KATADATA - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli dalam diskusi kebangsaan di Jakarta, akhir pekan lalu seakan membuka front baru perseteruan pengembangan Ladang Gas Abadi Blok Masela. Rizal menyebutkan kisruh tersebut sebenarnya sudah dibawa ke sidang kabinet awal tahun ini. Namun, Presiden Joko Widodo belum mengambil keputusan dalam rapat terbatas tersebut dan memberi satu kesempatan untuk mengkaji ulang.

Rizal mengabarkan bahwa dalam sidang tersebut ada tiga pejabat mendukung pengembangan Blok Masela melalui fasilitas kilang gas alam cair terapung (FLNG) atau offshore. Meraka adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir, dan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Amien Sunaryadi. 

Adapun Rizal mengaku mendukung pengembangan kilang LNG Blok Masela di darat. Skema onshore dinilai lebih murah dan memberi dampak ekonomi luas bagi kawasan sekitar blok di Laut Arafuru, Maluku tersebut. Agar masalah ini terbaca publik, dia usul sidang kabinet lanjutan digelar secara terbuka.

Lontaran Rizal kali ini -kemudian dikenal dengan “Rajawali Ngepret”- merupakan serangan kesekian kali ke kubu Kementerian Energi dan SKK Migas. Pada akhir September tahun lalu, didampingi sejumlah pejabat dua instansi itu, dia meminta rencana pengembangan blok tersebut dikaji ulang. (Baca: Rizal Ramli Minta Pengembangan Blok Masela Dikaji Ulang).

Ia menyoal rencana Inpex dan Shell Plc, sebagai pengelola Blok Masela, membangun FLNG. Alasannya, teknologi itu relatif baru dikembangkan Shell dengan investasi mencapai US$ 19,3 miliar. Daripada mengembangkan FLNG, dia menyarankan lebih baik membangun jaringan pipa 600 kilometer untuk mengalirkan gas Blok Masela ke Kepulauan Aru, Maluku. Selain investasinya lebih murah, langkah tersebut membantu ekonomi wilayah Aru.

Tudingannya tentu menohok dengan telak dua instansi pemerintah itu, yang secara kelembagaan di bawah naungan Kementerian Koordinator Maritim. Apalagi, SKK Migas baru menyetujui proposal revisi rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD) blok kaya gas bumi tersebut, dengan cadangan 10,73 triliun kaki kubik (TCF), yang diajukan oleh Inpex Masela Ltd pada 10 September 2015.

Atas sentilan tersebut, Sudirman memilih beseberangan dari Rizal dan berkubu dengan Amien Sunaryadi. Menurutnya, SKK Migas telah merekomendasikan skema offshore yang lebih hemat dibandingkan onshore dengan jaringan pipanya. “Saya percaya pada sistem dari SKK Migas,” kata Sudirman. Selain lebih hemat, pembangunan FLNG dinilai menumbuhkan industri maritim dalam negeri, misalnya mendukung industri perkapalan. (Baca: Bantah Rizal Ramli soal Blok Masela, SKK Migas: FLNG Lebih Unggul)

“Kalau FLNG lebih murah. Itu terbalik angka yang dipakai (Rizal Ramli),” Amien menambahkan. Selain itu, dia meyakinkan biaya operasional pipa lebih tinggi dari FLNG, sekitar US$ 356 juta per tahun sedangkan FLNG hanya US$ 304 juta. Karena itulah institusinya menyarankan ke Menteri Energi opsi FLNG dalam mengembangkan Blok Masela. 

Perbandingan Biaya Pengembangan Blok Masela
 
Perbandingan Biaya Pengembangan Blok Masela (Katadata)

Mendapat serangan balik, Rizal tak tinggal diam. Di acara diskusi pula, pada awal Oktober 2015, kegaduhan ini makin menjadi. Dia mengatakan ada pejabat yang keblinger ingin menandatangani POD Blok Masela namun mementingkan perusahaan asing. “Saya peringatkan, jangan kebangetan.” Dia menuduh pejabat-pejabat SKK Migas banyak yang tidak berpikir independen meski gajinya besar.

Untuk mereda kegaduhan berkepanjangan, Menteri Sudirman dan Amien menghadap Presiden Joko Widodo. Hasilnya, akan dipilih konsultan independen untuk mengkaji pengembangan blok tersebut. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan penggunaan konsultan independen merupakan perintah langsung Sudirman. Direktoratnya dan SKK Migas ditugasi untuk mencari konsultan berkelas internasional. (Baca: Pemerintah Diminta Utamakan Efek Berantai di Blok Masela)

Di tengah ribut-ribut tersebut, rupanya suara di dalam SKK Migas tak seirama. Sumber Katadata mengatakan ada beda pandangan beberapa pejabat dalam menghitung nilai keekonomian Blok Masela. Sebagian berpendapat skema darat lebih menguntungkan. Namun kelompok yang lebih besar melihat sebaliknya bahwa FLNG merupakan pilihan terbaik.

Untuk menyamakan persepsi, Amien Sunaryadi sempat membahas topik tersebut dalam pertemuan SKK Migas di Markas Pusat Pendidikan dan Latihan Kopasus Batujajar, Bandung. Acara yang diselenggarakan pada 23-25 Oktober 2015 itu dihadiri sekitar 150 pejabat, dari seluruh Kepala Dinas hingga Kepala Divisi dan yang setingkatnya. “Intinya, Amien berpesan boleh beda pandangan di internal, tapi keluar harus satu suara,” katanya.

Usai pertemuan tersebut, SKK Migas memang tak mengubah sedikit pun atas rekomendasi rencana pengembangan Blok Masela yang dikirim ke Kementerian Energi. Apalagi, saat itu Kementerian Energi sedang menggodok calon konsultan independen untuk mengakji ulang proyek Blok Masela. Hingga berita ini diturunkan, Amien belum memberi penjelasan. Dia hanya membaca pesan Whatssapp dari Katadata.

Perbandingan Manfaat Ekonomi Blok Masela
Perbandingan Manfaat Ekonomi Blok Masela (Katadata)

Namun, bagaiamana sengitnya pemabahasan Blok Masela ini sampai ke Aussie Gautama. Mantan Deputi Pengendalian Perencanaan SKK Migas ini menyatakan, silang pendapat tak hanya terjadi antara SKK Migas dan Inpex atau Shell, namun juga di dalam tubuh lembaga itu. “Betapa serunya perdebatan untuk menentukannya,” kata Aussie dalam sebuah diskusi Ikatan Alumni Insitut Teknologi Bandung, awal November tahun lalu.

Lantaran pembahasaannya begitu alot dengan beragam argumentasi, Amien lalu mengirim anak buahnya ke luar negeri. Mereka, kata Aussie, diminta mencari masukan dari para pemain gas kelas dunia. “Lalu timnya pulang, ada yang ke Eropa ada yang ke seberangnya, lalu diputuskan ini,” kata Staf Ahli Direktur Utama Pertamina ini dalam diskusi yang sudah diunggah ke Youtube. Setelah itu, masyarakat pun hanya mendengar suara SKK Migas bahwa FLNG merupakan opsi terbaik dalam mengembangkan Blok Masela

Saling Tuding Berbagai Kepentingan di Belakang Masela

Silang pendapat di tubuh pemerintah lalu bergeser ke Senayan. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Amien Sunaryadi dicecar. Misalnya, Ketua Komisi Kardaya Warnika mempermasalahkan sumber dana untuk menyewa Poten and Partner, konsultan yang akhirnya dipilih. Menurut dia, bila anggaran bersumber dari SKK Migas akan menjadi bumerang ketika hasilnya malah menentukan pembangunan kilang di darat. 

Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika
Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika
(Katadata)
 

Mendapat pertanyaan itu, Amien mengatakan biaya konsultan yang mencapai Rp 3,8 miliar memang dari SKK Migas, yang sebenarnya tidak memiliki anggaran untuk itu. Namun, lantaran ditugaskan oleh Menteri Sudirman, dia dan Wiratmaja membahasnya. Hasilnya, “Kami lihat kalau dilakukan revisi dipa di Ditjen Migas, waktunya tidak memungkinkan. Lalu dilihat dari sisi kami, plafonnya ada jadi tinggal mengubah peruntukan,” ujar Amien dalam rapat di DPR, 30 November 2015.

Rupanya, kegaduhan pembahasan Blok Masela pun masuk istana. Seorang pejabat pemerintah di sektor migas bercerita, sejak Kementerian Energi memutuskan Poten sebagai konsultan, satu tim di Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Program Prioritas, Kantor Staf Presiden, bergerak mempelajari kisruh tersebut. Mereka menggandeng sejumlah pakar untuk menghitung ulang untung-rugi dari berbagai opsi pengembangan ladang gas tersebut.  

Mereka berpacu dengan Poten. Berbagai proyek pengembangan Blok gas di sejumlah negara dikumpulkan sebagai pembanding. Misalnya, mereka mengambil data dari FLNG Prelude Project di Australia yang memakai kilang terapung dalam mengelola gas dengan kapasitas produksi 3,5 MTPA. (Baca: Kementerian ESDM Ingin Pengembangan Blok Masela di Laut).

Ada pula pengembangan onshore dalam Itchys Project yang digarap oleh Inpex dan Total. Blok ini dikembangkan dengan membentangkan pipa sepanjang 889 kilometer dari ladang gas Browse Basin ke Darwin, Australia. Selain itu, juga membandingkan dengan pengembangan gas di dalam negeri seperti Donggi Sonoro. “Hasilnya, proposal Inpex di onshore dinilai terlalu tinggi dan FLNG terlalu murah,” kata sumber Katadata ini.

Atas dugaan tersebut, Senior Manajer Komunikasi Inpex Corporation Usman Slamet membantahnya. Menurut dia, kilang di darat dalam pengembangan Itchys tak bisa dibandingkan dengan Masela. Sebab, beberapa variabel penghitunganya berbeda seperti kedalaman laut dan kondisi geografisnya.

Hal yang sama berlaku pula dengan proyek Prelude. “Misalnya, Prelude menghasilkan LNG dan LPG, sedangkan Masela hanya memproduksi LNG,” kata Usaman ketika mengomentari dokumen yang disdorkan Katadata. Namun, dia menolak untuk memberi penjelasn lebih jauh mengenai lembaran-lembaran selanjutnya. “Wah, ini datanya Darmo ya, saya tidak mau komentar,” ujarnya.

Darmo yang dimaksud Usman adalah Darmawan Prasodjo, Deputi I Bidang Pengendalian Pembangunan Program Prioritas, Kantor Staf Presiden. Di bawah deputinya pembahasan Masela ini digodok. Seorang sumber di istana mengatakan hasil kajian tersebut sudah dipresentasikan ke Presiden Joko Widodo. “Ini yang membuat tarik-ulur,” katanya. Sayang hingga tulisan ini diturunkan, Darmawan tak bisa dihubungi. Tak ada respons atas konfirmasi Katadata dari tiga nomor telepon genggamnya.

Kisruh Blok Masela hingga masuk istana menambah panjang daftar orang yang “berseteru”. Berbagai kelompok mendukung atau menolak pengembangan dua alternatif: FLNG atau skema di darat. Ketika kasus ini ramai kembali dibicarakan publik pada Oktober tahun lalu, Forum Tujuh Tiga atau Fortuga -kumpulan alumni Institut Teknologi Bandung angkatan 1973- menjadi barisan depan yang mendukung Rizal Ramli. Mereka, sebagian besar berkiprah di industri migas nasional dan multinasional- menolak skema FLNG, sebaliknya mendukung onshre.

Di kabinet suara pun terbelah. Selain Rizal, menurut ekonomo Universitas Indonesia Faisal Basri, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga mendukung onshore. Walau, kata Faisal Jumat pekan lalu, Bambang mengaku pandangannya bukan sebagai menteri keuangan. Karenanya, dia pun meminta penjelasan Bambang tentang posisinya. (Baca: Kisruh Blok Masela, Faisal Basri: Perusahaan Pipa Punya Siapa?).

Sebaliknya, Faisal menuding skema onshore dipenuhi banyak kepentingan, terutama terkait pembangunan pipa dan pembebasan lahan. “Siapa yang punya pabrik pipa? Dia lagi kan,” kata Faisal. Namun, dia enggan menyebut secara gamblang perusahaan pipa yang dimaksudkannya.

Seorang pejabat di lingkungan kepresidenan membenarkan dugaan Faisal, bahwa kemungkinan ada yang akan menikmati proyek Masela bila menggunakan onshore. Namun, dia juga menekankan biaya pengembangan pipa oleh Inpex terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan proyek Itchys. Sebagai contoh, Inpex menghitung, satu kilometer pipa butuh biaya US$ 6,6 juta. “Padahal, dengan US$ 2 juta per kilometer saja pemenang proyek bisa berpesta pora,” ujarnya. 

Faisal Basri KATADATA|Agung Samosir
Faisal Basri KATADATA|Agung Samosir 

Sebaliknya, dia menyatakan skema FLNG pun syarat kepentingan. Misalkan ada korporasi multinasional besar yang akan menikmatinya seperti perusahan pembuat kapal FLNG. Sebagai contoh, badan kapan atau hull sudah dipastikan di buat di luar negeri. Begitu pula sejumlah komponen lainnya.

Namun, Usaman menangkis anggapan tersebut. Hull kapal senilai sekitar US$ 1,355 miliar memang akan dibuat di Korea. “Tapi yang lainnya bisa dikerjakan di dalam negeri,” katanya. Nilai tersebut relatif tidak terlalu besar dibandingkan dengan total biaya FLNG yang mencapai US$ 7,19 miliar.

Dengan perseteruan ini, rencanan pengembangan blok gas tersebut terkatung-katung. Kini, semua mata pun tertuju ke istana. Merka menunggu keputusan Presiden Jokowi. (Baca: Jokowi akan Dilibatkan dalam Memutuskan Skema Blok Masela).

Kontroversial Sejak Awal

Inpex mendapatkan hak melakukan eksplorasi di Blok Masela pada 16 November 1998. Sejak itu perusahaan asal Jepang tersebut melalui Inpex Masela Ltd telah melakukan kegiatan eksplorasi hidrokarbon. Ketika itu, masa eksplorasi diberikan selama enam tahun dan bisa diperpanjang selama empat tahun. Ini berarti masa eksplorasi Inpex habis pada November 2008 dan secara ketentuan harus dilanjutkan dengan produksi komersial.

Kisruh lalu muncul pada awal 2008. Ketika itu, kontrak perpanjangan eksplorasi Blok Masela terancam gagal karena hingga akhir April tahun itu belum mengajukan usulan POD. Bila Inpex mengajukan POD pada Mei 2008, waktu Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) -nama SKK Migas ketika itu- untuk mengevaluasi POD sangat singkat. “Kalau POD baru diajukan Mei, ini sangat berisiko kontraknya tidak diperpanjang. Karena waktunya sangat mepet,” kata Kardaya Warnika sebagaimana dikutip detik.com, Rabu, 30 April 2008. Ketika itu dia baru melepas jabatanya dari Kepala BP Migas.

Beberapa bulan kemudian, Inpex menyampaikan rencana pengembangan Blok Masela ke BP Migas. Benar, instansi ini butuh waktu lama mempelajarinya. Bahkan, hingga pertengah November 2008, BP Migas belum juga menyelesaikan evaluasi POD tersebut dan menyerahkan ke Departemen Energi dan Sumber daya Mineral.

Padahal, BP Migas berjanji menyelesaikan kajian pada awal bulan. Terkait denga hal ini, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi Evita Herawati Legowo mengatakan, “Menerima atau menolak POD kan dilihat dari aspek keekonomian dan keteknikan saja. Tapi laporannya belum sampai ke tangan saya,” kata Evita yang dilansir kontan.co.id, Senin, 17 November 2008.

Aspek keekonomian lapangan Masela, ujar Evita, sangat dipengaruhi oleh lokasi terminal penerima gas alam. Ketika itu, Inpex bersama BP Migas sudah membahas tiga alternatif lokasi penampungan yang paling tepat sehingga harganya menjadi sangat ekonomis.

Pertama, mengambil lokasi di Darwin, Australia. Kedua menggunakan floating LNG yang ditempatkan di Laut Arafuru. Adapaun alternatif ketiga yakni membangun penampungan di pulau terdekat dalam wilayah Indonesia. “Yang menjadi masalah, receiving terminal gas alam cairnya floating atau di darat. Kalau di Darwin, pemerintah agak keberatan karena bukan wilayah Indonesia sehingga repot mengaturnya,” katanya.

Setelah itu, POD ini lama tak terdengar. Lalu, pada Juli 2009, publik dihebohkan dengan kabar bahwa rencana pengembangan Blok Masela sudah diteken pemerintah pada awal tahun itu. Skema yang disetuji yaitu FLNG. Namun, Menteri Energi Purnomo Yusgiatoro buru-buru menyatakan bahwa POD tersebut bersifat sementara.  

Sebaliknya, pemerintah minta Inpex membangun kilang pengolahan gas di darat. Kondisi palung di dasar laut yang awalnya diduga begitu berbahaya ternyata tak sedalam yang diperkirakan. Seperti dikutip tempo.co pada 3 Juli 2009, dia menyatakan, “Ada perkembangan terbaru, palung yang dikira dalam ternyata bisa dilewati pipa.”

Sebelumnya, kedalaman palung diperkirakan 2.500 meter sehingga dikhawatirkan pipa rentan patah akibat ombak. Akhirnya, ketika itu disepakati pembangunan kilang secara terapung atau FLNG. Namun, studi kelayakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, BP Migas, dan konsultan menunjukkan cekungannya tidak terlalu dalam. Sebagai perbandingan, Brasil, India, dan Norwegia berhasil menerapkan pipa melalui cekungan dalam. Selain itu, tim juga melihat kecepatan arus dan risiko terhadap gempa.

Keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa POD tersebut bersifat sementara memicu kontroversi. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Energy and Resources Law, Ryad A Chairil menyatakan dalam Undang-Undang Minyak dan Gas tidak mengenal persetujuan POD sementara. Selain itu, langkah pemerintah dapat dianggap melanggar azas transparansi sebagaimana tertuang dalam Pasal 39 beleid tersebut. Sehingga, POD sementara akan membuat preseden buruk dan membuka peluang kontraktor lain untuk mendapat perlakuan serupa.

Pandangan serupa diungkapkan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto. Dia menilai bila belum ada kelayakan teknis, lebih baik tidak disetujui rencana pengembangannya. 

Di tengah mendapat sorotan, suara pemerinta malah tidak seirama. Pada awal November 2009, BP Migas mengumumkan telah menyetujui pegembangan Blok Masela melalui fasilitas kilang terapung (FLNG). Kilang ini akan bertengger di antara riak ombak di Lauta Arafuru, dengan kedalaman laut 400 sampai 800 meter. Posisinyaa 150 kilometer Barat Daya dari Saumlaki, Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku.

Rupanya, hal ini bertolak belakang dengan langkah Dirjen Migas Evita Legowo. Sebab, ketika itu pemerintah baru membuka tender konsultan independen yang akan  mengkaji proyek pembangunan kilang LNG di Blok Masela. Evita berharap konsultan ini memberikan masukan kepada pemerintah agar bisa mengambil keputusan yang terbaik. Dampak dari perbedaan ini, status FLNG pun masih simpang siur. 

Setahun kemudian, di bawah Menteri Energi Darwin Saleh, pada Desember 2010, rencana pengembangan Blok Masela disetujui melalui skema FLNG. Namun, Inpex mengajukan revisi kepada SKK Migas empat tahun kemudian. Alasannya, ada penambahan kapasitas FLNG dari 2,5 juta metrik ton menjadi 7,5 juta metrik ton seiring ditemukannya cadangan baru gas hingga 10,73 triliun kaki kubik.

Selain mengubah rencana pengembangan, Inpex juga dikabarkan berniat memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Masela yang akan berakhir 2028. Demi memaksimalkan investasinya, perusahaan migas asal Jepang ini ingin memperpanjang kontrak hingga 2048.

Reporter: Muchamad Nafi

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami