Adrianto menuturkan perusahaan harus berhati-hati melakukan investasi untuk membeli kendaraan mahal seperti mobil listrik. Pasalnya, investasi satu mobil listrik setara dengan empat mobil konvensional. Blue Bird pun memangkas target 500 unit kendaraan listrik di tahun ini menjadi 100 unit saja.

Tidak hilang akal, Blue Bird kini mengandalkan armada berbasis gas utuk mengurangi emisi. Kendaraan jenis ini masih lebih murah ketimbang mobil listrik sehingga cocok untuk masa transisi. Saat ini Blue Bird memiliki 2.700 unit kendaraan berbasis gas atau sekitar 23 % dari total armada. “Visi kami di 2030 sudah tidak ada lagi taksi berbasis BBM yang kami operasikan,” kata Adrianto.

Transisi ke kendaraan listrik juga menjadi salah satu upaya perusahaan transportasi lain untuk mengurangi emisi. Grab Indonesia kini mengoperasikan 8.500 unit kendaraan listrik di Jawa dan Bali. 

Director Strategy & Special Project Grab Indonesia Rivana Mezaya mengungkapkan ribuan  kendaraan listrik ini memangkas 5.000 ton emisi karbon. Menurutnya, satu motor listrik bisa mengurangi penggunaan BBM hingga empat liter per hari. “Kami ingin mencapai netral karbon pada 2040," ujar Rivana kepada Katadata.

Salah satu tantangan penggunaan kendaraan listrik adalah soal baterai. Sudah menjadi rahasisa umum jika baterai masih menjadi salah satu komponen mahal di kendaraan berbasis listrik. Grab pun maju dengan solusi penukaran baterai. Jadi pengguna bisa menukar baterai motor listriknya yang sudah habis daya di tempat-tempat penukaran khusus. Grab berkolaborasi dengan PT Pertamina untuk menyediakan 400 titik penukaran di Jabodetabek dan puluhan lainnya di Bali. 

Grab juga punya sistem unik untuk mendorong pengemudi beralih ke kendaraan listrik. Pengguna bahkan tidak perlu membeli kendaran listriknya sendiri. Pengemudi hanya perlu menyewa unit kepada Grab untuk bisa mengangkut penumpang.

Agus, salah satu pengemudi motor listrik yang ditemui Katadata, bercerita ia mengeluarkan Rp 50.000 per hari untuk sewa kendaraan dari Grab. Menurut Agus, ini keputusan jitu sebab ia tidak lagi dipusingkan harga BBM yang kini melonjak. “Saya nge-charge di rumah selama lima jam, cukup untuk ngojek seharian,” katanya. 

Kurangi emisi karbon melalui kendaraan listrik
Kurangi emisi karbon melalui kendaraan listrik (Desainer: Nurfathi | Katadata)

Perusahaan lainnya, GoTo, juga telah memulai beberapa langkah menuju net zero emission. Group Head of Sustainability GoTo Tanah Sullivan mengatakan pihaknya menargetkan armadanya mengadopsi 100% kendaraan listrik pada 2030. 

GoTo bahkan membentuk perusahaan patungan khusus bernama PT Energi Kreasi Bersama (Electrum) untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Electrum telah memiliki ratusan unit motor listrik dan membangun berbagai infrastruktur penukaran baterai di Jakarta Selatan, melalui kerja sama dengan Pertamina.

Melalui perusahaan patungan tersebut, Gojek akan mengembangkan usaha dalam bidang manufaktur kendaraan listrik roda dua. Ini termasuk juga teknologi pengemasan, dan infrastruktur penukaran baterai, hingga pembiayaan untuk memiliki kendaraan listrik.

Uji coba komersial kendaraan listrik ini telah dimulai pada Februari 2022. Pada awal Juni, kurang dari lima bulan sejak uji coba komersial diluncurkan, Sullivan menyebut pemesanan layanan GoRide Electric melonjak dua kali lipat.

“Lebih dari 70% mitra driver yang bergabung dalam uji coba komersial mengalami peningkatan pendapatan bersih hingga Rp 46.000 per hari,” katanya melalui pesan tertulis kepada Katadata

Tidak hanya operasional di jalan raya, GoTO juga mulai beralih ke sumber EBT untuk memenuhi kebutuhan listrik kantor dan gudang. Secara bertahap, perusahaan menetapkan tujuan 100% energi terbarukan dalam beberapa tahun ke depan.

Sullivan mengatakan pihaknya telah membeli 361 Sertifikat Energi Terbarukan (Renewable Energy Certificate/REC) dari PLN untuk penggunaan energi di kantor pusat. 

“Ini setara dengan konsumsi listrik sebesar 361.000 kWh," katanya. 

Sertifikat REC menjadi bukti sahih bahwa produksi tenaga listrik PLN berasal dari pembangkit listrik EBT. Jumlah REC GoTo ini akan terus bertambah guna membantu menyerap sebagian jejak karbon dan meningkatkan kontribusi perusahaan dalam proyek EBT.

EKOSISTEM KENDARAAN LISTRIK BERBASIS BATERAI
EKOSISTEM KENDARAAN LISTRIK BERBASIS BATERAI (ANTARA FOTO/Agha Yuninda/wsj/tom.) 

Agar Tidak Terjebak Gimmick

Gegap gempita sektor swasta mengurangi emisi ini menarik dicermati. Ada berbagai cara dan metode yang disesuaikan dengan kebijakan masing-masing perusahaan. Sejumlah perusahaan di sektor tambang batu bara berusaha keluar dari jebakan energi kotor melalui strategi diversifikasi dan divestasi. 

Di sektor konsumen dan manufaktur, transisi pembangkit dari yang berbasis energi kotor menjadi energi terbarukan, seperti yang dilakukan Multi Bintang, menjadi fokus utama. Sementara bagi perusahaan transportasi, peralihan ke kendaraan listrik dianggap menjadi solusi. 

Lantas, bagaimana seharusnya sektor swasta menjalankan strategi pengurangan emisi agar apa yang mereka lakukan tidak sekadar gimmick belaka? Sustainable Business And Corporate Engagement Manager World Resource Institute (WRI) Nanda Noor menyebut ada standarisasi global yang bisa memandu perusahaan menuju netralitas karbon. Standar ini penting sebab upaya transisi harus berbasis sains agar yang mereka lakukan bisa lebih terarah dan tidak terjebak pada gimmick belaka.

Salah satu standar paling yang diakui secara global adalah Science Based Initiative Technology (SBTI). Ini merupakan standar internasional yang mulai serius dikonsep sejak 2015 dan sudah dipakai ribuan perusahaan di seluruh dunia. SBTI kini juga menjadi acuan utama Kadin Net Zero Hub dan para anggotanya.

“Kalau mereka lulus SBTI maka target Net Zero itu terbukti secara science bisa mengurangi peningkatan suhu bumi 1,5 derajat Celcius,” katanya,

Nanda mengatakan SBTI dimulai dari negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat sehingga keterlibatan perusahaan dari Asia masih ketinggalan. Di Indonesia, bahkan baru sembilan perusahaan yang bergabung dalam inisiatif ini. Kendati demikian, perusahaan lokal yang terafiliasi dengan perusahaan internasional biasanya menginduk pada kebijakan emisi di tingkat global.

“Multi Bintang misalnya, dia tidak tercatat di SBTI di Indonesia tetapi menginduk ke Heineken di tingkat global,” kata Nanda. 

Nanda merinci ada beberapa tahap untuk menerapkan SBTI. Pertama adalah peningkatan kapasitas untuk memahami konsep netralitas karbon. Kedua, tahap komitmen melalui penerbitan letter of commitment sebagai penanda perusahaan itu akan melakukan perjalanan net zero berdasarkan SBTI. Ketiga, penghitungan baseline atau nilai dasar emisinya. Tahap keempat penentuan target.

Selanjutnya baru masuk kepada strategi untuk mengurangi emisi baik di level kebijakan maupun taktis. Tahap keenam adalah komunikasi untuk membeberkan kepada publik atau investor soal target-target yang sudah ditetapkan. Selanjutnya adalah tahap pelaporan untuk memantau kinerja pengurangan emisi dari tahun ke tahun. 

“Sebagian besar perusahaan di Indonesia baru di tahap ketertarikan atau awareness,” kata Nanda.
Kendati demikian, menurut Nanda banyak juga perusahaan yang sudah memulai aksinya untuk melakukan transisi baik berupa proyek percontohan maupun yang sudah berjalan. Khusus untuk perusahaan seperti ini, Nanda mewanti-wanti agar tidak keliru dalam melakukan komunikasi ke publik supaya tidak terjebak pada klaim berlebihan.

Salah satu overklaim yang sering terjadi misalnya, perusahaan baru mulai berkomitmen netralitas karbon tetapi mengaku sudah menuju Net Zero. “Padahal standar net zero sangat tinggi dan sulit dilakukan, tapi bukan berarti tidak mungkin,” katanya. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora, Agung Jatmiko, Intan Nirmala Sari
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement