Faisal Basri: Tingginya Disparitas Harga Gula Membuka Peluang Korupsi

Michael Reily
14 Januari 2019, 18:21
kemasan gula rafinasi
ANTARA FOTO/Dewi Fajriani
Satuan Tugas Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan menunjukkan kemasan gula rafinasi ilegal milik UD Benteng Baru, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (22/5).

Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan disparitas harga gula internasional dengan harga produksi domestik bisa memberi celah beroperasinya para pemburu rente serta berpotensi menciptakan praktik korupsi. Hal ini cukup mengkhawatirkan,  terlebih dengan tingginya volume impor gula Indonesia sepanjang  2018.

Faisal mengatakan rata-rata harga gula mentah internasional sebesar Rp 4 ribu per kilogram, jauh lebih murah daripada Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gula yang mencapai Rp 9.700 per kilogram. "Disparitas ini merupakan penyebab praktik rente oleh pemerintah," kata dia di Jakarta, Senin (14/1).

Menurutnya,  keputusan impor gula oleh pemerintah merupakan solusi jangka pendek untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, terutama dalam menjaga stabilisasi harga. Namun, pemerintah tidak menyediakan solusi jangka panjang untuk pemenuhan kebutuhan dari produk domestik.

(Baca: Faisal Basri Soroti Besarnya Data Impor Gula Jelang Pemilu)

Berdasarkan data  Kementerian Pertanian, produksi gula pada 2018 tercatat sebesar 2,14 juta ton. Pada tahun yang sama, realisasi impor gula mentah untuk industri sebesar 3,37 juta ton serta impor gula kristal putih untuk konsumsi mencapai 1,07 juta ton.

Namun dari kebijakan tersebut, Faisal menyatakan impor gula untuk industri tidak membantu peningkatan produksi dalam negeri. Sebanyak 11 perusahaan gula rafinasi yang menjadi importir gula mentah memiliki pabrik yang berlokasi bukan di sentra produksi.

Karenanya, keuntungan perbedaan harga gula yang tinggi hanya dirasakan oleh pengusaha importir serta pemerintah yang menjadi pihak pembuat kebijakan impor. "Upaya jangka pendek ini membuat gula petani susah terserap," ujar Faisal.

Alhasil, petani pun semakin enggan menanam tebu akibat harganya menjadi sulit bersaing  dengan produk impor. Apalagi biaya produksi gula semakin mahal karena ongkos sewa tanah dan upah pekerja.

(Baca: Dikritik soal Impor Gula, Mendag: Produksi Tak Cukup Penuhi Kebutuhan)

Menurutnya, ada tiga solusi yang seharusnya pemerintah lakukan. Pertama, merestrukturisasi pabrik gula. Kedua, mengintegrasikan pabrik dengan perkebunan. Terakhir, penghapusan perbedaan standar kualitas gula.

Tiga cara tersebut diharapkan bisa mengoptimalkan produksi gula dalam negeri dan mengurangi impor. Sebab, dalam kebijakan impor, pemerintah selalu beralasan keputusan impor dilakukan karena kurangnya produksi dalam negeri.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebelumnya menyatakan keputusan impor sudah berdasarkan analisis kebutuhan masyarakat dengan menghitung jumlah volume produksi dengan kualitas gula untuk kebutuhan industri. "Jumlah produksi gula tidak mencukupi untuk konsumsi, apalagi buat industri," kata dia.

Keputusan impor juga dilakukan dengan pertimbangan kualitas produksi gula dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan industri. Kadar ICUMSA (International Commision for Unifom Methods of Sugar Analysis) gula petani sangat tinggi, sehingga warnanya tidak putih.

Menurut Enggar, rekomendasi impor juga berasal dari Kementerian Perindustrian. Sebagai bahan baku, gula impor dibutuhkan untuk kegiatan proses industri. "Kita saksikan sendiri industri makanan dan minuman punya pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat," kata dia.

Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...