“Sampai saat ini perusahaan dan produksi masih berjalan seperti biasa, tidak mengalami gangguan,” kata Manajer Humas Duniatex Group Donalia S Erlina di Jakarta, Rabu lalu, seperti dikutip dari Antara.

Kesulitan keuangan Duniatex awalnya muncul pada salah satu entitasnya, PT Delta Dunia Sandang Tekstil. Perusahaan ini gagal menunaikan kewajiban membayar bunga senilai US$ 13,4 juta pada 10 Juli lalu. Nilai utangnya mencapai US$ 260 juta dari sindikasi 14 bank, dipimpin oleh HSBC dan BNP Paribas.

“Penyebab gagal bayarnya memang likuiditas, salah satunya karena perang dagang AS dan Tiongkok yang berimbas penurunan marjin,” kata Fransiscus Alip, konsultan keuangan AJ Capital Advisory.  

Alip memastikan kupon pertama obligasi Delta Merlin akan dibayar oleh perusahaan pada September 2019. “Uang senilai US$ 12,9 juta sudah tersedia di rekening penampungan bunga (interest reserve account) dan akan dibayar sesuai tanggal yang ditetapkan,” ucapnya.

Untuk mengatasi masalah internalnya, Delta Dunia telah melakukan sejumlah langkah efisiensi, seperti mengurangi kapasitas produksi dan lembur karyawan. Alip memastikan kondisi yang dihadapi oleh Delta Dunia tak berkolerasi dengan obligasi Delta Merlin.

Namun, menurut Fitch, gagal bayar Delta Dunia akan mempersulit upaya Delta Merlin mencari pinjaman baru untuk menutup utangnya. Jika perusahaan memiliki kewajiban lain di luar obligasi dolarnya senilai lebih dari US$ 10 juta, maka hal itu bisa memicu klausul gagal bayar (default) terhadap obligasinya.

(Baca: Gagal Bayar Obligasi, Duniatex Punya Mal hingga Rumah Sakit)

tekstil
Efek perang dagang membuat industri tekstil dalam negeri kebanjiran produk Tiongkok.  (Katadata | Arief Kamaludin)

Potensi Kenaikan Ekspor Tekstil ke AS

Pemerintah melihat masih ada potensi di tengah eskalasi perang dagang. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menargetkan ekspor tekstil ke AS tahun ini bisa naik 20%. “Jadi, kami melihat peluang dengan mengambil market share dari Tiongkok,” katanya pekan lalu di Gedung DPR RI, Jakarta.

Menurut data Badan Pusat Statistik, pakaian jadi merupakan salah satu andalan ekspor nonmigas Indonesia. Terlihat dalam grafik Databoks berikut ini, AS merupakan negara tujuan ekspor konveksi terbesar, diikuti oleh Jepang dan Jerman.

Potensi ini juga dilihat oleh PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex. “Perang dagang merupakan opportunity bagi Indonesia khususnya di bagian garment atau pakaian jadi,” kata Wakil Direktur Utama Sritex Iwan Kurniawan Lukminto ketika dihubungi Katadata.co.id.

Perusahaan yang mengawali bisnisnya di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah itu mencatat kontribusi penjualan ke AS dan Amerika Latin naik 3,2 kali lipat pada semester I-2019. Nilainya mencapai 13,6% dari total ekspor yang mencapai US$ 51,35 juta dari US$ 15,98 juta pada tahun sebelumnya.

Produk tekstil dan pakaian jadi tumbuh tertinggi pada kuartal kedua tahun ini. Perusahaan yang memasok pakaian untuk merek terkenal seperti Uniqlo dan Zara itu juga mencatat penjualan paling dominan adalah benang dengan kontribusi 40,1% terhadap total penjualan semester lalu.

Iwan menilai potensi Indonesia masih sangat besar kalau dilihat dari kapasitas manufakturnya. Namun, untuk bersaing dengan negara lain perlu peran negara dalam meningkatkan daya saing ekspor. “Secara kebijakan masih ada yang bisa diintegrasikan antar-kementerian agar dapat membuka jalan bagi pengusaha di bidang tekstil dan produk tekstil (TPT),” ucapnya.

(Baca: Jokowi "Ultimatum" Para Menteri Buat Kebijakan Pacu Investasi & Ekspor)

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat sudah melihat tanda-tanda dampak perang dagang terhadap industri tekstil Tanah Air sejak tahun lalu. “Begitu perang itu mulai, langsung banjir produk Cina,” katanya.

Di era proteksionisme seperti sekarang, menurut dia, pemerintah harus melindungi pasar dalam negeri dari serbuan produk asing tersebut. Apalagi mata uang Tiongkok juga terindikasi melemah, hal ini akan membuat produknya semakin murah dan mudah diakses pasar.

Bentuk perlindungan itu dapat berupa pengenaan tarif. Ade mengusulkan agar industri di hulu mendapat tarif 2,5% plus bea masuk. Sedangkan, di hilirnya paling besar bisa terkena tarif hingga 18%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement