Berdasarkan hasil pengetesan pada akhir Mei 2021 lalu, Toyota Mirai bahkan bisa menempuh jarak 1.003 km (623 mil) setelah memulai perjalanan dari stasiun pengisian hidrogen Hysetco di Orly, Prancis. Ini berarti jauh lebih efisien dibanding Lucid. 

Garibaldi Thohir-Toyota Mirai
Presdir PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir mengunjungi dealer Toyota Mirai di Santa Monica, Los Angeles, AS, akhir Maret 2022. (Katadata)
  

Ambisi Los Angeles

Langit Los Angeles tampaknya akan kian biru. Hal ini seiring dengan bakal semakin banyaknya kendaraan listrik di jalan-jalan yang menggantikan kendaraan lama berbahan bakar fosil. Sebuah master plan pun telah disiapkan, yang menargetkan seluruh kota sudah digerakkan oleh energi terbarukan selambat-lambatnya pada 2035.

Rencana induk itu digulirkan lewat sebuah mosi yang diinisiasi oleh dua anggota Dewan Kota Los Angeles, yakni Paul Krekorian dan Mitch O’Farrell. Mosi itu disusun berlandaskan pada Rencana Keberlanjutan Los Angeles 2015, serta Kesepakatan Baru Hijau Los Angeles 2019, yang ditujukan untuk perbaikan kualitas udara dan adopsi kendaraan listrik.

Mosi ini lahir hanya beberapa hari sebelum Senat AS mengesahkan Undang-Undang Infrastruktur senilai US$ 1 triliun. Di dalamnya termasuk dana US$ 7,5 miliar untuk pengadaan stasiun pengecasan kendaraan listrik, dan US$ 73 miliar untuk peningkatan kualitas jaringan listrik nasional.

Mosi itu pun lahir hanya satu hari setelah Presiden Joe Biden menandatangani perintah eksekutif. Ditargetkan pada 2030 nanti setengah dari penjualan mobil baru sudah harus berupa mobil hibrida (plug-in hybrid), full battery electric vehicles atau hydrogen fuel cell vehicle. 

Dengan mosi itu diharapkan tersusun peta jalan kendaraan listrik untuk Los Angeles. Seperti diakui Walikota L.A. Eric Garcetti, ini jelas bukan pekerjaan mudah. Mengingat, di kota ini baru 62.851 kendaraan listrik yang terdaftar. Alias kurang dari 1% total kendaraan yang ada. 

Sehubungan dengan itu, L.A telah mencanangkan pada 2028 nanti seluruh kendaraan pemerintahan sudah akan beralih ke mobil listrik. Selain itu, ditargetkan sudah akan tersedia 28 ribu stasiun pengecasan kendaraan komersial di penghujung dekade ini, atau setidaknya 15 ribu stasiun pada 2025. 

Selanjutnya Peluang Buat Kaltara

Peluang Buat Kaltara

Geliat mobil listrik seperti yang terjadi di Los Angeles, di mata Boy Thohir jelas sebuah peluang. “Bukan saja untuk Adaro, tapi juga untuk Indonesia,” ujarnya. Peluang itu yang kini terbuka untuk digarap oleh Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara.

Dari kawasan ini, yang diekspor nantinya bukan lagi bahan mentah hasil tambang, melainkan produk olahan ramah lingkungan sebagai penunjang industri mobil listrik yang bernilai tinggi. “Apalagi kalau kita bisa supply ke Tesla atau Lucid, karena ini kan premium market,” ujar Boy.

Kesempatan itu terbuka lebar berhubung untuk pembuatan komponen mobil listrik, semua sumber daya alamnya tersedia di Indonesia, antara lain bauksit, nikel, tembaga, dan aluminium. Di Indonesia pun, penggunaan mobil listrik diperkirakan akan tumbuh pesat.

Atas dasar itu, sejumlah bisnis hijau akan dikembangkan Adaro di kawasan ini.  Salah satu yang akan segera dibangun adalah Green Aluminium Smelter dengan nilai investasi US$ 728 juta (sekitar Rp 10,5 triliun). “Insya Allah dalam dua tahun selesai, paling lambat 2,5 tahun,” ujar Boy optimistis. 

Untuk membangun smelter aluminium hijau ini, Adaro bermitra dengan perusahaan asal Tiongkok, dengan porsi saham 65 : 35. Produk ini dianggap strategis, karena mobil listrik pastinya akan membutuhkan bahan baku aluminium yang ringan, seperti untuk sasis dan body-nya. 

Adapun green aluminium dipilih karena pada akhirnya semua komponen mobil listrik harus memenuhi persyaratan ramah lingkungan hingga diproses hulunya. Boy mencontohkan, dalam ekspor produk kayu lapis atau plywood, selalu dipertanyakan juga asal-usul sumber kayunya. “Mereka minta eco-labelling.”

Begitu pun aluminium, baterai, dan ban mobil listrik, tentunya akan ditanya oleh pembeli dari mana sumbernya. Kalau proses di hulunya berasal dari energi fosil, maka harganya tidak akan setinggi produk dari energi hijau. “Di situlah nanti kita punya nilai premium,” kata Boy. 

Untuk itu, sebuah bisnis hijau terintegrasi akan dikembangkan Adaro di kawasan ini. Pasokan energi listrik akan berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang ramah lingkungan. “Kami mencanangkan Adaro Green Aluminium Project di Kaltara.”

Jokowi dan Boy Thohir
Presiden Joko Widodo bersama Presdir PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir saat groundbreaking Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Tanah Kuning, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, 21 Desember 2021 (Biro Setpres).
 

Transformasi Hijau Adaro

Bagi Adaro, langkah transformasi ke bisnis hijau bukan lagi pilihan. “Kami harus bertransformasi,” ujar Boy. “Mungkin Adaro terlalu cepat, tapi kami ingin menjadi pemain utama.”

Adaro kini merupakan produsen batu bara kedua terbesar di Indonesia, dengan produksi sekitar 55 juta metrik ton per tahun. Dengan kadar sulfur yang rendah, batubara Adaro terbilang memiliki kadar emisi karbon yang rendah sehingga disebut envirocoal. Pasarnya di lebih dari 17 negara, antara lain Jepang, Hong Kong, Malaysia, Korea, Taiwan, India, Tiongkok, dan Thailand.

Dengan arah baru itu, Adaro secara bertahap akan bertransformasi dari perusahaan energi berbasis batubara menuju bisnis hijau, yakni ke energi air (hydro), lalu ke pengembangan kawasan industri (industrial estate) beserta turunannya. “Sehingga Insya Allah dalam 10-15 tahun ke depan, sudah komplet journey-nya. Dari coal ke renewable energy,” kata Boy. “Itu visi saya ke depan.”

Kawasan industri hijau juga dinilainya punya nilai strategis bagi Indonesia, karena  secara geografis Kaltara dekat dengan tujuan ekspor Indonesia, yakni Korea, Jepang, dan Tiongkok. “Itu menjadi daya tarik sendiri,” kata Boy. 

Penting juga dicatat, kawasan ini sudah terbengkalai lama. Sebelum Adaro masuk, tidak ada investor yang berani dan mau berkomitmen untuk berinvestasi di kawasan ini. Pangkal soalnya, belum ada pasokan listrik. 

Proyek PLTA Kayan yang perencanaannya sudah dimulai sejak 2012 tak kunjung terealisasi. Mangkraknya PLTA ini, jika tidak segera dirampungkan bahkan dapat mengancam keselamatan penduduk desa di sekitar dam. Dengan masuknya Adaro, kini harapan penyelesaian proyek ini kembali hidup. 

“Bukan karena saya atau Adaro hebat, karena momentumnya saja,” ujar Boy merendah. Kondisinya kini memungkinkan untuk dibangun bersamaan antara PLTA Kayan dan industri yang akan menjadi offtaker alias pembeli listrik yang diproduksi. “Timing is everything.” 

Bagi Adaro, proyek ini barulah tahap awal. Untuk mengembangkan seluruh kawasan industri hijau dengan luas lahan mencapai 15-20 ribu hektare ini, dibutuhkan waktu cukup panjang.  “Saya membayangkan, baru dalam 10-15 tahun kawasan ini akan terbangun,” ujar Boy. 

Sejumlah mitra sudah tertarik bergabung di mega proyek ini. Tsingshan, produsen Stainless Steel asal Tiongkok; CATL, salah satu produsen baterai terbesar di dunia yang juga asal Tiongkok; serta investor asal Australia sudah menyatakan minatnya. 

“Mimpi dan visi saya, suatu saat nanti akan banyak mobil-mobil listrik yang diproduksi di Indonesia,” kata Boy. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement