Kontroversial Sejak Awal

Inpex mendapatkan hak melakukan eksplorasi di Blok Masela pada 16 November 1998. Sejak itu perusahaan asal Jepang tersebut melalui Inpex Masela Ltd telah melakukan kegiatan eksplorasi hidrokarbon. Ketika itu, masa eksplorasi diberikan selama enam tahun dan bisa diperpanjang selama empat tahun. Ini berarti masa eksplorasi Inpex habis pada November 2008 dan secara ketentuan harus dilanjutkan dengan produksi komersial.

Kisruh lalu muncul pada awal 2008. Ketika itu, kontrak perpanjangan eksplorasi Blok Masela terancam gagal karena hingga akhir April tahun itu belum mengajukan usulan POD. Bila Inpex mengajukan POD pada Mei 2008, waktu Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) -nama SKK Migas ketika itu- untuk mengevaluasi POD sangat singkat. “Kalau POD baru diajukan Mei, ini sangat berisiko kontraknya tidak diperpanjang. Karena waktunya sangat mepet,” kata Kardaya Warnika sebagaimana dikutip detik.com, Rabu, 30 April 2008. Ketika itu dia baru melepas jabatanya dari Kepala BP Migas.

Beberapa bulan kemudian, Inpex menyampaikan rencana pengembangan Blok Masela ke BP Migas. Benar, instansi ini butuh waktu lama mempelajarinya. Bahkan, hingga pertengah November 2008, BP Migas belum juga menyelesaikan evaluasi POD tersebut dan menyerahkan ke Departemen Energi dan Sumber daya Mineral.

Padahal, BP Migas berjanji menyelesaikan kajian pada awal bulan. Terkait denga hal ini, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi Evita Herawati Legowo mengatakan, “Menerima atau menolak POD kan dilihat dari aspek keekonomian dan keteknikan saja. Tapi laporannya belum sampai ke tangan saya,” kata Evita yang dilansir kontan.co.id, Senin, 17 November 2008.

Aspek keekonomian lapangan Masela, ujar Evita, sangat dipengaruhi oleh lokasi terminal penerima gas alam. Ketika itu, Inpex bersama BP Migas sudah membahas tiga alternatif lokasi penampungan yang paling tepat sehingga harganya menjadi sangat ekonomis.

Pertama, mengambil lokasi di Darwin, Australia. Kedua menggunakan floating LNG yang ditempatkan di Laut Arafuru. Adapaun alternatif ketiga yakni membangun penampungan di pulau terdekat dalam wilayah Indonesia. “Yang menjadi masalah, receiving terminal gas alam cairnya floating atau di darat. Kalau di Darwin, pemerintah agak keberatan karena bukan wilayah Indonesia sehingga repot mengaturnya,” katanya.

Setelah itu, POD ini lama tak terdengar. Lalu, pada Juli 2009, publik dihebohkan dengan kabar bahwa rencana pengembangan Blok Masela sudah diteken pemerintah pada awal tahun itu. Skema yang disetuji yaitu FLNG. Namun, Menteri Energi Purnomo Yusgiatoro buru-buru menyatakan bahwa POD tersebut bersifat sementara.  

Sebaliknya, pemerintah minta Inpex membangun kilang pengolahan gas di darat. Kondisi palung di dasar laut yang awalnya diduga begitu berbahaya ternyata tak sedalam yang diperkirakan. Seperti dikutip tempo.co pada 3 Juli 2009, dia menyatakan, “Ada perkembangan terbaru, palung yang dikira dalam ternyata bisa dilewati pipa.”

Sebelumnya, kedalaman palung diperkirakan 2.500 meter sehingga dikhawatirkan pipa rentan patah akibat ombak. Akhirnya, ketika itu disepakati pembangunan kilang secara terapung atau FLNG. Namun, studi kelayakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, BP Migas, dan konsultan menunjukkan cekungannya tidak terlalu dalam. Sebagai perbandingan, Brasil, India, dan Norwegia berhasil menerapkan pipa melalui cekungan dalam. Selain itu, tim juga melihat kecepatan arus dan risiko terhadap gempa.

Keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa POD tersebut bersifat sementara memicu kontroversi. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Energy and Resources Law, Ryad A Chairil menyatakan dalam Undang-Undang Minyak dan Gas tidak mengenal persetujuan POD sementara. Selain itu, langkah pemerintah dapat dianggap melanggar azas transparansi sebagaimana tertuang dalam Pasal 39 beleid tersebut. Sehingga, POD sementara akan membuat preseden buruk dan membuka peluang kontraktor lain untuk mendapat perlakuan serupa.

Pandangan serupa diungkapkan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto. Dia menilai bila belum ada kelayakan teknis, lebih baik tidak disetujui rencana pengembangannya. 

Di tengah mendapat sorotan, suara pemerinta malah tidak seirama. Pada awal November 2009, BP Migas mengumumkan telah menyetujui pegembangan Blok Masela melalui fasilitas kilang terapung (FLNG). Kilang ini akan bertengger di antara riak ombak di Lauta Arafuru, dengan kedalaman laut 400 sampai 800 meter. Posisinyaa 150 kilometer Barat Daya dari Saumlaki, Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku.

Rupanya, hal ini bertolak belakang dengan langkah Dirjen Migas Evita Legowo. Sebab, ketika itu pemerintah baru membuka tender konsultan independen yang akan  mengkaji proyek pembangunan kilang LNG di Blok Masela. Evita berharap konsultan ini memberikan masukan kepada pemerintah agar bisa mengambil keputusan yang terbaik. Dampak dari perbedaan ini, status FLNG pun masih simpang siur. 

Setahun kemudian, di bawah Menteri Energi Darwin Saleh, pada Desember 2010, rencana pengembangan Blok Masela disetujui melalui skema FLNG. Namun, Inpex mengajukan revisi kepada SKK Migas empat tahun kemudian. Alasannya, ada penambahan kapasitas FLNG dari 2,5 juta metrik ton menjadi 7,5 juta metrik ton seiring ditemukannya cadangan baru gas hingga 10,73 triliun kaki kubik.

Selain mengubah rencana pengembangan, Inpex juga dikabarkan berniat memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Masela yang akan berakhir 2028. Demi memaksimalkan investasinya, perusahaan migas asal Jepang ini ingin memperpanjang kontrak hingga 2048.

Halaman:
Reporter: Muchamad Nafi

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami