana tata kelola ruang dan izin lingkungan memihak pada kepentingan pemodal, mengabaikan ketahanan pangan, dan menghancurkan ruang hidup masyarakat di daerah hilir. 

Dalam konteks plantation life yang dikuasai perusahaan (Li dan Semedi, 2021), masyarakat lokal dipaksa menanggung risiko terbesar dari kegiatan di hulu, yaitu kehilangan nyawa, harta, dan mata pencaharian. Kegagalan ini tidak lepas dari sejarah kebijakan pertanahan Indonesia, di mana upaya reformasi agraria sering kali tidak tuntas atau bahkan dibatalkan oleh kebijakan sektoral yang mendukung modal besar (Noer Fauzi Rachman, 2009). Akibatnya, kewenangan negara dalam mengeluarkan izin HGU atau konsesi tambang di Batang Toru cenderung mengesampingkan hak-hak bersama masyarakat yang secara turun-temurun mengelola kawasan itu.

Kekebalan Hukum dan Gagalnya Pencegahan

Kerusakan Ekosistem Batang Toru telah lama menjadi perhatian serius , dan Walhi berulang kali mengingatkan bahwa penggundulan hutan, tingginya endapan lumpur akibat pembuangan galian terowongan PLTA, dan kayu-kayu besar yang hanyut saat luapan Sungai Batang Toru adalah pemicu bencana. Ini mengarah pada kritik paling tajam: negara telah gagal melindungi hutan terakhir Batang Toru dan mengabaikan upaya pencegahan bencana (mitigasi). Peningkatan risiko yang tercantum dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)—seperti perubahan pola aliran sungai, peningkatan air larian, dan hilangnya tumbuhan—tidak ditangani secara serius. 

Bencana ini adalah cerminan dari kegagalan sistem, di mana kebijakan tata ruang, pengawasan izin, dan aturan lingkungan selama ini lebih memberikan tempat bagi kerusakan dibandingkan perlindungan. Kegagalan pencegahan ini sesungguhnya merupakan bagian dari mekanisme kekebalan hukum itu sendiri, di mana risiko yang diciptakan oleh perusahaan dialihkan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan alam.

Kekebalan hukum perusahaan di Tapanuli semakin kuat karena adanya kerja sama struktural antara pemerintah dan pemilik modal. Kasus ini mencerminkan apa yang disebut sebagai kejahatan negara-korporasi (state-corporate crime), di mana negara secara langsung atau tidak langsung memfasilitasi kejahatan lingkungan demi keuntungan. Ketidakmampuan pemerintah untuk mencabut atau membekukan izin perusahaan yang terbukti merusak menunjukkan adanya “persekongkolan kepentingan” di balik proyek-proyek eksploitasi. Selain itu, proses penyelesaian sengketa lingkungan sering kali tidak adil, lambat, dan cenderung memihak pada kekuatan politik-ekonomi perusahaan, membatasi akses warga terhadap keadilan (David Nicholson, 2009).

Menuntut Pertanggungjawaban Negara dan Korporasi

Bencana Tapanuli harus menjadi waktu untuk menuntut pertanggungjawaban, bukan sekadar mengirimkan bantuan. Tragedi ini menuntut perombakan total sistem hukum pertanahan dan lingkungan yang berlaku. Kegagalan negara dalam menjadikan pengadilan sebagai sarana efektif untuk melindungi hak-hak lingkungan masyarakat adalah pilar utama kekebalan hukum perusahaan. 

Pemerintah harus segera menghentikan kegiatan eksploitasi di Ekosistem Batang Toru, mengevaluasi dan mencabut izin-izin yang terbukti merusak, serta menutup perusahaan yang telah mengorbankan fungsi alam demi keuntungan. Jika negara gagal bertindak tegas terhadap tujuh perusahaan yang terindikasi menyebabkan kerusakan, ini adalah bukti kekebalan hukum yang sempurna: para pelaku utama perusakan lingkungan dibiarkan lepas dari tanggung jawab, sementara rakyat di hilir menanggung duka dan kerugian. 

Bencana ini adalah peringatan keras bahwa masa depan Sumatera Utara akan semakin terancam oleh bencana lingkungan jika model pembangunan yang eksploitatif dan mengesampingkan rakyat ini tidak segera dihentikan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Dian Purba
Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...