Aspek kerahasiaan yang diatur dalam Article 6.2 tentang perdagangan karbon bilateral misalnya,  memang sudah disepakati dalam perundingan COP27. Namun, masih dibutuhkan pembahasan lebih lanjut mengenai aspek teknisnya.

Selain itu, pembahasan Article 6.4 yang memuat soal perdagangan karbon internasional juga masih meninggalkan PR besar. Ini terutama terkait dengan potensi penghitungan ganda kredit karbon yang menjadi lubang besar dalam pembahasan COP26. Pembahasan soal ini akan dilanjutkan pada COP28 di UEA tahun depan. 

Bagi Indonesia, Artikel 6 sebetulnya salah satu hasil produk COP27 yang paling ditunggu. Pasalnya, pemerintah baru saja merilis Permen LHK No.21 tahun 2022 tentang Tata Laksana Nilai Ekonomi Karbon. Beleid ini mengatur empat mekanisme ekonomi karbon yakni perdagangan karbon, pajak, RBP–seperti program REDD+ Bank Dunia–dan mekanisme lain.

Lantas bagaimana dampak mandeknya pembahasan Artikel 6 bagi Indonesia? Menurut Eka Melisa, Senior Advisor Perubahan Iklim Kemitraan, beleid NEK mencakup pasar domestik dan pasar internasional. 

“Kalau pasar domestik harusnya tidak bergantung pada nasib Artikel 6, yang penting penyiapan perangkat pasarnya,” ujarnya kepada Katadata. 

Sebaliknya, Artikel 6 akan berpengaruh di pasar karbon global karena menjadi landasan kerja sama internasional. Melisa mencontohkan, aliansi antara Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo di sektor kehutanan misalnya, akan sangat bergantung pada Artikel 6 dalam hal perdagangan karbon.

“Artikel 6 salah satunya mengatur bagaimana pendanaan dari negara kaya ke negara miskin,” ujarnya. 

Di Indonesia, salah satu mekanisme ekonomi karbon yang sudah berjalan adalah skema Result Based Payment (RBP) melalui mekanisme REDD+. Menurut Elisa, Artikel 6 akan mempengaruhi level komitmen negara donor terutama untuk pembiayaan yang didapatkan melalui lembaga multilateral seperti Bank Dunia. Pasalnya, Artikel 6 mengatur kerangka pendanaan internasional terutama dalam hal pencatatan penurunan emisi. 

“Mandeknya [pembahasan] Artikel 6  bisa saja mempengarugi proses pengkinian dan implementasi NDC Indonesia,” kata kepada Katadata.

Sidang penutupan COP27
Sidang penutupan COP27 (UNFCCC)
 

PR Besar Indonesia

Pemerintah Indonesia sebetulnya datang ke Sharm el Sheikh dengan rasa percaya diri tinggi. Dua pekan sebelum COP27 digelar, Indonesia memperharui komitmen penurunan emisi melalui  Enhanced National Determine Contribution (ENDC). Ini memuat kenaikan target penurunan emisi karbon dari 29% menjadi 31,89% dengan usaha sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional. 

Perubahan target tersebut merupakan akumulasi dari lima sektor yang menjadi fokus penurunan emisi, yaitu kehutanan dan lahan (FOLU), energi, limbah, industri, dan pertanian.

Sepanjang dua pekan COP27, paviliun Indonesia juga sangat aktif menyelenggarakan berbagai diskusi. Total ada 66 sesi yang berhasil digelar di paviliun. Temanya sangat beragam; mulai dari dekarbonisasi sektor industri, transisi energi, blue carbon, transparansi, hingga target FOLU Net Sink 2030.

Pemerintah Indonesia berhasil menyegel sejumlah kesepakatan penting pada COP27. Pada hari ketiga COP27 misalnya, Bank Dunia mengumumkan pembayaran awal US$ 20,9 juta untuk proyek reducing emission from degradation and deforestation (REDD+) di Kalimantan Timur. Ini merupakan salah satu proyek dalam payung Pembayaran Berbasis Kinerja (Result Based Payment/RBP), salah satu mekanisme yang diajukan pemerintah dalam tata laksana nilai ekonomi karbon.

Indonesia juga membentuk dua kolaborasi penting; aliansi negara hutan tropis dengan Brasil dan Republik Demokratik Kong serta aliansi mangrove dengan Uni Emirates Arab. Kendati demikian, perkembangan paling penting bagi Indonesia justru bukan datang dari COP27 tetapi dari G20 yang digelar pada 15-16 November 2022, tepat pada hari ke-8 COP27.

Di G20 Bali, G7+ Norwegia dan Denmark mengumumkan pendanaan US$ 20 miliar untuk mendukung program transisi energi Indonesia. “Ini akan menjadi game changer. Seluruh dunia kini akan melihat bagaimana Indonesia menjalankan program ini,” kata Direktur Global Climate Policy dari The Sunrise Project, Justin Guay.

Kesepakatan Just Energi Transition Partnership (JETP) yang diumumkan di G20 membuat pemerintah Indonesia kini memiliki banyak pekerjaan rumah. Selain harus melanjutkan negosiasi teknis JETP, pemerintah juga harus memulai komitmennya untuk menurunkan emisi. 

Indonesia misalnya harus membatasi emisi puncak ketenagalistrikan tidak lebih dari 290 metrik ton pada 2030. Emisi di sektor ini juga harus mencapai nol pada 2050. Selain itu, bauran energi terbarukan juga harus mencapai 34% di 2030, hampir tiga kali lipat dari posisi saat ini sekitar 12%.

COP27 dengan segala dinamika, perdebatan, aksi protes, dan tarik-tarik menarik kepentingan resmi berakhir. Seperti sebelum-sebelumnya, COP tidak bisa menyenangkan semua pihak. Minggu (20/11) sore di Bandara Sharm el Sheikh, para delegasi yang kelelahan menanti dengan sabar pesawat yang akan membawa mereka pulang ke negaranya masing-masing. Setahun dari sekarang, para delegasi ini akan mengulang rutinitas yang sama di COP selanjutnya.

“Saya tidak tidur 30 jam terakhir. Tapi saya cukup puas dengan hasilnya,” kata salah satu negosiator yang Katadata temui di bandara.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement