Saling Tuding Berbagai Kepentingan di Belakang Masela

Silang pendapat di tubuh pemerintah lalu bergeser ke Senayan. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Amien Sunaryadi dicecar. Misalnya, Ketua Komisi Kardaya Warnika mempermasalahkan sumber dana untuk menyewa Poten and Partner, konsultan yang akhirnya dipilih. Menurut dia, bila anggaran bersumber dari SKK Migas akan menjadi bumerang ketika hasilnya malah menentukan pembangunan kilang di darat. 

Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika
Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika
(Katadata)
 

Mendapat pertanyaan itu, Amien mengatakan biaya konsultan yang mencapai Rp 3,8 miliar memang dari SKK Migas, yang sebenarnya tidak memiliki anggaran untuk itu. Namun, lantaran ditugaskan oleh Menteri Sudirman, dia dan Wiratmaja membahasnya. Hasilnya, “Kami lihat kalau dilakukan revisi dipa di Ditjen Migas, waktunya tidak memungkinkan. Lalu dilihat dari sisi kami, plafonnya ada jadi tinggal mengubah peruntukan,” ujar Amien dalam rapat di DPR, 30 November 2015.

Rupanya, kegaduhan pembahasan Blok Masela pun masuk istana. Seorang pejabat pemerintah di sektor migas bercerita, sejak Kementerian Energi memutuskan Poten sebagai konsultan, satu tim di Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Program Prioritas, Kantor Staf Presiden, bergerak mempelajari kisruh tersebut. Mereka menggandeng sejumlah pakar untuk menghitung ulang untung-rugi dari berbagai opsi pengembangan ladang gas tersebut.  

Mereka berpacu dengan Poten. Berbagai proyek pengembangan Blok gas di sejumlah negara dikumpulkan sebagai pembanding. Misalnya, mereka mengambil data dari FLNG Prelude Project di Australia yang memakai kilang terapung dalam mengelola gas dengan kapasitas produksi 3,5 MTPA. (Baca: Kementerian ESDM Ingin Pengembangan Blok Masela di Laut).

Ada pula pengembangan onshore dalam Itchys Project yang digarap oleh Inpex dan Total. Blok ini dikembangkan dengan membentangkan pipa sepanjang 889 kilometer dari ladang gas Browse Basin ke Darwin, Australia. Selain itu, juga membandingkan dengan pengembangan gas di dalam negeri seperti Donggi Sonoro. “Hasilnya, proposal Inpex di onshore dinilai terlalu tinggi dan FLNG terlalu murah,” kata sumber Katadata ini.

Atas dugaan tersebut, Senior Manajer Komunikasi Inpex Corporation Usman Slamet membantahnya. Menurut dia, kilang di darat dalam pengembangan Itchys tak bisa dibandingkan dengan Masela. Sebab, beberapa variabel penghitunganya berbeda seperti kedalaman laut dan kondisi geografisnya.

Hal yang sama berlaku pula dengan proyek Prelude. “Misalnya, Prelude menghasilkan LNG dan LPG, sedangkan Masela hanya memproduksi LNG,” kata Usaman ketika mengomentari dokumen yang disdorkan Katadata. Namun, dia menolak untuk memberi penjelasn lebih jauh mengenai lembaran-lembaran selanjutnya. “Wah, ini datanya Darmo ya, saya tidak mau komentar,” ujarnya.

Darmo yang dimaksud Usman adalah Darmawan Prasodjo, Deputi I Bidang Pengendalian Pembangunan Program Prioritas, Kantor Staf Presiden. Di bawah deputinya pembahasan Masela ini digodok. Seorang sumber di istana mengatakan hasil kajian tersebut sudah dipresentasikan ke Presiden Joko Widodo. “Ini yang membuat tarik-ulur,” katanya. Sayang hingga tulisan ini diturunkan, Darmawan tak bisa dihubungi. Tak ada respons atas konfirmasi Katadata dari tiga nomor telepon genggamnya.

Kisruh Blok Masela hingga masuk istana menambah panjang daftar orang yang “berseteru”. Berbagai kelompok mendukung atau menolak pengembangan dua alternatif: FLNG atau skema di darat. Ketika kasus ini ramai kembali dibicarakan publik pada Oktober tahun lalu, Forum Tujuh Tiga atau Fortuga -kumpulan alumni Institut Teknologi Bandung angkatan 1973- menjadi barisan depan yang mendukung Rizal Ramli. Mereka, sebagian besar berkiprah di industri migas nasional dan multinasional- menolak skema FLNG, sebaliknya mendukung onshre.

Di kabinet suara pun terbelah. Selain Rizal, menurut ekonomo Universitas Indonesia Faisal Basri, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro juga mendukung onshore. Walau, kata Faisal Jumat pekan lalu, Bambang mengaku pandangannya bukan sebagai menteri keuangan. Karenanya, dia pun meminta penjelasan Bambang tentang posisinya. (Baca: Kisruh Blok Masela, Faisal Basri: Perusahaan Pipa Punya Siapa?).

Sebaliknya, Faisal menuding skema onshore dipenuhi banyak kepentingan, terutama terkait pembangunan pipa dan pembebasan lahan. “Siapa yang punya pabrik pipa? Dia lagi kan,” kata Faisal. Namun, dia enggan menyebut secara gamblang perusahaan pipa yang dimaksudkannya.

Seorang pejabat di lingkungan kepresidenan membenarkan dugaan Faisal, bahwa kemungkinan ada yang akan menikmati proyek Masela bila menggunakan onshore. Namun, dia juga menekankan biaya pengembangan pipa oleh Inpex terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan proyek Itchys. Sebagai contoh, Inpex menghitung, satu kilometer pipa butuh biaya US$ 6,6 juta. “Padahal, dengan US$ 2 juta per kilometer saja pemenang proyek bisa berpesta pora,” ujarnya. 

Faisal Basri KATADATA|Agung Samosir
Faisal Basri KATADATA|Agung Samosir 

Sebaliknya, dia menyatakan skema FLNG pun syarat kepentingan. Misalkan ada korporasi multinasional besar yang akan menikmatinya seperti perusahan pembuat kapal FLNG. Sebagai contoh, badan kapan atau hull sudah dipastikan di buat di luar negeri. Begitu pula sejumlah komponen lainnya.

Namun, Usaman menangkis anggapan tersebut. Hull kapal senilai sekitar US$ 1,355 miliar memang akan dibuat di Korea. “Tapi yang lainnya bisa dikerjakan di dalam negeri,” katanya. Nilai tersebut relatif tidak terlalu besar dibandingkan dengan total biaya FLNG yang mencapai US$ 7,19 miliar.

Dengan perseteruan ini, rencanan pengembangan blok gas tersebut terkatung-katung. Kini, semua mata pun tertuju ke istana. Merka menunggu keputusan Presiden Jokowi. (Baca: Jokowi akan Dilibatkan dalam Memutuskan Skema Blok Masela).

Halaman:
Reporter: Muchamad Nafi

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami