Rencana pemerintah membebaskan terpidana terorisme Abu Bakar Ba’asyir menimbulkan polemik. Awalnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan telah menyetujui pembebasan Ba’asyir tanpa syarat. Beberapa hari kemudian, setelah muncul banyak kritikan, sikapnya berubah. Jokowi menegaskan Ba’asyir bisa bebas dengan sejumlah syarat.

Isu pembebasan Ba’asyir awalnya diungkapkan penasihat hukum Presiden Jokowi, Yusril Ihza Mahendra, pada Jumat (18/1). Dalam siaran persnya, Yusril mengatakan dirinya telah berhasil meyakinkan Jokowi untuk membebaskan pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo. Alasannya, Ba'asyir sudah mendekam di penjara sembilan tahun dari sanksi pidana yang dijatuhkan hakim selama 15 tahun.

Dengan alasan ini, Yusril merasa sudah saatnya Ba'asyir menjalani pembebasan tanpa syarat-syarat yang memberatkan. Jokowi pun setuju dan pembebasan Ba'asyir bisa dilakukan secepatnya. Namun, Ba’asyir meminta waktu 3-5 hari untuk membereskan barang-barangnya di sel Lembaga Pemasyarakatan (LP) Gunung Sindur, Bogor. Kemungkinan, Ba’asyir bisa keluar dari penjara tersebut pada Rabu (23/1).

(Baca: Bebaskan Abu Bakar Baasyir, Jokowi: Pertimbangannya Sejak Awal 2018)

Presiden Jokowi membenarkan pernyataan Yusril saat mengunjungi Pondok Pesantren Darul Arqam di Garut, Jawa Barat, Jumat (18/1). Dia mengatakan telah menyetujui pembebasan Ba'asyir dari hukuman. Keputusan tersebut diambil dengan beberapa pertimbangan. "Faktor kemanusiaan. Artinya beliau (Ba'asyir) sudah sepuh. Termasuk kondisi kesehatan," ujarnya. Ba’asyir telah berumur 81 tahun dan sering sakit.

Pertimbangan ini pun sudah melalui proses yang panjang sejak awal 2018. Dari sisi keamanan, Jokowi juga meminta masukan dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Tito Karnavian, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, dan pakar hukum Yusril Ihza Mahendra.

Abu Bakar Baasyir
Terpidana kasus terorisme, Abu Bakar Baasyir tiba di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. (ANTARA FOTO/RENO ESNIR)

Keputusan Jokowi membebaskan Ba'asyir, ternyata mendapat kritikan dari pemerintah Australia. Seperti diketahui, Ba'asyir merupakan salah satu pimpinan Jamaah Islamiyah. Kelompok ini terlibat dalam kasus Bom Bali pada 2002. Teror bom mobil ini menewaskan 200 orang korban dan 88 orang diantaranya merupakan warga Australia.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison pun langsung menghubungi Pemerintah Indonesia terkait rencana pembebasan Ba'asyir. "Posisi Australia dalam persoalan ini tidak berubah. Kami selalu menyampaikan keberatan paling mendalam," ujarnya, seperti dikutip Reuters, Senin (21/1).

Negeri Kangguru memang selalu menentang peringanan hukuman terhadap Ba'asyir yang dianggap sebagai dalang Bom Bali 17 tahun lalu. Pada Maret 2018, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyatakan warganya berharap keadilan terus ditegakkan, yakni dengan memberikan hukuman maksimal kepada pelaku yang terlibat Bom Bali.

(Baca: Tim Pengacara: Pembebasan Abu Bakar Baasyir Jangan Dipolitisasi)

Tak hanya Pemerintah Australia, dari sisi hukum keputusan Jokowi ini dikritik sejumlah pengamat dan pakar. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mempertanyakan skema pembebasan yang diberikan Jokowi kepada Ba'asyir. Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju mengutip keterangan dari Kuasa Hukum Ba'asyir, bahwa skemanya bukanlah pembebasan bersyarat, grasi, atau amnesti.

Anggara menjelaskan pembebasan narapidana sebelum masa hukumanya berakhir, adalah melalui pembebasan bersyarat. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor 3 Tahun 2018 mengatur pembebasan bersyarat bisa diberikan dengan sejumlah syarat tertentu. Namun, ini bertentangan dengan penyataan Yusril yang menyebut pembebasan Ba’asyir tanpa syarat.

Indonesia memang tidak mengenal pembebasan tanpa syarat seperti yang lazim dilakukan seorang Raja negara kerajaan. Di negara demokrasi, Presiden memiliki hak memberikan pengurangan masa tahanan atau grasi dan pembebasan hukuman atau amnesti.

Skema pembebasan Ba’asyir juga bukan merupakan grasi, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 2010. Grasi merupakan hak Presiden memberikan pengurangan hukuman. Hak ini bisa diberikan jika seorang narapidana mengajukan dan mengakui kesalahannya.

Calon wakil presiden KH Ma'ruf Amin mengatakan dirinya pernah mengusulkan pembebasan Ba’asyir pada 2018. Saat itu, Ba'asyir bisa mendapatkan pembebasan dengan menempuh upaya grasi kepada Presiden Jokowi. Masalahnya, pihak keluarga Ba’asyir tidak mau meminta grasi, sehingga proses pembebasannya sulit dilakukan. “Tapi sekarang sudah ditemukan lagi alasannya, yaitu demi kemanusiaan," ujar Ma'ruf seusai silaturahmi dengan ulama se-Bandung Raya di Pondok Pesantren Riyadlul Huda Ngamprah, Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (20/1).

(Baca: Keluarga Berharap Pembebasan Abu Bakar Baasyir Tak Dibatalkan)

Skema pembebasan dengan pemberian amnesti dan abolisi pun dipertanyakan. Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi sudah mengaturnya. Amnesti dan abolisi harus berdasarkan keterangan tertulis dari Mahkamah Agung atas permintaan Menteri Hukum dan HAM dan pertimbangan DPR.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan saat ini Ba'asyir tidak bisa bebas bersyarat atau bebas murni. Bebas bersyarat hanya bisa didapat saat Ba'asyir sudah menjalani dua per tiga masa hukumannya, yakni pada 2021. Bebas murni juga tidak bisa ditempuh karena Ba'asyir sudah pernah dihukum. Jokowi bisa membebaskan Ba'asyir dengan terlebih dahulu mengubah UU melalui DPR. Jika ingin lebih mudah, Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Ba'asyir bisa bebas dengan kategori bebas biasa atau bebas tanpa syarat. Kategori bebas seperti ini hanya bisa didapatkan itu ketika masa tahanannya sudah habis, "Atau kalau ada putusan pengadilan yang baru seperti Peninjauan Kembali (PK), yang menyatakan bahwa dia tidak bersalah," kata Mahfud. (Baca: Pembebasan Baasyir Hanya Bisa Dilakukan Jika Presiden Ubah UU)

 
Abu Bakar Baasyir
Keluarga dan pengurus Ponpes memberikan peryataan sikap saat konferensi pers Penyambutan Ustaz Abu Bakar Baasyir di komplek Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (23/1/2019). Pengurus Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki mengaku kecewa dengan sikap Pemerintah terkait pembatalan pembebasan pendiri ponpes Ngruki Ustaz Abu Bakar Baasyir. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.)

Polemik rencana pembebasan Ba’asyir tak henti bergulir. Isu ini meluas ke ranah politik dan mengancam elektabilitas Jokowi yang akan berlaga pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun ini. Dia mendapatkan protes dari sejumlah pendukungnya di media sosial. Bahkan, sebagian pendukung mengancam tidak akan memilihnya dalam Pilpres 17 April mendatang.

Kegalauan pun menyelimuti Jokowi dan pemerintah. Ba’asyir yang sedianya bebas pada Rabu kemarin, nyatanya batal. Padahal, Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo, telah menyiapkan penyambutan. Tenda-tenda sudah dipasang, makanan disiapkan sebanyak 1.600 porsi, dan pihak pesantren pun sudah bekerja sama dengan Kepolisian Sukoharjo untuk pengamanan pada hari itu.

Dua hari sebelumnya, Wiranto menggelar konferensi pers terkait polemik pembebasan Ba’asyir di kantornya. Dia mengatakan Presiden Jokowi tidak ingin terburu-buru untuk mengambil keputusan lantaran banyak aspek yang perlu dipertimbangkan. (Baca: Jokowi Syaratkan Abu Bakar Baasyir Setia Pancasila untuk Bisa Bebas)

Menurutnya, keluarga Ba'asyir telah mengajukan permintaan bebas sejak 2017 lalu. Alasannya, kondisi kesehatan dan usia pendiri Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) ini sudah lanjut. Jokowi pun mempertimbangkan permintaan bebas ini. "Presiden bilang tidak boleh grusa-grusu (terburu-buru) dan serta-merta mengambil keputusan," ujarnya di Jakarta, Senin (21/1) malam.

Meski begitu, Presiden Jokowi memastikan proses pembebasan Ba’asyir merupakan pembebasan bersyarat. Dia meminta terpidana kasus terorisme tersebut memenuhi semua syarat, termasuk ikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila.

Jokowi enggan menabrak prosedur hukum dalam menyelesaikan proses bebasnya Ba'asyir ini. Apalagi persyaratan mendasar itu merupakan bagian dari perundang-undangan yang ada di Indonesia. "Itu sangat prinsip sekali," ujarnya, dalam keterangan resmi Sekretariat Kabinet, Selasa (22/1).Rencana pembebasan Ba’asyir terkendala dua persyaratan yang belum disetujui, yakni pernyataan untuk setia kepada NKRI, Pancasila, serta mengakui dan menyesali tindakan pidana yang dilakukan. 

(Baca: Baasyir Tolak Dua Syarat Kebebasan: Setia Pancasila dan Akui Kesalahan)

Ketua Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradatta mengatakan soal setia pada Pancasila dan NKRI, Ba'asyir beralasan belum ada argumentasi yang memuaskan mantan pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki tersebut. Penasihat hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra, sempat membujuk Ba'asyir dengan mengatakan Islam dan Pancasila tidak bertentangan. Namun, Ba'asyir tetap berkukuh dengan pendapatnya. Sedangkan untuk poin penyesalan, Ba'asyir tidak mau mengakuinya. "Biarpun beliau dipenjara, namun tidak mau mengakui pidana," kata Mahendradatta.

Menurut Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, pemerintah tidak akan membebaskan Abu Bakar Ba'asyir, selama ia tak memenuhi persyaratan untuk setia pada NKRI dan dasar negara, serta mengakui kesalahannya. “Karena itu persyaratan yang tidak boleh dinegosiasikan," ujarnya.

Sementara Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon mengkritik sikap pemerintah yang tidak jelas dalam isu pembebasan Ba’asyir. "Yang jelas ini sudah jadi kegaduhan di tengah masyarakat, karena pernyataan yang inkonsisten termasuk dari presiden," ujar Fadli Zon saat menerima kunjungan tim pengacara muslim selaku kuasa hukum Abu Bakar Baasyir di Kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu (23/1).

(Baca juga: Polemik Pembebasan Baasyir, Tim Pengacara Mengadu ke Fadli Zon)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami