Belakangan, KPK kembali menetapkan dua tersangka, yakni Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa dan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Tbk. Bartholomeus Toto. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan Iwa diduga meminta uang Rp1 miliar kepada Neneng Rahmi Nurlaili terkait pengurusan Peraturan Daerah RDTR Kabupaten Bekasi 2017. RDTR itu menjadi bagian penting untuk mengurus pembangunan proyek Meikarta, di Kabupaten Bekasi. 

Awalnya, pada 2017 Neneng Rahmi menerima sejumlah uang yang kemudian diberikan ke beberapa pihak untuk memperlancar proses pembahasan Perda RDTR. Setelah Rancangan Perda diajukan, Neneng Rahmi diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR bertemu pimpinan DPRD. “Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari pimpinan DPRD terkait pengurusan tersebut," kata Saut di kantornya, Jakarta, Senin (29/7).

(Baca: Beri Izin Meikarta, DPRD Bekasi Dibiayai Liburan & Disuap Rp 1 Miliar)

Setelah disetujui oleh DPRD, Raperda ini dikirim ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, untuk dibahas. Namun, Raperda itu tidak segera dibahas oleh kelompok kerja (Pokja) Badan Koordinasi Penataan ruang Daerah (BKPRD). Neneng Rahmi mendapatkan informasi bahwa Iwa Karniwa meminta uang Rp 1 miliar untuk memperlancar pembahasan Raperda RDTR di tingkat pemprov.

Permintaan ini pun diteruskan kepada salah satu karyawan Lippo Cikarang. Beberapa waktu kemudian, pihak Lippo menyerahkan uang kepada Neneng Rahmi. "Sekitar Desember 2017 dalam dua tahap, Neneng Rahmi melalui perantara menyerahkan uang pada tersangka IWK (Iwa) dengan total Rp 900 juta terkait dengan pengurusan RDTR di Provinsi Jawa Barat," kata Saut.

Selain Iwa, KPK juga menjerat Bartholomeus Toto sebagai tersangka perkara yang sama. Dia diduga menyetujui setidaknya lima kali pemberian uang kepada Bupati Bekasi Neneng Hasanah, dalam bentuk Dolar Amerika Serikat dan Rupiah dengan total Rp 10,5 miliar.  

(Baca: Mantan Anak Buah Aher Jadi Tersangka Suap Meikarta)

Setelah serangkaian proses yang sudah dilakukan hingga ke pengadilan, KPK masih tetap melakukan pengembangan kasus tersebut. Kini, KPK mulai mengarahkan kasus ini bukan hanya pada individu yang terlibat, melainkan meluas menjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi.

Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, cukup mudah bagi KPK membuktikan kejahatan korporasi dalam kasus suap perizinan proyek Meikarta. Yang diuntungkan dalam kasus ini adalah korporasi, yakni Lippo Cikarang, bukan individu.

“Apalagi sejumlah pelaku juga melakukan pengulangan perbuatan dengan menguntungkan korporasi yang sama,” ujarnya di Jakarta, Rabu (31/7).

Setelah 16 Tahun, KPK Baru Berhasil Ungkap Kejahatan Korporasi

Sejak didirikan pada 2002, KPK baru pertama kali membuktikan kejahatan korporasi pada tahun lalu. Saat itu, KPK menjerat PT Duta Graha Indah (DGI) yang kini bernama PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE) melakukan tindak pidana korupsi. Perusahaan ini divonis denda Rp 700 juta dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 85,49 miliar.

Selain itu, KPK memproses empat korporasi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya adalah PT Nindya Karya (Persero) dan PT Tuah Sejati dalam kasus dugaan korupsi pembangunan dermaga bongkar. PT Tradha dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang. Kemudian perusahaan milik suami artis Ineke Koesherawati, PT Merial Esa, dalam kasus suap pengesahan anggaran proyek satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla).

KPK menilai pemidanaan korporasi adalah sebuah hal yang penting. Apalagi 80 persen korupsi yang terjadi di Indonesia melibatkan perusahaan atau pengusaha sebagai pelakunya. Dalam tindak pidana korupsi, ada persekongkolan antara penguasa dan pengusaha.

 (Baca: KPK Tetapkan Korporasi sebagai Tersangka Kasus TPPU)

Ke depan, KPK berkomitmen akan lebih intensif berupaya mengungkap tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan selama ini lembaganya baru menerapkan pidana korporasi setelah perkaranya masuk dalam tahap akhir penyelidikan. KPK berencana menerapkannya sejak awal penanganan perkara.

"Jadi nanti dari awal kami harus sudah mulai menghitung. Kami mau pakai strategi itu," ujarnya Maret lalu. Langkah awal akan dimulai dengan menguatkan tim penyelidik KPK.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement