- Pemulihan ekonomi RI masih terancam kondisi global di tengah pandemi Covid-19.
- Tantangan pemerintah adalah mengembalikan rasio defisit fiskal ke 3% pada 2023.
- Peningkatan konsumsi masyarakat menjadi pekerjaan besar pemerintah.
Sudah dua lembaga keuangan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2021. Pada awal bulan ini, Dana Moneter Internasional atau IMF merevisi prediksinya dari 4,8% menjadi 4,3%.
Yang terbaru, Bank Pembangunan Asia atau ADB dengan perkiraan dari 5,3% menjadi 4,5%. Pertumbuhan negara ini akan mencapai 5% atau kembali seperti sebelum pandemi Covid-19 pada 2022.
Direktur ADB untuk Indonesia Winfried Wicklein mengatakan kenaikan pertumbuhan tahun depan didorong pulihnya perdagangan, kebangkitan sektor manufaktur, dan anggaran pemulihan ekonomi yang besar pada 2021.
Pengeluaran rumah tangga RI akan meningkat pada 2021 seiring melajunya program vaksinasi. Makin banyak pula sektor ekonomi yang kembali beroperasi.
Untuk investasi juga akan naik seiring membaiknya ekonomi. Sedangkan sektor pembiayaan atau kredit makin akan tertinggal karena masih ada ketidakpastian membayangi para investor.
ADB memperkirakaan inflasi tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan 2020 dari 1,6% menjadi 2,4%. “Sebelum akhirnya turun lagi ke level 2,8% pada 2022,” kata Wicklein di Jakarta, Rabu (28/4).
Barang komoditas akan menjadi sektor pendorong ekspor. Defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 0,8% dari produk domestik bruto (PDB) di 2021.
Seiring kenaikan investasi dan volume barang modal impor serta mesin dan peralatan, defisit transaksi berjalan akan naik menjadi 1,3% pada 2022.
Namun, semua perkiraan tersebut bukan tanpa risiko. Ancaman ke depan adalah pemulihan global yang terhambat karena mutasi Covid-19, laju vaksinasi tak merata di dunia, dan pengetatan keuangan di beberapa negara.
Wicklein menyebut hambatan dari dalam negeri bisa muncul apabila terjadi lonjakan kasus virus corona selama Ramadan, keterlambatan vaksinasi, dan melemahnya pendapatan pemerintah.
ADB merekomendasikan Indonesia memobilisasi sumber daya domestik dan memastikan pembangunan ekonomi ramah lingkungan. Kekhawatiran mengenai utang yang berlebihan dapat diatasi dengan reformasi fiskal, seperti peningkatakan administrasi dan kepatuhan pajak.
Waspadai Risiko Global
Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada posisi BBB outlook negatif. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari mengatakan penilaian ini menekankan prospek pertumbuhan ekonomi solid dan rekam jejak peneglolaan fiskal yang baik.
Langkah komprehensif pemerintah dalam penanganan Covid-19 dianggap mampu meredam dampak sosio-ekonomi yang lebih dalam. S&P memproyeksikan ekonomi Indonesia akan pulih dan tumbuh 4,5% pada tahun 2021 dan 5,4% pada 2022.
S&P menggarisbawahi laju pemulihan ekonomi Indonesia akan bergantung pada kecepatan dan efektivitas program vaksinasi. Kebijakan pengendalian pandemi secara global juga mempengaruhi pemulihan ekonomi Indonesia, terutama terkait pemulihan sektor berorientasi ekspor dan pariwisata.
Lembaga pemeringkat tersebut memberikan catatan tantangan yang dihadapi Indonesia selanjutnya yakni mengembalikan rasio defisit fiskal ke 3% pada tahun 2023.
Prediksinya, konsolidasi fiskal akan berjalan secara gradual, defisit fiskal akan menyempit pada 2021 menjadi 5,7% dan 4,2% pada 2022. "S&P berharap pemerintah menjaga komitmen untuk mengembalikan disiplin fiskal, meskipun ketidakpastian akibat pandemi masih sangat tinggi," kata Rahayu.
Dalam materi APBN KiTa April 2021, Kemenkeu menyebut optimisme ekonomi global menguat. Beberapa indikatornya adalah pasar keuangan global yang stabil, perdagangan global tertinggi sejak September 2019, dan harga komoditas terus naik.
Selain itu, purchasing managers index mencapai 55,0. Angkanya tertinggi sejak Februari 2011. Lalu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok melesat 18,3% secara tahunan pada kuartal pertama 2021.
Di sisi lain, ada risiko global yang masih harus diwaspadai. Yang utama adalah kasus harian global kembali naik dan varian baru Covid-19. Hal ini terjadi di India yang sedang mengalami badai virus corona dan kembali melakukan lockdown.
S&P menyebut kondisi di India dapat mempengaruhi negara lainnya. “Wilayah Asia-Pasifik rentan terhadap penularan dari varian Covid-19 yang sangat menular dari India, mengingat rasio vaksinasi yang rendah di wilayah tersebut,” tulis lembaga pemeringkat asal Amerika Serikat itu.
Masalah lainnya adalah akses vaksin dan pemulihan ekonomi belum merata, proteksionisme di beberapa negara, beberapa sektor belum pulih, dan kemungkinan normalisasi kebijakan moneter AS lebih cepat.
Dorong Konsumsi Domestik
Bank Indonesia juga telah merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi Tanah Air. Dari 4,3% sampai 5,3% menjadi 4,1% hingga 5,1%. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan perubahan ini berdasarkan konsumsi swasta yang masih terbatas hingga Maret 2021.
Pembatasan mobilitas masyarakat pun masih terjadi guna mencegah penyebaran Covid-19. Di saat yang sama pemerintah sedang mengakselerasi program vaksinasi.
Perry mengatakan sebenarnya konsumsi mengalami peningkatan dengan terlihat dari ekspketasi konsumen dan penjualan ritel. Namun, kenaikannya masih lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
“Kami melihat pada trwiulan pertama dan kedua, masih ada pembatasan. Ini menyebabkan tingkat konsumsi swasta tidak setinggi yang diperkirakan,” katanya.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyarankan pemerintah untuk memperbanyak kebijakan di sisi permintaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Misalnya, insentif pajak mobil dan properti yang pemerintah sudah berikan sejak kuartal I-2021. “Mungkin kebijakannya harus mengarah ke sana,” katanya pada Senin lalu,
Simpanan masyarakat kelas menengah ke bawah dengan nilai di bawah Rp 100 juta justru meningkat di bank. Hal ini menjadi bukti banyak orang masih berjaga-jaga dan bingung untuk membelanjakan uangnya.
Terlebih tahun ini pemerintah mengeluarkan larangan mudik Lebaran. Padahal, Ramadan dan Idul Fitri merupakan momen konsumsi besar-besaran masyarakat. Sudah dua kali berturut-turut, sejak muncul pandemi Covid-19, aktivitas ini tertahan.
Pemerintah perlu memaksimalkan potensi belanja masyarakat dengan memberi insentif di tempat wisata. “Sekarang antusiasme masyarakat bukan sandang, pangan, papan, tapi sandang, pangan, wisata. Banyak lokasinya yang tutup membuat spending terhambat,” ucapnya.
Pembukaan sektor pariwisata dapat membangkit sepuluh sektor di bawahnya. “Saya rasa itu yang paling dapat mempercepat recovery ekonomi di daerah. Ada beberapa yang telah menerapkan protokol kesehatan yang bagus, ekonominya tumbuh signifikan,” kata Avi.
Laporan PricewaterhouseCoopers (PwC) menyebutkan, terdapat sembilan sektor yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19. Industri perhotelan dan hiburan menjadi sektor yang paling terdampak, yakni mencapai 86%, seperti terlihat pada Databoks di bawah ini.
Mayoritas masyarakat memilih kegiatan wisata, hiburan, atau hobi sebagai prioritas ketiga untuk dipenuhi saat pandemi . Hal itu tercermin dari 84% responden pada survei Katadata Insight Center (KIC) dan Cash Pop.
Survei itu juga mencatat, 53,3% responden menyebut kondisi keuangan mereka memburuk sejak pandemi muncul. Pendapatan usaha yang menurun menjadi pemicu utamanya.
Belum optimalnya konsumsi masyarakat membuat Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksi tahun ini pertumbuhan ekonomi hanya 3% sampai 4%. “Ini masih di bawah target pemerintah," kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal.
Sebenarnya pergerakan masyarakat telah meningkat saat ini. Aktivitas perdagangan, ritel, restoran, kafe, dan lainnya telah naik cukup signifikan. Namun, untuk aktivitas dengan kendaraan jarak jauh, seperti kereta api dan pesawat, masih sepertiga dari kondisi awal 2020.
"Dorongan keluar rumah masih jarak dekat. Dan ternyata, mobilitas ini belum banyak mendorong konsumsi rumah tangga," ujar Faisal.
Indikatornya terlihat pada indeks penjualan riil triwulan pertama 2021 yang terkontraksi sekitar 17% secara year-on-year (yoy). Pergerakan inflasi, khususnya inflasi inti belum terdongkrak.
Bahkan pada Maret lalu, untuk pertama kalinya sejak awal 2020 terjadi deflasi 0,03%. “Jadi, belum terlihat indikasi peningkatan konsumsi yang cukup kuat,” katanya.
Hal serupa juga terlihat pada angka penjualan perumahan atau properti. Pertumbuhan, terutama untuk produk kredit pemilikan rumah (KPR), masih rendah dibandingkan sebelum pandemi.
Kemudian, peningkatan penjualan kendaraan bermotor karena relaksasi pajak penjualan atas barang mewah atau PPnBM juga tidak berkelanjutan. Pemerintah memperkirakan pertumbuhannya pada April dan Mei ini mencapai 11%.
Faisal menyebut angka itu akan turun di bulan selanjutnya, sejalan dengan penurunan diskonnya. “Kami perkirakan akan kembali ke kondisi semula sebelum diberikan stimulus," jelasnya.