Goyah di Industri Perbankan
Masalah juga mencuat di industri perbankan. PT Bank Bukopin Tbk, misalnya, terbelit permodalan dan likuiditas. Bank ini bahkan menghadapi penarikan dana nasabah.
Seorang nasabah Bukopin yang enggan disebut namanya menyatakan dana yang ia transfer ke rekening bank lain sejak pertengahan bulan lalu masih menggantung. Pengambilan dana di bank juga kian sulit.
“Hingga kini dananya belum masuk, padahal rekening di buku tabungan sudah terpotong. Di ATM, antrian panjang. Penarikan tunai di bank juga dibatasi,” katanya.
Sekretaris Perusahaan Bukopin Melawati dalam keterbukaan di Bursa Efek Indonesia menjelaskan, pihaknya tengah berupaya untuk memenuhi kebutuhan nasabah ketika menarik dana. Pembatasan antrian di kantor cabang Bukopin untuk memenuhi protokol kesehatan Covid-19 yang disesuaikan dengan kapasitas jam operasional.
(Baca: Alotnya Ganti Nakhoda dan Jalan Keluar Mengisi Kantong Bukopin)
Saat ini, perseroan tengah menjalani proses penambahan modal untuk memperkuat fundamental, termasuk struktur likuiditas. Bukopin berencana menggelar penawaran umum terbatas guna menambah permodalan. Aksi ini bakal menjadi jalan masuk bagi bank asal Korea Selatan, Kookmin Bank, untuk menjadi pemegang saham pengendali dan mayoritas, serta menyelamatkan Bukopin.
Bukopin merupakan satu dari tujuh bank yang masuk dalam laporan BPK terkait lemahnya pengawasan OJK terhadap perbankan. Laporan tersebut merupakan hasil audit terhadap pelaksanaan pengawasan bank umum yang diselenggarakan OJK pada 2017-2019 dan termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2019.
Selain Bukopin, BPK melihat pengawasan Bukopin yang lemah terhadap PT Bank Tabungan Negara Tbk, PT Bank Yudha Bakti, PT Bank Mayapada Internasional Tbk, PT BPD Papua, PT Bank Muamalat Indonesia Tbk, dan PT BPD Banten Tbk.
Pengawasan yang lemah terutama terkait kinerja keuangan bank-bank yang dianggap tak sesuai dengan kondisi sebenarnya pada 2017-2019. Menanggapi hasil audit BPK, OJK berjanji untuk meningkatkan kualitas pengawasan, sembari menekankan bahwa pemeriksaan tersebut sudah tak mencerminkan kondisi saat ini.
Berdasarkan catatan Katadata.co.id, OJK juga pernah memberi kelonggaran terkait perhitungan modal bagi Bank Muamalat saat Mina Padi berencana masuk sebagai investor pada 2018. Dana Rp 1,7 triliun yang disetorkan Mina Padi sebagai 'tanda jadi' di rekening escrow diperhitungkan sebagai modal inti.
Meski gagal meminang, Mina Padi tak lantas dapat menarik dananya kala itu. Uang yang kemudian masuk dalam bentuk deposito di Bank Muamalat ini tetap diperhitungkan sebagai modal inti selama beberapa waktu.
(Baca: Performa 7 Bank dalam Pengawasan OJK yang Disorot dalam Audit BPK)
Setelah proses panjang, OJK akhirnya memberikan restu pada konsorsium Al Falah, bentukan Ilham Habibie untuk menyelamatkan bank syariah pertama di Indonesia ini. Proses penguatan Bank Muamalat pun masih berlanjut.
Masalah-masalah di industri perbankan dikabarkan mulai membuat Presiden Joko Widodo makin gerah dengan kinerja OJK hingga dikabarkan ingin mengembalikan fungsi pengawasan perbankan ke BI.
OJK didirikan berdasarkan undang-undang tahun 2011. Sejak berdiri, pengawasan seluruh lembaga keuangan yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Keuangan dan BI dialihkan ke OJK secara bertahap. Pengawasan perbankan menjadi yang paling akhir digeser dari BI ke OJK pada akhir 2013.
Pengamat Perbankan Paul Sutaryo menilai kinerja OJK yang tak memuaskan dalam pengawasan bank sebaiknya tak lantas dieksekusi dengan mengembalikan kewenangannya ke Bank Indonesia. “Jangan lupa, sebagian besar pengawasan bank ini sebenarnya berasal dari BI juga,” katanya.
Pengawasan perbankan di bawah Bank Indonesia juga bukan berarti akan tanpa masalah. Pembentukan OJK justru antara lain dipicu oleh ketidapuasan terhadap kinerja BI dalam pengawasan bank, terutama terkait kasus Bank Century.
(Baca: Nasabah Korban Gagal Bayar kembali Tolak Proposal Damai KSP Indosurya)
Ketimbang mengembalikan lagi fungsi pengawasan ke BI, menurut Paul, lebih baik jajaran manajemen yang dianggap kurang memiliki kinerja baik diganti. Pengawasan juga perlu ditingkatkan dari sisi jumlah dan kualitas sumber daya manusia.
“Rentang pengawasan OJK memang terlalu luas, termasuk pasar modal. Barang kali justru pasar modal yang perlu dikembalikan ke tempat semula atau berada di bawah Kementerian Keuangan,” katanya.
Belajar dari Negara Lain
Indonesia bukan satu-satunya negara yang memiliki lembaga pengawas seluruh industri jasa keuangan independen. Inggris menjadi negara pionir yang membentuk Financial Supervisory Agency pada 1998, dipicu oleh kasus kejatuhan beberapa bank. FSA kemudian mengambil alih tugas pengawasan perbankan dari Bank of England.
Namun kinerja FSA tak sesuai harapan. FSA Inggris tak dapat mendeteksi kondisi keuangan The Northern Rock, bank penyedia kredit perumahan skala kecil yang menempatkan dananya dalam porsi cukup besar di sub prime mortgage yang menjadi masalah di Amerika Serikat. Pemerintah Inggris pun terpaksa mengambil alih bank itu untuk menyelamatkannya.
Inggris memutuskan untuk mengembalikan sistem pengawasan bank ke Bank of England.
Meski gagal di Inggris, pengawasan perbankan oleh The Financial Supervision Agency berjalan mulus di Jepang. Sejak FSA dibentuk pada tahun 2000, Bank of Japan hanya menangani kebijakan, perumusan sistem moneter, dan implementasinya. Pada 2000 FSA resmi dibentuk bersamaan dengan reorganisasi pemerintahan Jepang.
Kesuksesan FSA di Jepang tak lepas dari koordinasi yang apik dengan BoJ. Kedua lembaga ini berbagi informasi terkait kondisi lembaga keuangan, kebijakan moneter, stabilitas sistem pembayaran, dan kebijakan moneter. Selain itu, FSA dan BoJ juga memiliki koordinasi yang erat dengan Kementerian Keuangan.
Di Indonesia, koordinasi antara BI, OJK, Kementerian Keuangan berada di bawah forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Selain ketiga lembaga tersebut, ada satu anggota lagi yakni Lembaga Penjamin Simpanan.
Koordinasi yang buruk antara-regulator keuangan pernah mendatangkan pelajaran bernama Bank Century. Namun saat ini koordinasi terus dipererat. Perintah untuk saling berbagi informasi, terutama terkait kondisi perbankan dan stabilitas sistem keuangan pun telah dituangkan dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
“Koordinasi kami erat, sangat terjaga, dan terus diperkuat. Kami dalam perahu yang sama, tidak ada namanya satu dengan yang lain dalam posisi yang berbeda,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai Ketua KSSK.