Tak cuma harus merogoh kocek untuk membeli blok migas yang akan berakhir kontraknya, menurut sumber Katadata, transaksi pembelian Blok B dan Blok NSO oleh Pertamina itu berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum. Pasalnya, ExxonMobil masih memiliki utang berupa kelebihan pengembalian biaya investasi atau cost recovery senilai US$ 80 juta atau sekitar Rp 1,1 triliun. Cost recovery itu merupakan klaim biaya para pengacara di kantor pusat Exxon di Amerika Serikat. Utang tersebut sudah muncul sebelum tahun 2015.

Namun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menyetujui penggantian biaya itu masuk dalam cost recovery. Alhasil, ExxonMobil diminta mengembalikan biaya tersebut kepada negara.

Kepala Bagian Humas SKK Migas Elan Biantoro mengatakan,  ExxonMobil dan Pertamina tentu sudah memiliki perjanjian hak dan kewajiban terkait pengambilalihan aset-aset migas tersebut. Meski pengalihannya baru dilakukan pada 1 Oktober ini, Pertamina harus menanggung semua hak dan kewajiban yang ada sejak awal tahun ini. Mulai dari utang hingga pembayaran gaji karyawan. “Proses negosiasi antara ExxonMobil dan Pertamina sudah berlangsung sejak satu tahun lalu,” imbuhnya.

Seorang pelaku di industri migas menilai, langkah Pertamina yang terburu-buru membeli aset migas di Aceh cukup masuk akal. Perusahaan pelat merah ini khawatir rencananya bakal kandas kalau menunggu sampai tahun 2018 ketika Badan Pengelola  Migas Aceh (BPMA) sudah berdiri. Begitu pula pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 22015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.

BPMA adalah badan otonomi pemerintah yang mengelola dan mengendalikan bersama-sama kegiatan usaha hulu di bidang migas khusus di wilayah Aceh. Selain di darat, BPMA hanya punya kewenangan di blok migas yang berada di daerah 0 sampai 12 mil laut. Badan ini dibentuk melalui  PP Nomor 23 Tahun 2015 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Di dalam PP yang diundangkan 5 Mei 2015 itu, pemerintah pusat diberikan waktu satu tahun untuk membentuk BPMA. Jadi, badan khusus tersebut sudah harus terbentuk sebelum Mei tahun depan.

Jika BPMA sudah terbentuk, nantinya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) tidak lagi berwenang mengurus blok migas di Aceh. Apalagi, di dalam PP No. 23 itu ada klausul yang berbunyi: wilayah kerja yang telah habis masa kontraknya dan telah dikembalikan ke negara akan ditawarkan terlebih dahulu kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Kalau BUMD itu tidak berminat untuk melakukan kegiatan usaha hulu tersebut, maka wilayah kerja itu dapat ditawarkan secara terbuka. Klausul inilah yang menjadi kekhawatiran Pertamina. “Sebab BUMD Aceh juga berminat mengelola blok tersebut (Blok B dan Blok NSO),” kata sumber Katadata.

Namun, menurut Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro, Pertamina memutuskan mengambil alih dan mengelola dua blok tersebut lebih awal dari tahun 2018 agar bisa mengelolanya lebih maksimal. Dia juga tidak khawatir jika kontrak pengelolaan Pertamina di blok itu tak diperpanjang BPMA setelah tahun 2018. "Kami akan bekerja maksimal agar dapatkan hasil maksimum," tandasnya.

Halaman:
Reporter: Arnold Sirait
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement