Sekretaris Perhimpunan Bank Swasta Nasional (Perbanas) Anika Faisal mengatakan, secara umum dalam praktik perbankan, SOP merupakan dokumen internal yang dibuat berdasarkan kewenangan direksi atau manajemen guna menjalankan roda perusahaan.

Oleh karena itu, masing-masing bank mempunya SOP yang disepakati dan dipatuhi manajemen serta karyawan sebagai acuan proses kerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawab unit atau pegawai.

Dalam SOP ini pula, biasanya terkandung mitigasi risiko yang dirancang sedemikian rupa sehingga pengambilan keputusan dalam koridor risiko yang sudah diperhitungkan sesuai dengan rencana bisnis. Apalagi bank mempunyai tugas utama sebagai intermediasi dalam kegiatan ekonomi. Dalam kesehariannya harus mampu mengelola risiko yang timbul sebagai bagian dari tugas intermediasi tersebut.

Jadi, sangat wajar penerapan SOP tidak bisa dilakukan secara kaku. Ada kondisi tertentu yang mengharuskan manajemen mengeluarkan diskresi sepanjang melalui proses yang berlaku. Ini bagian dari tata kelola yang baik atau good corporate governance.

“Tata kelola yang baik merupakan hal yang sangat penting dan merupakan bagian mendasar dari penilaian Otoritas Jasa Keuangan atas kinerja bank,” kata Anika.

Permata Bank
Ilustrasi Bank Permata  (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Dengan demikian, wajar bagi manajemen untuk melakukan deviasi terhadap SOP sesuai kewenangan direksi dengan mendasarkan pada anggaran dasar dan peraturan perusahaan, termasuk Peraturan OJK. Tanpa kewenangan tersebut, atau terlalu kaku dalam menerapkan SOP, bisa menghambat proses bisnis. Manajemen dapat kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan terbaik berdasarkan “due care” yang menjadi fiduciary duty direksi dan komisaris.

Walau telah dibangun proses perbankan yang ketat, tetap saja ada kreditur nakal yang mencoba memanfaatkan celah SOP perbankan seperti Megah Jaya. Bahkan, si debitur berusaha mendapatkan kredit untuk proyek yang sama di tiga bank sekaligus atau triple financing.

“Nasabahnya memang jahat, etikanya jelek, harusnya dihukum paling berat, bukan pegawai bank. Itu jelas-jelas penipuan. Kalau hakim tidak lihat itu, menurut saya ada yang aneh,” kata Sigit.

Walau demikian, Sigit melanjutkan, pihak bank juga harus betul-betul menilai kemampuan debitur untuk membayar kredit. Jika tidak, uang yang diberikan akan sulit untuk ditagih. Hal itu bakal membuat bank dalam posisi yang lemah. Ketika bank mengecek dengan baik, debitur yang nakal seharusnya bisa diidentifikasi.

Menilai dari hal tersebut, Sigit melihat ada kelemahan internal Bank Permata dalam kasus kredit fiktif Megah Jaya. Hal itu menyebabkan delapan pegawai Bank Permata dijatuhi hukuman penjara.

Meski begitu, pegawai bank seharusnya tidak ditahan dan dijatuhi hukuman pidana. Menurut Sigit, aparat hukum semestinya berfokus pada perkara kreditur nakal yang menggunakan dana nasabah untuk kepentingan ekonomi mereka.

“Apalagi sudah terbukti bahwa pegawai bank tidak menikmati sogokan atau suap. Justru yang mendapatkan manfaat ekonomi, debiturnya, itu yang harus dikejar. Ada ketidakadilan di situ,” kata Sigit.

Agar pegawai bank bisa mendapat keadilan, Sigit menyarankan pihak pembela harus membuktikan sejak awal bahwa ada niat jelek dari debitur. Hal itu bisa dilihat dari pengajuan pembiayaan untuk proyek yang sama di tiga bank atau triple financing.

Selain itu, pegawai bank juga bisa membuktikan bahwa mereka tidak bersalah mendapatkan manfaat dari perbuatan debitur nakal. Hal itu bisa dibuktikan dari rekening pegawai bank yang tidak menerima uang sogokan atau suap dari kasus kredit fiktif.

Halaman:
Reporter: Febrina Ratna Iskana, Happy Fajrian
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement