KATADATA -Mata uang rupiah semakin menguat dan sudah menyentuh level Rp 13.200 per dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan rupiah diperkirakan bakal terus berlanjut karena membanjirnya aliran masuk dana asing ke pasar modal dan keuangan, khususnya ke instrumen surat utang negara (SUN).
Pada Kamis ini (3/3), berdasarkan kurs referensi JISDOR di Bank Indonesia, rupiah mencapai 13.260 per dolar AS atau menguat 0,4 persen dibandingkan hari sebelumnya. Sementara itu di pasar spot, rupiah sudah menyentuh level 13.222 per dolar AS atau menguat 0,5 persen dari hari sebelumnya. Ini merupakan level tertinggi rupiah sejak awal Juni tahun lalu.
Jika dihitung sejak awal tahun ini, rupiah telah menguat 4 persen terhadap dolar AS. Jens Nystedt, manajer portofolio Morgan Stanley Investment Management, pun mencatat rupiah menguat 10,3 persen dalam enam bulan terakhir atau sejak 30 September 2015. Ini menjadikan rupiah sebagai mata uang berkinerja terbaik di Asia dan di antara 24 mata uang negara-negara berkembang.
Di tengah belum pulihnya perekonomian AS dan Eropa serta perlambatan ekonomi Cina, para investor global kini mengalihkan pandangannya ke pasar negara-negara berkembang. Terutama ke negara-negara yang valuasi mata uangnya masih rendah, seperti rupiah dan ringgit Malaysia yang pada tahun lalu sempat jatuh cukup dalam.
“Kami melihat mata uang di emerging market sangat murah dan di bawah nilai wajarnya. Jadi investor bisa mendapatkan keuntungan yang tinggi,” kata Nystedt, seorang manajer investasi di New York yang mengelola dana investor senilai US$ 406 miliar pada surat utang negara-negara yang pasarnya berkembang, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (2/3). Para manajer pasar uang di BlackRock Inc. hingga Franklin Templeton juga melihat valuasi mata uang negara-negara berkembang dalam beberapa bulan terakhir sangat murah. Jadi, sayang bagi investor melewatkan kesempatan menangguk untung dari potensi kenaikan nilainya di masa depan.
Meski begitu, para investor global tetap selektif dalam memilih negara tujuan investasi portofolionya. Nystedt menyatakan, investor melihat potensi penguatan ekonomi pada negara-negara importir komoditas, seperti Indonesia dan India. Saat harga minyak rendah seperti saat ini, negara-negara tersebut diuntungkan karena pengeluarannya berkurang.
(Baca: Nasib Indonesia Dinilai Lebih Baik dari Negara Eksportir Komoditas)
Namun, Morgan Stanley memproyeksikan peluang rupiah lebih positif ketimbang rupee India. Begitu juga dengan ringgit Malaysia yang tren penguatannya sudah mendekati nilai wajar. “Ke depan, Indonesia terus menjadi daya tarik kuat bagi investor,” kata Nystedt.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengidentifikasi tiga faktor pendukung penguatan rupiah sejak awal tahun ini. Pertama, penurunan harga minyak dunia yang ternyata tidak berdampak signifikan ke Indonesia. Berbeda dengan negara lain, yang pasar keuangannya turut terpukul oleh anjloknya harga minyak dunia. Kedua, faktor ekonomi di dalam negeri yang semakin membaik. Bahkan, ekonomi pada kuartal I ini diperkirakan bisa tumbuh di atas 5 persen.
Ketiga, faktor luar negeri. Para pelaku pasar memperkirakan bank sentral AS belum akan menaikkan suku bunga Fed rate dalam waktu dekat. Mayoritas investor memprediksi bank sentral AS baru akan menaikkan lagi suku bunganya tahun depan.
(Baca: Pemerintah Sebut Tiga Faktor Rupiah Menguat Tajam)
Imbal hasil SUN tinggi
Aliran masuk dana asing ke Indonesia menyasar instrumen portofolio surat utang karena masih menjanjikan imbal hasil yang tinggi. Apalagi, di tengah tren bunga rendah mendekati nol persen, bahkan bunga negatif di beberapa negara maju. Nystedt menyatakan, Indonesia dan India menawarkan suku bunga tertinggi di antara negara-negara ekonomi utama di Asia.
Potensi kenaikan harga obligasi di masa depan juga terbuka lebar karena bank sentral dua negara tersebut masih memiliki ruang untuk memotong suku bunga. Kalau bank sentral memangkas suku bunga maka harga obligasi akan naik. Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) selama dua bulan pertama tahun ini telah menurunkan suku bunga acuan BI rate sebesar 50 basis poin menjadi 7 persen. Ekonom memperkirakan, kebijakan tersebut akan terus berlanjut hingga BI rate menjadi 6,5 persen pada semester satu tahun ini.
Indeks yang disusun oleh JPMorgan Chase & Co. mencatat, imbal hasil (yield) obligasi berdenominasi rupiah dengan jangka waktu 10 tahun mencapai 8,14 persen. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata imbal hasil obligasi berdenominasi dolar AS di pasar berkembang sebesar 6,23 persen.
Alhasil, kepemilikan dana investor asing di surat utang negara (SUN) sejak awal tahun ini bertambah US$ 2,1 miliar atau setara dengan Rp 279 triliun. Peningkatannya mencapai 28 persen dibandingkan kepemilikan asing di SUN pada akhir 2015 yang sebesar US$ 7,5 miliar.
Begitu pula di pasar saham. Bloomberg mencatat, sejak awal tahun ini pembelian bersih asing di pasar saham sebesar US$ 155 juta. Kondisinya lebih baik dari tahun lalu, yang mencatatkan penjualan bersih asing sebesar US$ 1,6 miliar. Sementara riset Bank Mandiri mencatat, pembelian bersih investor asing di pasar saham selama 2016 mencapai Rp 2,5 triliun.
(Baca: Dampak Tren Bunga di Bawah Nol Persen bagi Perekonomian)
Animo tinggi investor asing terhadap obligasi domestik sejalan dengan langkah pemerintah yang aktif merilis SUN pada awal tahun ini. Per 29 Januari lalu, pemerintah telah menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 97,54 triliun atau 17,98 persen dari total kebutuhan penerbitan SBN tahun ini. Itu terdiri dari SBN pengganti surat utang yang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp 24,74 triliun dan SBN baru Rp 72,8 triliun atau setara 22,25 persen dari total target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Dari total nilai SBN Rp 97,5 triliun itu, sebesar Rp 40 triliun merupakan SUN domestik yang berdenominasi rupiah.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan penerbitan SBN sampai 18 Februari lalu mencapai Rp 135,9 triliun, baik untuk mengganti surat utang yang jatuh tempo maupun surat utang baru. “Ini sesuai dengan target pemerintah di kuartal I untuk mengeksekusi pendanaan lebih cepat,” katanya saat acara peluncuran sukuk ritel seri 8, 18 Februari lalu. Ia menambahkan, penerbitan SBN pada semester I mencapai 63 persen dari target total tahun ini yang sebesar 542,6 triliun.
Sebelumnya, pendiri CRECO Research Institute Raden Pardede memperkirakan tingkat bunga rendah, atau bahkan negatif di banyak negara lain, akan membuat Indonesia kebanjiran masuknya dana asing. Namun, mayoritas mengalir ke surat utang, terutama Surat Utang Negara (SUN) karena imbal hasilnya menarik.
Menurut Raden, pemerintah semestinya memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI). Sebab, investasi jenis ini lebih aman untuk membiayai defisit transaksi berjalan ketimbang portofolio yang mudah keluar. “Jangan hanya mau menarik investasi portofolio,” kata pengurus Dewan Penasihat Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) ini.