Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja juga mewartakan revisi akan dilakukan setelah mendapat masukan dari stakeholder seperti Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat tentang tiga filosofi pentingnya beleid ini. Pertama, penentuan prioritas tambahan bagi penerima gas, lalu trader gas harus memiliki fasilitas, dan ketiga pemanfaatan flare gas atau gas suar.

Rencananya, dalam revisi Peraturan Menteri juga mengatur tender gas. Swasta diperbolehkan mengikuti tender dengan catatan trader harus memiliki fasilitas infrastruktur gas. “Kami mendorong trader bisa memiliki fasilitas,” ucap Wiratmaja. Dengan demikian, beleid ini akan memicu infrastruktur gas semakin berkembang massif.

Isu persyaratan ini sempat bikin gerah kalangan trader, jauh hari sebelum peraturan menteri tersebut keluar. Mereka merasa terancama tak bisa lagi menikmati kue penjualan gas yang trennya terus meningkat. Dalam dokumen yang dimiliki Katadata, hingga pertengahan tahun ini setidaknya ada 15 perusahaan trader yang tak memiliki fasiltas infrastruktur seperti tempat penyimpanan. Bahkan sumber di Badan Pengatur Hilir Kegiatan Usaha Minyak dan Gas (BPH Migas), menyebutkan jumlah tersebut sudah membengkak menjadi 32 perusahaan.

Sementara itu, Sekretaris Dirjen ESDM Susyanto mengatakan pembangunan infrastruktur perlu agar ada kepastian penyerapan gas dari hulu. Sebab, pemerintah telah melonggarkan batasan alokasi gas bumi untuk dalam negeri. Kontraktor migas tidak lagi diwajibkan mengalokasikan hasil produksi gas bagiannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Sudirman Said
Sudirman Said (Arief Kamaludin|KATADATA)

Namun, ada tiga ketentuan yang harus dipenuhi Kontraktor agar dapat mengekspor gas. Pertama, kebutuhan gas konsumen dalam negeri telah tercapai. Kedua, belum tersedianya infrastruktur gas di dalam negeri yang memadai. Ketiga, daya beli konsumen domestik lebih rendah sehingga tidak sesuai dengan harga keekonomian di pasar. Selama ini, perusahaan trader banyak menentukan harga gas ke pengguna akhir dengan margin variatif. Dampaknya, tidak ada acuan dalam membuat harga lebih kompetitif.

Sementara itu, anggota Indonesian Petroleum Association (IPA) Taufik Ahmad mengatakan ada dua hal yang harus mendapat perhatian pemerintah dalam me-review Peraturan Menteri Energi Nomor 37 Tahun 2015. Pertama, tidak ada satu pun pasal yang berbenturan dengan ketentuan production sharing contract (PSC) dan aturan lain. Kedua, pasal-pasal peraturan mengatur yang benar-benar prioritas. Sebab, kalau terlalu rinci, implementasinya akan sulit. (Lihat: Merger PGN-Pertagas Bisa Turunkan Harga Gas 30 Persen).

Di sisi lain, Taufik meilhat ada potensi tumpang tindih antara Peraturan Prsiden tentang Tata Kelola Gas, yang kabarnya segera keluar, dan Peraturan Menteri tersebut, yakni terkait konsep alokasi gas. Dia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak menyebutkan fungsi agregator dengan rinci dalam perpres, namun substansi agregator telah muncul dalam peraturan menteri.

Contoh lain, dalam PSC dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi menetapkan alokasi gas untuk dalam negeri sebesar 25 persen dari produksi Kontrator. Namun hal ini tak tercantum lagi dalam peraturan menteri.

Halaman:
Reporter: Manal Musytaqo, Arnold Sirait, Anggita Rezki Amelia
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement