“Kami juga ingin mengusulkan proyek rehabilitasi dan konservasi mangrove,” kata Agus

Sementara itu, bagi Brasil, aliansi tiga negara ini bukan cuma soal pengelolaan hutan semata. “Aliansi ini harus bersifat politik dengan nilai-nilai penting termasuk demokrasi, transisi berkeadilan, dan keberagaman,” kata Izabella Teixeira, Mantan Menteri Lingkungan Brasil dalam sesi yang sama. 

Teixeira, karib kental Lula da Silva yang digadang-gadang akan masuk kabinet baru, menyebut Brasil sudah pernah mengalami kemajuan sekaligus kemunduran dalam pengelolaan hutan. Ia berharap aliansi ini bisa membawa ketiga negara lebih solid di perundingan-perundingan internasional.

Tantangan Politik 

Aliansi Indonesia, Brasil, dan RDK ini memang terlihat menjanjikan dan komprehensif. Para peserta aliansi juga terlihat sangat antusias untuk mewujudkannya menjadi kekuatan baru di tingkat global. Namun, bukan hal mudah merancang aliansi antar negara apalagi mengimplementasikan programnya.

Daniel Murdiyarso, pakar kehutanan yang ditemui Katadata di Sharm el Sheikh, mengatakan aliansi tiga negara ini akan sangat menguntungkan di bawah kepemimpinan Brasil yang baru. Apalagi ia menilai Brasil sudah sangat maju dalam hal pengelolaan hutan, bahkan di level masyarakat sipil. 

“Kepemimpinan Lula di sektor lingkungan akan lebih bagus. Dia disukai para ilmuwan dan aktivis,” katanya, kepada Katadata.

Kendati demikian, aliansi ini juga menghadapi sejumlah tantangan serius terutama dari sisi Indonesia. Daniel menilai aliansi ini baru akan berjalan setelah Pemilu 2024. Pasalnya, saat ini perhatian publik sudah teralihkan ke pesta demokrasi tersebut sehingga akan sulit fokus pada hal-hal teknis.

“Dua tahun ke depan akan ada keragu-raguan dari sisi Indonesia. Implementasi aliansi ini belum tentu akan dijalankan oleh pemerintahan yang sekarang,” kata Daniel. 

Birokrasi juga bisa menjadi hal yang rumit. Aliansi saat ini dipayungi oleh Kemenko Marves. Namun, dari sisi teknis dan keahlian sebetulnya berada di ranah KLHK dan bahkan untuk beberapa hal juga bersinggungan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, terutama untuk aspek blue carbon.

Salah satu delegasi Indonesia yang ditemui Katadata bercerita, hingga saat ini belum ada koordinasi di internal soal bagaimana pembagian tugas dalam aliansi ini. Padahal ketika Menteri Luhut menyebut soal hutan, ini juga mencakup lahan mangrove, gambut, hingga padang lamun. Ini akan menjadi pekerjaan rumah yang penting diselesaikan untuk melestarikan aliansi tiga negara. 

Namun, jika berhasil diimplementasikan, Daniel menilai aliansi tiga negara ini punya kekuatan besar di lingkup internasional. Apalagi sebelumnya, sudah ada kerja sama antara Indonesia dan negara-negara di Basin Kongo terkait lahan gambut. 

Pasar Karbon

Terlepas dari berbagai tantangan politik, aliansi ketiga negara ini memberikan harapan baru dalam pengelolaan hutan dan upaya mengurangi emisi. “Saya rasa aliansi ini akan bertahan lama,” kata Sassan Saatchi, pendiri CTrees–lembaga monitoring karbon kawasan hutan termasuk di Brasil, Indonesia dan Congo Basin.

Saatchi, peneliti NASA yang menghabiskan 20 tahun Brasil ini bercerita kerja sama dengan Indonesia dan Kongo sebetulnya sudah masif terjadi di level imuwan dan masyarakat sipil. Salah satu inisiasi awal berupa pertukaran data soal hutan dan peningkatan kapasitas. 

Saatchi yang juga mengerjakan beberapa proyek hutan di Indonesia menyebut aliansi ini akan menjadi pemain signifikan di pasar karbon global. Saat ini, 90% permintaan carbon offset datang dari negara-negara maju, sementara 80%-90% suplainya datang dari negara berkembang seperti Brasil, Indonesia, dan Kongo. 

“Permintaan carbon offset akan terus datang sampai negara-negara maju berhasil menurunkan emisi mereka lewat teknologi,” ujarnya. 

Dalam konteks pasar karbon, aliansi ketiga negara ini juga punya potensi besar untuk mengontrol pergerakan harga karbon, seperti halnya OPEC mengontrol harga minyak. Namun, menurut Saatchi, hal ini sangat bergantung pada sekuat apa negara-negara ini bisa mengontrol kuota karbon. 

“Tetapi  harus dipahami pasar energi berbeda dengan pasar karbon hutan. Investasi karbon hutan saat ini berbasis pada proyek tertentu,” katanya.

Di Indonesia, pasar karbon saat ini memang belum sepenuhnya terbentuk. Mekanisme yang baru berjalan saat ini berupa Result Based Payment (RBP) melalui skema REDD+ seperti yang diinisiasi oleh Bank Dunia. Namun menurut Daniel Murdiyarto, itu bukan pasar karbon yang sesungguhnya. 

“Itu voluntari goverment to goverment. Semacam beasiswa, bukan bisnis,” katanya.

Bahkan menurut Daniel, harga karbon di Indonesia saat ini hanya US$ 3 per ton yang dinilai masih kelewat murah. Meskipun ketiga negara ini akan menguasai suplai karbon dari hutan, Daniel pesimistis pasar karbon akan terbentuk dengan matang di Indonesia. 

“Sekarang siapa yang mau beli [karbon]? Show me the money. Private sector itu mau jualan, bukan mau beli,” katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh Manajer Kampanye Walhi/Friends of Earth International Parid Ridwanudin. Menurutnya, selain soal harga yang sangat murah, konsep perdagangan karbon saat ini juga sangat tidak adil bagi negara-negara berkembang. Mekanisme carbon offset yang saat ini berjalan misalnya, justru menjadi ajang negara-negara maju untuk ‘cuci tangan’ atas aktivitas ekstraktif yang selama ini dilakukan. 

“Konsep ini dulu yang harus jelas. Bukan berarti dengan offset atau pajak bisa lepas begitu saja. Mereka punya utang ekologi,” ujarnya.

Di Indonesia, mekanisme perdagangan karbon memang masih dalam tahap awal. Ketentuannya diatur lewat Permen LHK nomor 21 tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang baru diterbitkan pada 22 Oktober silam. Beleid ini mengatur empat jenis NEK yakni perdagangan karbon baik di dalam maupun luar negeri, pembayaran berbasis kinerja (result based payment/RBP), pajak karbon, dan mekanisme lain. 

Kendati demikian, aturan ini masih perlu dukungan dari berbagai pihak. Perdagangan karbon misalnya akan diselenggarakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan perlu infrastruktur regulasi dan operasionalnya. 

“Nanti akan ditetapkan instrumen unit karbon sebagai efek yang dapat diperdagangkan di bursa karbon,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi, dikutip dari Antara.


Liputan ini diproduksi sebagai bagian dari program Climate Change Media Partnership (CCMP)Kemitraan 2022, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan oleh Internews' Earth Journalism Network dan Stanley Center for Peace and Security.


























Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement