Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menjanjikan pembangunan infrastruktur tanpa menggunakan pembiayaan dari utang, jika menang dalam Pemilihan Presiden 2019. Gagasan ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena pemerintahan sekarang sudah melakukannya.
Sandiaga mengatakan pembangunan infrastruktur tanpa membebani anggaran negara dan utang sangat mungkin dilakukan dengan melibatkan peran swasta. Ini akan dilakukan dengan skema yang berbeda dengan yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla saat ini.
Untuk infrastruktur dasar, Sandiaga menawarkan skema availability payment (AP) yang dinilai jauh lebih murah dan kompetitif bagi swasta. Dengan skema ini pihak swasta diminta membangun utuh konstruksi proyek infrastruktur. Setelah beroperasi, pemerintah akan membayar biaya pembangunan konstruksi dengan cara mencicil.
(Baca: Sandiaga Punya Resep Pendanaan Infrastruktur Dasar Tanpa Utang)
Untuk proyek infrastruktur lainnya, menggunakan skema Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Sandiaga mengakui skema ini sudah dijalankan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Hanya belum dijalankan secara optimal, sehingga partisipasi pihak swasta masih minim. Padahal, dia meyakini pihak swasta mau terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur yang dibangun pemerintah. "Swasta itu mau kok berpartisipasi bangun infrastruktur dan tidak akan membebani utang negara," kata Sandiaga.
Ide Sandiaga ini seolah baru, tapi sebenarnya tidak. Pemerintahan saat ini sudah menggunakan skema yang dimaksud Sandiaga pada beberapa proyek infrastruktur. Payung hukumnya pun sudah terbit, yakni Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015. Aturan ini memungkinkan pemerintah dan badan usaha berbagi risiko dalam investasi infrastruktur.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pelibatan swasta sudah diterapkankan pemerintah dalam pembangunan sejumlah infrastruktur. "Kami sudah juga melakukan beberapa hal," ujarnya usai sosialisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2019 di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (10/12).
(Baca: Bank Dunia Lihat Peluang Investasi Tumbuh Lebih Tinggi Pasca Pilpres)
PPP Knowledge Lab mencatat sejak 1990 hingga semester I tahun ini, pembangunan infrastruktur yang melibatkan peran swasta di Indonesia merupakan yang paling tinggi di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara. Nilai investasinya hampir mencapai US$ 60 miliar, mengalahkan Filipina maupun Malaysia.
Pembangunan infrastruktur selama empat tahun terakhir telah melibatkan swasta dalam beberapa skema, seperti KPBU dan Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA). Kemudian skema pembiayaan ekuitas dengan melakukan sekuritisasi aset infrastruktur yang sudah beroperasi melalui pasar modal. Investor swasta yang tertarik bisa membeli dan dananya digunakan untuk pembangunan infrastruktur baru. "Sekuritisasi itu tidak utang, bukan debt financing, dan ini juga bukanlah hal yang sama sekali baru, tapi sudah dilakukan," ujarnya.
Dia mengakui bahwa skema-skema pendanaan ini masih harus terus dibenahi. Perlu mendengarkan masukan dari pihak swasta, agar mereka mau terlibat dalam proyek infrastruktur. Pemerintah sudah menerima beberapa masukan dari swasta, salah satunya proyek yang mendapat jaminan dari pemerintah. Sudah ada lembaga khusus sebagai pemberi jaminan yaitu PT Penjamin Infrastruktur Indonesia yang berada langsung di bawah Kementerian Keuangan.
Skema lainnya adalah availability payment. Dengan skema ini, swasta membangun infrastruktur dengan dananya sendiri. Setelah infrastruktur ini beroperasi, pemerintah akan membayar dengan mencicil. Kemudian skema dukungan dana tunai dari pemerintah atau viability gap funding (VGF) untuk meningkatkan kelayakan finansial suatu proyek infrastruktur. Skema-skema ini pun sudah ditawarkan pemerintah untuk beberapa proyek infrastruktur.
Intinya, pemerintah telah menyiapkan banyak sekali mekanisme pendanaan infrastruktur tanpa utang. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut porsi pendanaan infrastruktur lewat investasi swasta semakin besar. “Jadi kalau kamu lihat proyek strategis nasional, mungkin APBN-nya cuma 10-11%, yang dari BUMN-BUMD 36%, swasta 51%,” kata dia.
(Baca: Tiga Proyek Jalan Akan Gunakan Skema Availability Payment di 2019)
Skema AP yang dimaksud Sandiaga untuk infrastruktur dasar juga sudah ditawarkan pemerintah pada beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN). Direktur Program Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Rainier Haryanto mengatakan pemerintah memberikan peluang investasi skema AP pada proyek Palapa Ring Broadband Indonesia bagian barat, tengah dan timur.
Terdapat total 10 proyek KPBU yang menjadi fokus pemerintah pada 2019. Beberapa proyek tersebut diantaranya pengembangan Bandara Komodo ( Nusa Tenggara Timur), Jalur Kereta Api Makassar-Kota Parepare (Sulawesi Selatan), serta Pelabuhan Baubau, konsep hunian yang terintegrasi dengan sarana transportasi (Transit Oriented Development/TOD), proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Lampung dan Riau, serta beberapa proyek jalan tol.
Pendapat Ekonom
Beberapa ekonom berbeda pandangan mengenai bisa atau tidaknya pembangunan infrastruktur tanpa utang yang dijanjikan Prabowo-Sandi dalam kampanyenya. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan ini bisa dilakukan dengan penambahan keterlibatan swasta dan sekuritisasi aset.
"Misalnya ada proyek yang sudah selesai atau sudah jalan seperti jalan tol, pendapatannya kita jual ke investor. Dana segar yang didapat untuk bangun infrastruktur baru," kata David ketika dihubungi Katadata, Selasa (11/12).
Alternatif lain adalah pengalihan anggaran dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan mengurangi alokasi belanja birokrasi dan subsidi. Dalam APBN 2018, anggaran belanja pegawai mencapai Rp 342,5 triliun. Ada pun, anggaran subsidi energi tercatat sebesar Rp 156,23 triliun.
(Baca juga: Setop Terbitkan Surat Utang, Sri Mulyani: Penerimaan Sudah Bagus)
Sementara Ekonom Bank Permata Josua Pardede tak sependapat. Dia mengatakan pembangunan infrastruktur tanpa utang sulit untuk dilakukan. Apalagi, saat ini pemerintah masih harus membangun infrastruktur dasar, seperti jalan, irigasi, pelabuhan, hingga sarana dan prasarana air minum. Ini diperlukan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara lain dan mengatasi masalah mahalnya biaya logistik dan transportasi.
Masalahnya proyek infrastruktur dasar ini dinilai kurang menarik bagi swasta. "Saya pikir itu opsi yang less likely (kecil kemungkinannya) akan terjadi dan itu hanya semata janji kampanye politik, tanpa melihat kondisi kenyataan sekarang," kata Josua.
Upaya pembangunan infrastruktur tanpa utang sebenarnya bisa dilakukan dengan mengoptimalkan penerimaan pajak. Persoalannya, penerimaan pajak masih cukup rendah. Hingga akhir November 2018, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatatkan penerimaan pajak baru sebesar Rp 1.136,6 triliun, atau 79,8% dari target tahun ini.
Menurutnya, pembangunan infrastruktur dasar melalui utang sebenarnya merupakan langkah yang tak bisa dihindarkan. Lagipula, pemerintah juga telah memiliki berbagai skema pembiayaan alternatif untuk mengurangi porsi utang dalam membangun infrastruktur, seperti KPBU, PINA, dan pembiayaan campuran (blended finance).
(Baca juga: Saat Forum IMF, 6 Proyek Infrastruktur Raih Rp 47 T dengan Skema PINA)
Penerapan skema ini sudah berdampak pada kinerja keuangan negara. Josua menyebut utang negara saat ini tidak lebih besar dibandingkan pada pemerintahan sebelumnya. Ini ditunjukkan dengan defisit keseimbangan primer yang sudah mengarah ke posisi nol.