“Tetapi perusahaan tetap harus menyesuaikan dengan ketentuan UU yang berlaku sebelum UU Cipta Kerja,” ujar Feri kepada Katadata, (6/2).

Sementara itu, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Grita Anindarini mengatakan putusan MK soal UU Cipta Kerja meninggalkan ranah abu-abu di banyak regulasi. Ia menilai sulit mengatakan apakah perusahaan harus kembali mengacu pada izin lokasi atau tetap bisa menggunakan PKKPR yang menjadi produk turunan UU Cipta Kerja.

Menurutnya, MK juga kurang memberikan penjelasan soal kegiatan berdampak strategis yang perlu ditangguhkan pasca putusan inkonstitusional UU Cipta Kerja.

“Jadi ruang interpretasi masih terbuka lebar, termasuk penerbitan produk-produk izin itu,” katanya saat dihubungi Katadata, (7/2).

Perusahaan Australia Siap Menyalip

Terlepas dari polemik izin lokasi dan PKKPR, perusahaan mengakui perkembangan konstruksi memang berjalan lambat. Sejumlah faktor ditengarai jadi penyebabnya. Mulai dari tantangan geografis, pandemi Covid-19, hingga soal perizinan.

“Kami baru dapat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan izin konstruksi pada November 2021,” kata Khaerony.

Pelaksanaan proyek juga sempat terhenti beberapa bulan akibat pandemi Covid-19. Tahun lalu, PT KHE sejatinya akan melakukan peledakan bebatuan di sekitar lokasi bendungan. Namun, pekerjaan itu tak kunjung terlaksana. Rony mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum mengantongi izin pembelian dan penggunaan bahan peledak dari kepolisian.

“Bulan ini kami akan mulai pembukaan jalan menuju gudang peledak sepanjang 4,2 kilometer dan pembuatan jalan ke bendungan sepanjang 7 kilometer,” tambah Khaerony.

Sementara PT KHE terhambat oleh sejumlah faktor, satu perusahaan asing muncul memberikan persaingan. Taipan asal Australia Andrew Forrest, pendiri Fortescue Future Industries Pty Ltd, menemui Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan 4 September 2020. Keduanya lantas menekan nota kesepahaman untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.

FFI lantas bergerak cepat ke berbagai daerah, termasuk ke Kaltara. Pada 20 Januari 2021, perwakilan FFI menemui Bupati Bulungan untuk melakukan survei soal potensi energi air di Sungai Kayan.

Kepala Bappeda Bulungan Iwan Sugianta mengatakan dalam pertemuan tersebut FFI menyatakan ketertarikannya untuk membangun PLTA di batang sungai yang sama dengan rencana proyek milik PT KHE.

“Belum ada perizinan apapun yang kami keluarkan, tetapi memang jelas mereka tertarik,” kata Iwan kepada Katadata.

Progress bendungan PLTA Kayan

Ini jelas menjadi alarm merah bagi PT KHE yang disokong Cina. Apalagi saat berkunjung ke Kaltara pada Desember silam, Luhut menegaskan siap mencabut izin perusahaan yang tidak serius mengerjakan proyek konstruksi. “Kita cari yang paling cepat, langsung ada duitnya. Jadi jangan omong-omong saja,” kata Luhut.

Menanggapi hal tersebut, PT KHE menegaskan masih serius mengerjakan proyek ini. Menurut Khaerony, hingga 2019 pihaknya sudah menggelontorkan Rp 2 triliun untuk pengembangan proyek dan mengurus perizinan.

“Kami inginnya juga segera jalan karena pengeluaran kami juga besar. Untuk IPPKH saja kalau tidak salah kami bayar sekitar Rp 4 miliar setiap tahun,” kata Rony.

Sementara itu, Rony juga tidak khawatir FFI akan menggusur proyek mereka. Menurutnya, pihaknya sudah punya izin lengkap sehingga tidak mungkin overlapping.

“Kami sampaikan ke orang Australia kalau butuh listriknya kami siap saja untuk mengaliri industrinya,” katanya.

Catatan Redaksi: Liputan ini mendapatkan dukungan dari Southeast Asia Rainforest Journalism Fund yang diinisiasi oleh Pulitzer Center on Crisis Reporting.







Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement