(Baca: Tiga Raksasa Properti Terseret Masalah Akibat Terpuruknya Rupiah)

Menurut Ketut Budi Wijaya, Presiden Direktur LPKR, prosesnya diharapkan tuntas pada akhir November 2018. Setelah transaksi itu tuntas, maka kepemilikan LPKR di First REIT akan berkurang menjadi 10,6% dari sebelumnya 28,2%. Adapun likuiditas LPKR akan meningkat dengan penjualan saham tersebut.

Hitungan Moody's, likuiditas Lippo Karawaci akan meningkat sebesar Sing$ 202 juta atau sekitar Rp 2,2 triliun, jika penjualan tersebut selesai pada November 2018.

Namun, penjualan ini tidak akan mengatasi pelemahan fundamental Lippo Karawaci terkait arus kas operasi. Moody's memperkirakan, penambahan likuditas tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kas perusahaan hingga September 2019. Ini lantaran tingkat cash-burn Lippo Karawaci mencapai sekitar Rp 1,1 triliun sepanjang 2018 dan kemungkinan mencapai Rp 1,3 triliun pada 2019 mendatang.

Meikarta
Meikarta (Arief Kamaludin|KATADATA)
 

Penjualan saham itu juga memiliki konsekuensi turunnya dividen arus kas dari perusahaan investasi real estat yang terdaftar di Singapura lantaran porsi saham yang berkurang pada First REIT. Ada juga tekanan ke kas dari berkurangnya dividen per unit dari Lippo Malls Indonesia Retail Trust.

Masalah lainnya adalah biaya bunga yang lebih tinggi dari utang perusahaan yang berdenominasi dolar AS sebagai akibat dari melemahnya rupiah dan biaya utang yang lebih tinggi. Tak cuma bunganya, jumlah utang yang besar yang besar juga menghadirkan problem.

Soal dampak akibat pelemahan rupiah, lembaga rating internasional Fitch Rating juga sudah memperingatkan, Lippo Karawaci akan menjadi pengembang yang paling rentan terpukul dampak jatuhnya kurs rupiah. Sebab, perusahaan properti milik Grup Lippo ini memiliki pendapatan valas yang sangat kecil.

Selain itu, LPKR memiliki beban pembayaran kupon obligasi yang jauh lebih besar dari kas dolarnya. Situasinya makin suram karena arus kas hasil operasi yang dimiliki Lippo Karawaci terbatas dibandingkan beban pembayaran bunga dan sewa.

(Baca: Empat Korporasi Besar Terbelit Masalah Pelemahan Kurs Rupiah)

LPKR masih memiliki utang senilai sekitar Rp 1,3 triliun meliputi Rp 590 miliar pinjaman ke berbagai bank lokal, juga sisa US$ 50 juta pinjaman sindikasi kepada UBS AG dan Deutsche Bank yang semula jatuh tempo pada September 2018 tetapi diperpanjang hingga April 2019. Karena itu, Moody's berpendapat, LPKR memiliki risiko refinancing karena tidak cukupnya likuiditas untuk mengatasi total utangnya jatuh tempo pada 2018 dan 2019.

Moody's menyematkan outlook negatif karena ada ketidakpastian seputar pelaksanaan penjualan aset LPKR yang dapat mengakibatkan masalah lebih lanjut pada likuiditas perusahaan selama 12-18 bulan ke depan. Persoalannya, perbaikan prospek dan peringkat ini tidak dapat dilakukan selama perusahaan masih bergantung pada penjualan aset untuk melunasi utang-utangnya. 

Penurunan peringkat lebih lanjut, menurut Moody's, tidak terhindarkan jika kondisi arus kas operasional perusahaan terus memburuk, sehinggga likuiditas LPKR terus melemah. Hal ini bisa terjadi jika perusahaan gagal mengeksekusi penjualan aset minimal Rp 2 triliun selama enam bulan ke depan. Penurunan peringkat juga dapat terjadi pada obligasi senior tanpa jaminan LPKR jika risiko utang meningkat pada anak-anak usahanya.

Adapun yang dapat mencegah peringkat perusahaan diturunkan ke level yang lebih rendah lagi adalah meningkatnya bisnis pembangunan properti yang punya potensi dampak pada kenaikan arus kas operasional.

Sebelumnya, dalam keterangan resminya, Vice President Head of Corporate Communication LPKR Danang Kemayan Jati menyatakan, Lippo Karawaci menyayangkan keputusan lembaga pemeringkat rating yang menurunkan peringkat perusahaan. Ini karena fundamental perusahaan sejatinya tidak banyak berubah.

Meski demikian, LPKR berkomitmen untuk bekerjasama dengan para lembaga pemeringkat untuk menanggapi pendapat konstruktif mereka LPKR juga menegaskan berkomitmen untuk memperkuat likuiditas perusahaan serta memperkuat neraca untuk memperoleh kembali peringkat sebelumnya dengan prospek stabil.

Menurut Kepala Riset Koneksi Capital Alfred Nainggolan, emiten sektor properti di pasar saham saat ini masih tertekan, baik secara fundamental kinerja maupun harga saham, termasuk dua emiten properti Lippo tersebut. Dengan adanya tambahan tuduhan kasus korupsi, prospek saham kedua emiten tersebut menjadi kian negatif.

Ia menyarankan, dalam tekanan sentimen negatif yang tinggi, investor kedua emiten sebaiknya melepas kepemilikannya. Pasalnya, ruang penurunan harga saham kedua emiten masih sangat besar ke depan seiring perkembangan pemberitaan tentang kasus tersebut.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement