- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut penetapan harga perkiraan sendiri (HPS) proyek Blast Furnace tidak melalui proses analisa.
- Proyek Blast Furnace hanya sempat beroperasi enam bulan sebelum akhirnya ditutup karena harga jual hasil produksinya jauh lebih tinggi dari harga pasar.
- PT Krakatau Steel Tbk masih berjuang mengejar restrukturisasi atas utang menggunung akibat proyek Blast Furnace di tengah kinerja positif pada kuartal III 2021.
Rapat antara PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) dengan Komisi VII DPR pada Senin (14/2) berakhir antiklimaks. Direktur Utama KRAS Silmy Karim diusir dari ruang sidang setelah berdebat dengan Wakil Ketua Komisi VII Bambang Haryadi.
Bambang awalnya mempertanyakan soal keputusan perusahaan menutup fasilitas Blast Furnace Complex (BFC) dan pabrik pengolahan besi PT Meratus Jaya Iron & Steel (MJIS) di Kalimantan Selatan. Politisi Partai Gerindra ini lantas menyinggung kasus penyelewengan pos tarif baja oleh salah satu anggota Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Kimin Tanoto.
Silmy yang juga menjabat sebagai Ketua Umum IISIA bereaksi keras. "Saya di sini sebagai Direktur Utama Krakatau Steel, bukan Ketua IISIA" kata Silmy.
Bambang menanggapi sanggahan Silmy dengan nada tinggi. Menurutnya, Silmy tidak menghormati persidangan karena terus memotong pembicaraan. “Kok Anda kayaknya enggak pernah menghargai Komisi. Kalau sekiranya Anda nggak bisa ngomong di sini, Anda keluar," tutur Bambang.
Mendengar teguran Bambang, Silmy langsung keluar ruangan. Rapat dengar pendapat itu berakhir tanpa ada kejelasan mengenai persoalan yang dibahas.
Kontroversi Blast Furnace
Fasilitas blast furnace complex (BFC) atau tanur tiup yang menjadi pembicaraan di Gedung Parlemen itu memang sudah sejak lama menghantui kinerja Krakatau Steel. Ini merupakan komplek peleburan bijih besi yang terdiri dari 6 area; Raw Material Storage System berkapasitas 400.000 ton, Sinter Plant untuk memproduksi sinter ore berkapasitas 1,78 juta ton per tahun, Coke Oven Plant untuk memproses karbonisasi batubara, Blast Furnace Plant sebagai tempat memproduksi hot metal, Hot Metal Treatment Plant, dan General Facilities.
Proyek ini diinisiasi sejak 2008 oleh manajemen lama. Pada Desember 2009, PT Krakatau Engineering merilis studi kelayakan awal dan menetapkan harga perkiraan sendiri (HPS) senilai US$ 255, 6 juta. Namun, ketika tender digelar pada November 2010, tiga peserta tender menawarkan harga jauh di atas HPS. Tawaran paling murah kala itu datang dari MCC Ceri senilai US$ 544,5 juta.
Manajemen lantas membatalkan tender karena faktor harga. Berdasarkan tender itu, Krakatau Steel merevisi HPS menjadi US$ 529 juta. Tender pun diulang hingga tiga kali dan memilih MCC Ceri sebagai pemenangnya dengan nilai proyeknya mencapai US$ 548,4 juta.
Pada 2017, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merilis hasil audit terhadap Krakatau Steel, di mana salah satu persoalan yang disorot terkait Blast Furnace. Dalam audit tersebut, BPK menyebut perencanaan proyek BFC tidak memadai. Perubahan HPS dari US$ 255 juta menjadi US$ 529 juta tidak dihitung secara keahlian.
“HPS revisi tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran bidder,” tulis BPK dalam dokumen audit yang diperoleh Katadata.
BPK juga menyebut proyek BFC tidak layak investasi sejak awal. Pasalnya, berdasarkan sensitivity analysis terhadap studi kelayakan, nilai Net Present Value (NPV) proyek hasilnya negatif. NPV merupakan merupakan metode menghitung kelayakan investasi dengan membandingkan selisih antara nilai arus kas yang masuk dengan yang keluar dalam periode waktu tertentu. Jika NPV lebih dari 0 atau positif, artinya penerimaan lebih besar dari nilai investasinya dan begitu pula sebaliknya.
Proyek BFC juga mengalami keterlambatan saat pengerjaannya. Dalam kontrak awal, first blow-in (produksi pertama) dijadwalkan pada Desember 2016. Namun dalam dokumen pelaksanaan, jadwal ini berubah menjadi Juli 2017.
Persoalan keuangan ikut memperburuk pelaksanaan proyek BFC. Sebagian konstruksi BFC seharusnya dikerjakan oleh PT Krakatau Engineering. Namun, keuangan KE kala itu sedang terpuruk. Pada 2016, KE membukukan kerugian hingga Rp 571 miliar, di mana Rp 478 miliar di antarnya berasal dari proyek BFC.
Krakatau Steel sebagai induk usaha akhirnya memberikan bridging loan pada Desember 2016 senilai Rp 683 miliar. Pinjaman ini awalnya tidak boleh digunakan untuk kebutuhan letter of credit (LC) atau Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN). Namun, pinjaman ini justru dipakai untuk keperluan tersebut sehingga berdampak ada penyelesaian konstruksi.
“PT KE tidak mempunyai pengalaman dalam pembuatan BFC,” tulis BPK
Sementara itu, kondisi keuangan KRAS juga membuat perusahaan harus mengandalkan pinjaman bunga tinggi untuk membiayai proyek konstruksi. Proyek BFC awalnya akan dibiayai menggunakan Export Credit Agency (ECA) Facility dengan tingkat bunga 6 bulan LIBOR+Margin 3.8%. Namun karena sedang kesulitan keuangan, KS tidak bisa mencairkan pendanaan tersebut. Manajemen KRAS akhirnya berpaling ke local commercial loan dengan bunga 5,75%.
Molornya pengerjaan proyek akhirnya menimbulkan pembengkakan biaya hingga US$ 8,4 juta. Selain itu, BPK juga menyebut potensi penghematan yang dikejar lewat pembangunan BFC juga tidak terpenuhi. Nilai yang hilang ini mencapai US$ 95 juta.
Dengan segudang permasalahan tersebut, pelaksanaan pembangunan BFC akhirnya kembali molor. Produksi pertama yang sedianya dijadwalkan pada Juli 2017 molor hingga dua tahun. BFC baru bisa beroperasi pada 11 Juli 2019 dengan menghabiskan dana US$ 850 juta atau sekitar Rp 12 triliun. Namun, baru enam bulan beroperasi, fasilitas ini kembali ditutup pada 14 Desember 2019. Setelah itu, proyek triliunan rupiah itu mangkrak begitu saja.
"Memberikan sanksi sesuai ketentuan perusahaan kepada Tim Penyusun HPS proyek BFC atas penyusunan HPS yang tidak melalui proses analisa," tulis BPK dalam rekomendasinya.
Dirut Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan harga baja slab yang diproduksi di BFC jauh lebih mahal dari harga pasar. Slab KS dibanderol US$ 742 per ton, sedangkan di pasar harganya cuma US$ 476 per ton. Mengoperasikan BFC dinilai akan menjadi bumerang bagi perusahaan karena membutuhkan modal kerja hingga US$ 2,5 miliar.
“Kami menghitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok hitungannya, atau dengan kata lain rugi," kata Silmy sebelum ia diusir oleh DPR.
Kinerja Positif
Silmy Karim punya latar belakang unik sebelum memimpin Krakatau Steel. Ia seorang profesional tetapi pernah mengenyam pendidikan militer dan pertahanan. Latar keilmuannya memang di bidang ekonomi. Namun, ia juga menyelesaikan pendidikan di NATO School di Jerman dan Naval Postgraduate di Harvard University.
Sepulangnya ke Tanah Air, Silmy menghabiskan waktu di Kementerian Pertahanan dan Badan Intelijen Negara. Di sela-sela itu, ia juga menjadi Komisaris di PT PAL. Pada 2014, Direktur Utama PT Pindad Sudirman Said dipanggil ke Istana Negara untuk menjadi Menteri ESDM. Silmy akhirnya terpilih menggantikan Sudirman dan memimpin Pindad. Tidak sampai dua tahun di Pindad, Silmy kembali dipindah ke BUMN lain yakni PT Barata Indonesia. Baru pada 6 September 2018, Menteri BUMN menunjuk Silmy menjadi Dirut PT Krakatau Steel Tbk.
Silmy boleh dibilang mewarisi segudang persoalan saat menjadi bos KRAS. Ia bercerita kala itu konstruksi BFC sudah mencapai 98% saat ia naik tampuk. Ia pun menggeber proyek itu hingga akhirnya selesai pada Juli 2019. Namun, Silmy akhirnya menyadari hasil proyek itu jauh panggang dari api. Produksi baja slab KRAS tidak bisa bersaing di pasar.
Seperti pepatah ‘sudah jatuh tertimpa tangga’, proyek BFC yang gagal memenuhi ekspektasi justru meninggalkan utang segunung. Akhir tahun lalu Menteri BUMN Erick Thohir menyebut KRAS berpotensi bangkrut jika gagal membayar utang-utangnya. Namun, pada 27 Desember 2021, KRAS akhirnya berhasil membayar sebagian utangnya sebesar Rp 2,7 triliun.
"Sumber pembayaran utang ini diperoleh dari internal cash flow (kas internal) perusahaan atas hasil kinerja Krakatau Steel yang semakin membaik pasca-restrukturisasi," kata Direktur Keuangan KRAS Tardi dalam keterangan resmi, Senin (27/12).
Kinerja KRAS memang terlihat menjanjikan pada kuartal III 2021. Perusahaan membukukan kenaikan pendapatan hingga 66,8% dari Rp 17,98 triliun menjadi Rp 30 triliun. Setelah delapan tahun merugi, KRAS akhirnya berhasil membukukan laba Rp 1 triliun pada November 2021.
Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan menilai beban utang KRASS saat ini sudah teratasi dengan keberhasilan restrukturisasi. Apalagi menurutnya perusahaan terus membukukan kenaikan laba dan Ebitda yang terus membaik. Alfred meyakini penurunan beban utang ke depan bisa semakin cepat.
"Kalau sekarang saya mengatakan KRAS sudah selamat, sehingga yang perlu bukan usaha penyelamatan lagi tetapi usaha memajukan KRAS menjadi aset strategis nasional," katanya kepada Katadata, Kamis (17/2).
Alfred memperkirakan laba bersih KRAS di 2021 mencapai Rp 1,1 triliun atau naik 246% dibandingkan tahun sebelumnya. Ia juga memproyeksikan KRAS masih akan membukukan kinerja positif di 2022 dengan pertumbuhan pendapatan dan laba di kisaran 20%-25%.
Di sisi lain, Erick Thohir juga sudah melaporkan sengkarut proyek BFC ke Kejaksaan Agung. Erick mencurigai ada permainan di lingkup internal hingga membuat biaya investasi BFC membengkak.
“Saat ini sedang berlangsung. Dan kabar yang kami terima akan ada kesimpulan dan langkah lanjut daripada yang didapatkan Kejagung,” kata Silmy.