Berbeda dengan Bhima, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad berpendapat, QRIS di kedua penyedia jasa pembayaran itu tidak akan menimbulkan persaingan. QRIS bisa menunjang kedua pilihan pembayaran.

Sehingga, mobile banking dan e-wallet bersifat saling melengkapi alias komplementer. Di sisi lain, Tauhid melihat e-wallet bisa lebih unggul dari mobile banking karena lebih praktis tanpa harus melakukan verifikasi data untuk mengakses menu transaksi.

“Secara ekonomis juga tidak ada perubahan. Di prinsip moneter, itu termasuk uang beredar meski bentuknya digital,” ujar Tauhid dalam sambungan telepon dengan Katadata, Rabu (26/10).

Bagaimana Pengaruh QRIS Bagi Dompet Digital?

Perusahaan teknologi finansial DANA menyatakan ada dampak positif setelah QRIS berlaku di seluruh penyedia jasa pembayaran. “Pengguna makin leluasa untuk memilih metode pembayaran sesuai keinginan serta memiliki pengalaman bertransaksi digital yang makin beragam,” ujar Putri Dianita, VP Corporate Communication DANA pada Katadata, Rabu (26/10).

Hingga September 2022, DANA mencatatkan tren positif untuk jumlah transaksi harian. Bila dibandingkan dengan tahun lalu, tiga fitur yang paling banyak digunakan pengguna DANA adalah Kirim Uang dengan kenaikan 386 %, DANA eMAS tumbuh 289 %, dan jumlah transaksi Biller yang berguna untuk pembayaran tagihan rumah tangga meningkat sampai 236 %. 

Hal serupa dapat dilihat dari penyedia jasa pembayaran GoPay yang berada di bawah naungan Gojek-Tokopedia (GOTO). Data prospektus perusahaan memperlihatkan, penerapan QRIS pada awal 2020 tidak serta-merta mengurangi pemasukan perseroan.

Pada 2019, GOTO membukukan pendapatan bersih dari segmen jasa teknologi finansial, GoPay, sebesar Rp 899,2 miliar. Angka ini bertumbuh menjadi Rp 1,03 triliun pada akhir 2020. Meski demikian, GOTO tidak menyebutkan detail pendapatan GoPay, baik dari transaksi antar-pengguna GoPay atau dompet digital lainnya. 

Pemain penyedia jasa pembayaran di Tanah Air pun kian masif bertumbuh. Bank Indonesia pun membagi tiga kategori izin PJP dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021. GoPay dan OVO, misalnya, masuk kategori izin satu, yakni penyedia jasa pembayaran dengan modal disetor minimum Rp 15 miliar.

Mereka melakukan aktivitas penatausahaan sumber dana, penyediaan informasi sumber dana, payment initiation dan/atau acquiring services, serta layanan remitansi. Melansir laman BI, ada 176 penyedia jasa pembayaran kategori izin satu, termasuk di dalamnya ShopeePay, DANA, hingga LinkAja.

Strategi Dompet Digital Bersaing dengan Mobile Banking

Dengan ramainya pemain penyedia jasa pembayaran, dompet digital dinilai perlu merumuskan strategi perluasan agar mampu bersaing dengan layanan mobile banking. Dalam catatan Katadata, dompet digital kerap melakukan promosi dan menebar diskon untuk menggaet mitra dan pengguna baru. Namun merujuk pada kondisi ekonomi global yang menguranngi investasi ke perusahaan teknologi, ‘bakar uang’ ini dilakukan dengan beberapa catatan.

Bhima optimistis dompet digital masih mampu memberikan diskon kepada penggunanya, namun ada tiga strategi baru yang ditawarkan. Pertama, melekatkan promosi ini ke aspek logistik alias e-commerce. Dompet digital bisa menggaet calon konsumen dengan iming-iming diskon atau uang kembali alias cashback bila bertransaksi dengan dompet digital alih-alih layanan mobile banking

Kedua, dengan kolaborasi ke usaha omnichannel atau toko ritel fisik, sehingga tidak hanya berfokus pada transaksi daring. Selain bersaing dari sisi promosi, Bhima menyarankan agar e-wallet bersaing dari segi layanan.

Beberapa contohnya yakni layanan investasi dan asuransi yang kerap digunakan masyarakat Indonesia. Dengan layanan yang lebih lengkap, menurutnya e-wallet akan terdiferensiasi dari mobile banking dan bisa menggaet lebih banyak konsumen.  

“Akan ada seleksi alam untuk mengerucutkan pemain utama yang memang punya inovasi, kolaborasi luas, dan ekosistem lengkap. Ending-nya mungkin hanya akan ada dua sampai tiga pemain,” kata Bhima. 

Lembaga konsultan pemasaran yang berbasis di India, RedSeer pun memprediksi tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) e-wallet di Indonesia mencapai 31,5 % hingga 2025. Perhitungan nilai transaksi e-wallet ini bisa mencapai US$ 30,8 miliar atau setara Rp 462 triliun pada 2022 hingga US$ 53,3 miliar atau Rp 799,5 triliun pada 2025. Lebih lanjut, RedSeer menyatakan adanya e-commerce serta perpindahan UMKM ke penjualan daring menjadi pendorong pertumbuhan tersebut.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement