Di sisi lain, Darmin mengingatkan ada pergeseran waktu panen dan pola tanam padi sehingga produksi beras berubah. Misalnya, masa panen raya pada 2017 terjadi pada Maret, sementara pada tahun ini bergeser antara Maret dan April. Akibatnya, dalam kurun tersebut, pembelian beras Bulog dari dalam negeri tak sebesar tahun lalu.

(Baca: Menko Darmin Akui Ada Masalah Akurasi Data pada Keputusan Impor Beras).

Tak hanya itu, sedikit berbeda dari data yang disampaikan Kementerian Pertanian, Darmin mendapat laporan bahwa stok beras Bulog saat ini hanya 1,3 juta ton. Namun, angka tersebut sudah menimbang beras impor tahap pertama yang mencapai 500 ribu ton. Sementara target stok Bulog hingga Juni mencapai 2,2 juta ton. “Sampai Mei hanya 800 ribu ton,” ujar dia. 

Dari sisi realisasi impor, angkanya pun belum begitu jelas. Enggar menyampaikan sudah mendatangkan beras dari luar negeri sebanyak 670 ribu ton. Namun Direktur Utama Bulog Budi Waseso malah menyampaikan bahwa instansinya masih menunda impor beras tahap dua sebesar 500 ribu ton. Sebab, Bulog akan menghitung data produksi beras dengan sejumlah pihak, seperti Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS).

“Menteri Pertanian mengatakan sedang surplus. Sekarang saya hitung daerah mana saja yang surplus dengan kemampuan gudang Bulog,” kata pria yang kerap disapa Buwas ini di Jakarta, Kamis (17/5). Tetapi dia tidak memberi batas lama penghitungan data produksi hingga waktu realisasi impor beras. (Baca: Cek Produksi Lokal, Bulog Belum Datangkan Beras Impor Tambahan).

Sementara itu, Direktur Pengadaan Bulog Andrianto Wahyu Adi menyatakan kontrak impor sejauh ini hanya 500 ribu ton. Tapi dia tidak merespons ketika Katadata.co.id hendak memastikan realisasi impor beras. Bila mengacu situs Bulog, pengadaan luar negeri untuk beras telah mencapai 522.726 ton per 22 Mei 2018, melebihi jumlah kontrak impor.

Runyamnya data perberasan ini diakui Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id beberapa waktu lalu, Kalla menyatakan data Kementerian Pertanian dan BPS kadang berbeda. “Kementerian Pertanian mengatakan produksi hampir 80 juta ton padi (per tahun). Padahal, kenyataannya mungkin sekitar 50-an juta ton. Jadi memang ada perbedaan antara data dan lapangan sehingga sering menimbulkan perdebatan,” kata Kalla.

Walau ada data yang berselisih, Kalla menegaskan pemerintah tidak akan membiarkan hingga kekurangan pangan. Selain itu, harganya tidak boleh terlalu terlalu tinggi. “Harga beras yang terlalu tinggi akan menimbulkan inflasi, yang memukul masyarakat bawah,” ujarnya. “Di lapangan, (kekurangan) supply tercermin dari harga yang naik, makanya impor.”

Kisruh data ini pula yang menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga audit negara itu akan memeriksa kebijakan impor beras. Instansi yang dibidik yaitu Kementerian Perdagangan terkait dengan mekanisme impor dan Kementerian Pertanian mengenai akurasi data produksi pertanian. (Baca: Temui Masalah Akurasi Data, BPK Bakal Audit Impor Beras).

Anggota IV BPK Rizal Djalil  mengatakan telah mengantongi empat temuan dalam kebijakan impor yang bersumber dari persoalan akurasi data. Temuan tersebut antara lain mencakup persoalan data konsumsi beras nasional  yang dinilai tidak akurat, sistem pelaporan produktivitas padi tidak akuntabel, data luas lahan tidak akurat, serta belum ditetapkannya angka cadangan pangan ideal pemerintah.

Atas dasar itu, BPK akan mengaudit data impor beras khususnya untuk periode 2015 hingga 2018. “Kami akan mengadakan audit untuk impor beras, terutama dalam penggunaan datanya,” kata Rizal, Senin (21/5).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement