Saling Klaim Keabsahan Data Garam Industri

Perbedaan data kebutuhan garam ini yang sering menjadi silang sengketa. Bahkan di kabinet, suara berseberangan hampir selalu mencuat dalam rapat-rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman atau Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Perdebatan kerap berputar ketika menentukan jumlah impor garam.

Kisruh ini bermula dari cara menghitung tingkat konsumsi garam. Secara sederhana, peruntukan garam ada dua jenis: garam konsumsi publik, yang biasa dikenal dengan garam rumah tangga atau garam dapur; dan garam industri untuk memenuhi kebutuhan sektor pengolahan mulai dari pabrik makanan-minuman, pulp dan kertas, hingga farmasi. Kandungan NaCl pada garam konsumsi cukup 94,7 persen dan garam industri minimal 97 persen.

Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) pernah mengumumkan bahwa konsumsi garam secara nasional pada 2016 mencapai 4,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, 780 ribu ton untuk memenuhi garam dapur dan sekitar 3,3 juta ton sebagai bahan baku industri. Produksi garam nasional kala itu cuma 144 ribu ton yang hanya bisa menambal kebutuhan garam dapur.

Dua tahun lalu, produksi garam rakyat memang anjlok hingga 96 persen dari 2015 karena tingginya curah hujan. Misalnya, produksi garam rakyat di Cirebon jatuh lebih dari 99 persen dari 435 ribu ton menjadi 591 ton, produksi garam di Sampang terjermbap dari 399 ribu ton menjadi tujuh ribu ton. Alhasil, data Kementerian Kelautan mencatat bahwa produksi garam rakyat pada 2016 hanya 188 ribu ton, terjun bebas dari 2,9 juta ton.

Untuk menutupi kebutuhan garam tersebut, impor pun tak terhindarkan. Namun, di sini pula titik krusialnya dalam menentukan jumlah yang perlu didatangkan dari luar negeri. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mewanti-wanti jangan sampai impor garam berefek buruk bagi para petambak garam. Dia berharap jumlah impor tak melebihi kebutuhan pasar. Impor juga tidak bisa direalisasikan saat petambak garam panen karena dapat memukul harga garam petani.

“Untuk garam konsumsi saja kita harusnya cukup, tidak perlu impor. Tetapi untuk industri-industri yang memang memerlukan garam impor, ya harus impor. Itu kami bisa mengerti,” kata Susi pada pertengahan Januari lalu.

Perlunya berhati-hati dalam menentukan angka impor juga disampaikan Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI). Sebab, setelah produksi jatuh pada 2016, tahun lalu panen garam nasional kembali menanjak menjadi 1,4 juta ton. Bahkan, APGRI memperkirakan produksi tahun ini meningkat hingga 1,7 juta ton seiring membaiknya cuaca akibat memanjangnya musim kemarau. Panen garam diperkirakan berlangsung dari Juli hingga November 2018.

Namun, pada 4 Januari 2018 Kementerian Perdagangan menerbitkan izin impor garam 2,37 juta ton untuk 21 perusahaan. Sementara, sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, izin impor garam mensyaratkan rekomendasi dari Kementerian Kelautan. Pasal 7 ayat 3 menyebutkan, “Dalam hal impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri (Kelautan)”.

Angka 2,37 juta ton garam kemudian memicu polemik tiga bulan terakhir. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita berdalih izin impor yang dikeluarkannya sudah sesuai hasil rapat koordinasi di Kemenko Kemaritiman. Jumlah tersebut merupakan bagian dari kuota impor garam 2018 sebanyak 3,7 juta juta ton.

Menurut Menteri Darmin Nasution, garam impor sebanyak itu untuk industri petrokimia, pulp dan kertas, farmasi dan kosmetik, aneka pangan, pengasinan ikan, tekstil, penyamakan kulit, pakan ternak, pengeboran minyak, serta sabun dan detergen. “Untuk impor garam industri tidak lagi memerlukan rekomendasi setiap kali impor. Itu akan dilakukan oleh Menteri Perdagangan,” kata Darmin. Terkait pemberi rekomendasi, “Kalau kebutuhan industri, berarti Kementerian Perindustrian. Ini pun tidak sekaligus.”

Perdebatan angka tersebut sempat membuat suasana kabinet panas-dingin. Dalam salinan dokumen yang dimiliki Katadata, Kementerian Kelautan bersikukuh bahwa impor garam yang benar adalah 1,8 juta ton. Angka tersebut didasarkan pada data realisasi impor garam dan perhitungan neraca garam hasil survei Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perindustrian.

Impor Garam 2012 – 2017 (Ribu Ton)

2012201320142015201620172018*
Realisasi Impor2.111,91.826,82.154,71.770,82.036,62.194,83.700
Penyusutan111,196,2113,493,2107,2115,5

*Rencana

Dari data tersebut, Kementerian Kelautan menghitung terjadi penyusutan sekitar lima persen setiap tahun. Sementara total kebutuhan garam impor tahun ini diprediksi 2,133 juta ton. Dengan memasukkan persentase penyusutan, Kementerian Kelautan merekomendasikan impor garam tahun ini 1,8 juta ton. Karenanya, Susi berpendapat bahwa penerbitan rekomendasi impor 3,7 juta ton dalam satu tahap akan menimbulkan risiko politik bagi pemerintah.

Perbedaan angka ini yang membuat perdebatan panjang. Berkali-kali mendapat undangan rapat pembahasan tata niaga garam, Susi tak pernah hadir. Seperti pada pertemuan di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada 21 Desember 2017. Begitu pula saat rakor  di Kemenko Perekonomian pada 19 Januari 2018.

Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, Susi diwakili Brahmantya Satyamurti atau pejabat Sekretariat Jenderal Kementerian Kelautan. “Kalau Susi datang nanti dianggap memberi persetujuan terhadap angka impor. Dia tidak mau ditekan-tekan seperti itu,” kata seorang pejabat Kementerian Kelautan. Hingga berita ini turun, Susi belum merespons pertanyaan Katadata melalaui pesan Whatsapp.

Kali ini, Susi harus “berperang” sendirian. Kebijakannya juga ditentang Luhut Binsar Pandjaitan.  Menko Kemaritiman ini berpandangan bahwa impor garam tidak memerlukan rekomendasi Kementerian Kelautan. Sebab, Kementerian Perindustrian yang lebih paham kebutuhan garam bagi pabrik-pabrik. “Yang paling mengerti soal garam industri itu Menteri Perindustrian,” kata Luhut.

Dengan Luhut, bukan kali ini saja Susi bersitegang. Keduanya pernah berseteru dalam menyikapi dibukannya daftar negatif investasi sektor perikanan tangkap. Luhut membuka opsi asing untuk masuk sementara Susi memagarinya. Lantaran soal ini, Susi sempat berencana mundur dari kabinet Jokowi. Selain itu, mereka juga tak sejalan dalam penggunaan cantrang bagi nelayan dan penenggelaman kapal asing yang melakukan pencurian ikan.

Untuk meredam masalah tersebut, Presiden Joko Widodo mengeluarkan PP Nomor 9 Tahun 2018. Selain memperkuat payung hukum bagi izin impor 2,73 juta ton yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, PP tersebut melucuti sejumlah kewenangana Susi, di antaranya Kementerian Kelautan tak lagi berperan sebagai pemberi rekomendasi. Tugas tersebut beralih ke Kementerian Perindusrian. (Lihat pula: Teken PP, Jokowi Alihkan Kewenangan Impor Garam dari Susi ke Menperin)

Namun, bisa jadi ini bukan antiklimas atas kisruh tersebut. Ketua APGRI Jakfar Sodikin sudah bersiap membawa kasus ini ke Mahkamah Agung. Dia menganggap PP tadi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016. “Peraturan Pemerintah seharusnya tak boleh bertentangan dengan Undang-Undang,” kata Jakfar.

Kritik juga muncul dari Faisal Basri. Ekonom dari Universitas Indonesia ini memandang Presiden Jokowi telah menabrak aturan dengan menerbitkan PP Nomor 9. Dalam akun Twitter-nya, ia menuliskan, “Main tabrak. Keluarkan PP yang bertentangan dengan UU. Contoh terkini: PP No.9/2018. Impor garam dan ikan tak perlu rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk kepentingan siapa?”

Halaman:
Reporter: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami