Akan tetapi, yang berbeda dalam pelaksanaan perubahan tersebut adalah Inggris melakukannya di saat normal. Sehingga, prosesnya tak terdisrupsi oleh kondisi ekonomi yang memburuk.

“Kalau digabungkan atau dipisah pengawasannya selalu ada plus minus, tapi sekarang waktunya tidak tepat,” kata Faisal.

Pembentukan Dewan Moneter yang memberi jalan intervensi pemerintah terhadap kebijakan BI pun berpotensi sama. Ia mencontohkan saat krisis minyak dunia pada tahun 70-an yang menyebabkan stagflasi di banyak negara dunia. Saat itu hanya Jerman yang mampu lolos lantaran bank sentralnya independen.

“Berpotensi juga memunculkan moral hazard,” kata Faisal.

Respons negatif terhadap rencana reformasi sistem keuangan sudah terlihat dari pelemahan nilai tukar rupiah. Rabu (2/9) sore, rupiah berada di level Rp 14.745 atau melemah 1,18%. Menjadi yang terdalam di Asia. Data Bloomberg menyatakan yen Jepang melemah 0,23%, dolar Singapura 0,03%, dolar Taiwan 0,12%, bahkan ringgit Malaysia 0,03%.

Lagi pula, kata Faisal, “krisis sekarang di sektor riil. Jadi tidak tepat kalau obatnya mereformasi sistem keuangan.”

Yang Perlu Dilakukan 

Kalaupun pemerintah dan DPR memang ingin mereformasi sistem keuangan, adalah dengan menambah kewenangan BI bisa turut mendorong perekonomian. Bukan hanya menekan laju inflasi seperti saat ini. Mengingat, inflasi sekarang sudah rendah dan mengarah kepada deflasi.

“Inflasi yang rendah menunjukkan permintaan masyarakat menurun. Ini masalah utamanya sekarang,” kata Faisal.

Tambahan kewenangan BI, misalnya membuat aneka macam kredit laiknya era Orba. Saat itu BI bisa memiliki program kredit investasi kecil, kredit mahasiswa Indonesia, dan kredit profesi guru, kredit koperasi, dan lainnya.

Berbagai tunjangan kredit tersebut membuat bank sentral menjadi penyedia dana terbesar dalam pembangunan ekonomi di luar APBN. Fungsi tersebut yang dihapuskan dalam UU BI setelah reformasi 1998. Akhirnya BI tak bisa secara langsung mendorong pertumbuhan ekonomi.  

Dalam situasi krisis akibat pandemi virus corona, hilangnya fungsi BI tersebut cukup terasa. Pemerintah mesti mengandalkan utang dalam mendanai stimulus. Total utang pemerintah per Juli 2020 sebesar Rp 5.434,86 triliun atau sebesar 33,63% terhadap produk domestik bruto (PDB). Hal ini bisa berdampak buruk pada stabilitas perekonomian.

Dorongan BI melalui skema burden sharing dengan pemerintah. BI menanggung Rp 397,56 triliun untuk belanja publik dari total dana penanganan dan pemulihan ekonomi akibat virus corona yang sebesar Rp 903,56 triliun. Caranya dengan bank sentral membeli SBN dari pasar perdana.

“Tapi itu juga belum maksimal,” kata Faisal.

Gubernur BI Perry Warjiyo pada 19 Agustus lalu menyatakan, BI telah membeli SBN senilai Rp 125,06 triliun. Rinciannya, Rp 42,96 triliun sesuai surat keputusan bersama (SKB) per 16 April dan Rp 82,1 triliun sesuai SKB 7 Juli 2020. SKB 7 Juli BI mulai membeli di pasar perdana, sementara sebelumnya melalui pasar sekunder.

Sedangkan ekonom senior CORE Indonesia Piter Abdullah menilai pemerintah sebaiknya fokus menangani pandemi seperti menemukan vaksin. Mengingat, sumber masalah saat ini adalah Covid-19. Bukan justru merencanakan reformasi sistem keuangan.

“Ini masalahnya apa, solusinya apa, itu enggak jelas,” katanya melansir Antara, Senin (31/8).

Piter pun menilai pemerintah cenderung mencari-cari kesalahan lembaga keuangan. Padahal menurutnya BI, OJK, dan LPS sudah berkontribusi baik selama pandemi. Lagi pula, resesi tak bisa dibebankan kepada salah satu lembaga saja lantaran “bukan salah siapa-siapa”.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun menyatakan opsi Perppu sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah dan DPR tak bisa ikut campur. Sementara, revisi UU BI masih berada di tingkat diskusi awal.

“Revisi UU BI baru tahap penyandingan tenaga ahli di Baleg (badan legislasi),” kata Misbakhun kepada Katadata.co.id, Rabu (2/9) malam.

Hal senada disampaikan Anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno pada Selasa (1/9), bahwa DPR masih menunggu keputusan langkah pemerintah dalam mereformasi sistem keuangan. Apakah akan memilih langkah revisi UU BI dan OJK, Omnibus Law, atau Perppu.

Terkait revisi UU BI, Hendrawan menyatakan “masih akan terus dimatangkan dengan menyerap aspirasi para pihak.”

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement