Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan diselenggarakan beberapa bulan lagi, masyarakat dihebohkan dengan isu impor gula. Isu ini awalnya dimunculkan oleh Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri pekan lalu. Dia menunjukkan data dari Statista yang menyebutkan Indonesia telah menjadi importir gula terbesar di dunia.

Berdasarkan data tersebut, Indonesia berada di urutan pertama negara pengimpor gula terbesar di dunia pada periode 2017-2018, dengan volume impor 4,45 juta ton. Indonesia mengungguli Tiongkok yang berada di posisi kedua dengan 4,2 juta ton dan Amerika Serikat dengan 3,11 juta ton.

"Saya kaget melihat data ini, Indonesia sudah jadi importir terbesar di dunia," ujarnya di Jakarta, Senin (14/1). Padahal, sebelumnya Indonesia masih berada di posisi ketiga atau keempat dunia. (Baca: Faisal Basri Soroti Besarnya Data Impor Gula Jelang Pemilu)

Faisal lantas mengutip tren lonjakan impor gula berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Data tersebut menunjukkan impor gula Indonesia mulai melonjak sejak 2009 setelah sebelumnya berhasil turun. Kala itu, Indonesia mengimpor 1,4 juta ton gula ke dalam negeri.

Setelah itu, impornya perlahan naik hingga 2015. Volume impor tercatat meroket pada 2016 menjadi 4,8 juta ton gula, atau naik 1,4 juta ton dari tahun sebelumnya. Peningkatan impor yang sangat drastis ini terjadi pada saat Enggartiasto Lukita diangkat menjadi Menteri Perdagangan. Sejak itu sampai sekarang, angka impor gula Indonesia selalu di atas 4,5 juta ton per tahun.

Faisal merasa heran adanya kenaikan impor yang signifikan pada periode tersebut. Padahal, saat itu tidak ada kenaikan konsumsi gula yang tinggi.  Walau, di sisi lain ada penurunan produksi di dalam negeri. Karena impornya tinggi, stok gula nasional semakin banyak. "Seharusnya, kalau stoknya banyak, kuota impornya jangan ditambah," kata Faisal dalam konferensi pers Indef bertajuk "Manisnya Rente Impor Gula" di Jakarta, Senin (14/1).

(Baca: Berpotensi Ganggu Kebutuhan Industri, Mendag Tak Mungkin Setop Impor)

Hasil kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan adanya kejanggalan dalam kebijakan dan neraca gula nasional. Kejanggalan ini terlihat dari penetapan kuota impor yang lebih tinggi dari kebutuhan gula di dalam negeri, yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri.

Pada 2018, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memproyeksikan kebutuhan gula rafinasi untuk industri sebesar 2,8 juta ton. Namun, Kementerian Perdagangan (Kemendag) malah memberikan kuota impor lebih banyak, hingga 3,6 juta ton.

Banyak kritikan mengenai kebijakan ini. Ada kekhawatiran kasus-kasus sebelumnya kembali terulang, gula rafinasi impor yang seharusnya hanya untuk kebutuhan industri, merembes ke pasar untuk kebutuhan konsumsi. Kenyataannya, realisasi impor gula rafinasi sepanjang tahun lalu mencapai 3,37 juta ton.

(Baca juga: Kisruh Anomali Harga Beras Akibat Salah Kebijakan dan Hitungan)

"Ini membuktikan bahwa gula yang diimpor tidak hanya untuk kebutuhan industri, namun juga untuk kebutuhan konsumsi," kata Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus di Jakarta, Senin (14/1). Padahal, pemerintah sudah melarang gula rafinasi dijual untuk kebutuhan konsumsi, karena tidak baik untuk kesehatan.

Sebenarnya, tak hanya gula rafinasi untuk industri yang dibuka keran impornya. Pemerintah juga memberikan kuota impor untuk gula produksi sebesar 1,1 juta ton. Padahal, hingga pertengahan tahun lalu stok gula konsumsi dari hasil produksi dalam negeri dan sisa impor sebelumnya masih surplus 3,7 ton.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan keputusan impor gula diambil karena selama ini produksi gula dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri. "Saya sampaikan kami impor berdasarkan kebutuhan," kata Enggartiasto di kantornya, Kamis, (10/1).

(Baca: Dikritik soal Impor Gula, Mendag: Produksi Tak Cukup Penuhi Kebutuhan)

Seolah mendukung Enggartiasto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan impor gula tersebut untuk kebutuhan industri, bukan konsumsi. Darmin menuturkan, impor gula tersebut juga merupakan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. "Itu gula industri loh kami tidak mengimpor gula konsumsi. Tahun ini belum ada, sama sekali belum," kata Darmin di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (9/1). 

Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen tidak terlalu mempermasalahkan langkah pemerintah melakukan impor gula. Sebab, selama ini produksi gula dalam negeri memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi nasional. Adapun untuk gula rafinasi, memang tidak diproduksi di dalam negeri.

"Jadi kalau kita bicara produksi gula nasional, dibandingkan kebutuhan kita kurang. Tapi jangan pas mau panen kita malah impor," ujarnya. Akibatnya, gula hasil produksi petani tidak laku. (Baca: Naik 19%, Kementan Targetkan Produksi 2,5 Juta Ton Gula pada 2019)

Saat diundang bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana pada pertengahan 2018, APTRI memanfaatkan dengan mengeluarkan semua unek-uneknya selama ini. Mereka mengeluhkan kebijakan pemerintah yang membuka akses impor gula besar-besaran, yang berdampak pada gula hasil produksi petani lokal menjadi tidak laku.

Saat itu, ada sekitar 330 ribu ton gula produksi petani yang tidak terserap. Jumlah ini merupakan bagian dari total produksi dalam negeri yang diperkirakan mencapai 1,2 juta ton sepanjang 2018. Sudah beberapa tahun terakhir ini, pedagang enggan menawar gula produksi petani karena harganya dianggap terlalu mahal. Sementara harga gula impor jauh lebih murah.

Menurut Faisal, impor gula yang dilakukan pemerintah cenderung hanya menguntungkan pengusaha dan politikus. Mereka memanfaatkan perbedaan harga jual gula dalam negeri yang lebih mahal 3 kali lipat dibanding harga internasional untuk mendorong pemerintah membuka keran impor.

Sejumlah pengusaha memanfaatkan izin impor gula berjenis raw sugar untuk produksi gula rafinasi bagi industri. Namun, pada praktiknya gula itu dijual dalam label gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi masyarakat. “Keuntungan yang didapat bukan menjual gula rafinasi ke industri, tapi selisih harga terjadi antara gula eceran (untuk konsumsi) dan dunia,” kata Faisal.

Akhirnya masyarakat terpaksa menanggung harga jual terlalu mahal, terutama saat pemerintah mengenakan kuota impor. Sementara itu, kelebihan harga yang melampaui harga internasional menjadi bagian pemegang lisensi impor dan politikus yang memberi izin. “Ini ada basisnya saya menuduh. Dengan teori ekonomi ini cukup (beralasan),” ujarnya.

Faisal menilai hal ini terjadi lantaran pemerintah membuka pembeda antara gula rafinasi dengan gula kristal putih (GKP). Padahal, dunia internasional telah lama menghapus dikotomi tersebut. Pembedaan ini menjadi pintu masuk agar perusahaan dapat mengimpor gula yang harganya relatif lebih murah. (Baca juga: Faisal Basri: Tingginya Disparitas Harga Gula Membuka Peluang Korupsi)

Namun, karena gula yang dapat diimpor hanya untuk konsumsi dan kepentingan stabilisasi harga, makanya peran gula mentah (raw sugar) menjadi penting. Alih-alih mencukupi kebutuhan gula konsumsi, pemerintah membuka impor raw sugar. Padahal, pembuatan raw sugar ini hanya dicampurkan dengan bahan kimia untuk menurunkan kualitasnya. Ketika berada di dalam negeri, gula itu diproses menjadi gula yang dapat dikonsumsi.

Permasalahan impor gula dan praktik rente memicu tanggapan dari kubu oposisi. Wakil Ketua DPP Gerindra, Arief Poyuono mengungkapkan adanya kejanggalan terkait perizinan impor gula industri oleh Kementerian Perdagangan.
Dia menduga ada konspirasi antara kementerian yang berujung mencari dana untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).

Kebijakan ini dilakukan seolah-olah industri makanan dan minuman membutuhkan tambahan pasokan gula. Menteri Perindustrian mengeluarkan rekomendasi dan Menteri Perdagangan menerbitkan izin impornya. "Siapa para importir itu, ya mereka itu yang jelas sangat dekat dengan menteri di kedua kementerian tersebut. Ini caranya mereka mengeruk duit dari kongkalikong perizinan impor," ujarnya.

Arief mengaku mendapat informasi tersebut dari petinggi partai politik yang mendapat izin impor gula. Dia menuding dalam praktiknya ada koordinasi dengan pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Sehingga impor berisi 30% gula industri dan 70% gula konsumsi tidak ada yang mengetahui.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami