• Vonis bebas bos KSP Indosurya Henry Surya menimbulkan polemik.
  • Peluang Henry diadili kembali dalam ranah pidana sangat kecil.
  • Hasil PKPU kerap merugikan konsumen.

Dua puluh tahun lamanya Iman Santoso menabung agar bisa menikmati pensiun muda. Ia memperkirakan tabungannya sudah mencapai Rp 2,25 miliar. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ia justru jatuh miskin sejak 2020. 

Akar masalahnya adalah tempat ia menyimpan uang: Koperasi Simpan Pinjam alias KSP Indosurya. Tiga tahun lamanya Iman menjadi anggota koperasi tersebut. Ia tergiur tawaran bunga 8,5% untuk menyimpan uang di sana. Sebelumnya, ia menggunakan bank swasta dengan bunga maksimal 6%.

Keadaan mulai berbalik pada tahun kedua ia menyimpan duit. Indosurya divonis gagal bayar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Duit lelaki berusia 54 tahun itu pun raib.

Naasnya, uang yang disetor ke KSP ini tidak murni hasil pekerjaannya sebagai guru matematika di sekolah menengah atas swasta. Ada uang keluarga senilai Rp 1,5 miliar yang dititipkan ke Iman. Terlepas dari koperasi yang belum mengembalikan uangnya, Iman tetap harus mengganti uang keluarganya itu.

“Saya terpaksa harus menjual rumah, anak saya pun kuliahnya tertunda. Saya masih harus kerja keras lagi sekarang dan dengan istri pun jadi sering cekcok,” katanya dalam konferensi pers pada 18 Desember lalu. 

Berdasarkan hasil keputusan penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU, total dana yang harus dikembalikan koperasi tersebut senilai Rp 15,9 triliun. Pihak KSP Indosurya sudah mengakui lambat mengembalikan aset para anggotanya.

Sejauh ini, baru 15% dari total gugatan yang setara dengan Rp 2,6 triliun yang baru dikembalikan. Kuasa hukum KSP Indosurya, Waldus Situmorang, menyatakan keterlambatan tersebut disebabkan Henry Surya yang sudah ditahan.

Henry, pemilik Indosurya, sudah keluar-masuk tahanan sepanjang 2022. “Dia sudah sangat sulit bergerak ketika ditahan, apalagi di bawah pengawasan terus. Situasi itu tidak memungkinkan melakukan aktivitas pembayaran,” ujarnya pada Katadata, Rabu (15/2).

PENGUNGKAPAN PENIPUAN DAN PENGGELAPAN DANA KSP INDOSURYA CIPTA
Pemilik Indosurya, Henry Surya. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.)

Vonis Bebas Bos Indosurya

Bos Indosurya, Henry Surya, sudah mendapat vonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada 24 Januari lalu. Hakim beralasan, kasus ini masuk dalam ranah hukum perdata. 

“Mengadili, menyatakan terdakwa Henry Surya terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana melainkan perkara perdata," ucap Hakim Ketua Syafrudin Ainor.

Sebelumnya, jaksa menuntut Henry dengan pidana 20 tahun penjara dan denda Rp 200 miliar subsider satu tahun kurungan. Jaksa yakin terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan menyuruh, melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia. 

Putusan ini pun mengundang perhatian Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Ia meminta agar ada banding atas vonis bebas tersebut. “Kita harus hormati pertimbangan hakim dan tentu saja ini masih ada naik banding, ada kasasi, dan sebagainya. Saya akan dorong Kejaksaan Agung agar naik banding,” kata Mahfud. 

Polemik Pidana-Perdata dalam Asas Nebis In Idem 

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, kasus ini bisa menjadi  pidana dan perdata. Bila ada kerugian yang ditimbulkan dari transaksi, maka kasus ini bisa dilihat sebagai wanprestasi dan masuk dalam kasus perdata.

“Bisa juga dilihat secara pidana, bila dibuktikan bahwa kerugian itu dilakukan secara sengaja. KSP Indosurya mengambil keuntungan yang lebih dengan merugikan pihak yang bertransaksi. Dalam hal ini negara,” kata Abdul.

Polemik di kalangan pakar hukum ini kian hangat karena adanya asas nebis in idem dalam hukum pidana. Asas ini menyatakan, seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas peristiwa yang telah diputuskan oleh hakim. 

Abdul berpendapat, Henry mengarahkan fokus pembahasan transaksi bisnis sebagai celah hukum sehingga ia bisa divonis bebas. Dengan fokus tersebut, kerugian yang ditimbulkan dari transaksi bukanlah sebuah tindak pidana, melainkan wanprestasi.

Hukuman Henry hanyalah membayar bunga dan ganti rugi, karena kasus ini masuk dalam kategori peristiwa bisnis atau perdata. Namun, Henry masih bisa diadili lagi, “jika terbukti kerugiannya tidak sama, atau peristiwa hukumnya digeser ke penipuan atau penggelapan dana,” kata Abdul pada Katadata.

Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda mengatakan, penyelesaian kasus ini mestinya berhenti di tingkat Kejaksaan Agung saja dengan tindak perdata. Ia mengamini asas nebis in idem.

“Jadi kalau keputusannya PKPU, negara tidak boleh ikutan. Kalau dipaksa lanjutkan lagi, itu bukan hukum namanya, tapi kesewenang-wenangan,” ujarnya pada Katadata.co.id via sambungan telepon.

PENGUNGKAPAN PENIPUAN DAN PENGGELAPAN DANA KSP INDOSURYA CIPTA
Pengungkapan penipuan dan penggelapan dana KSP Indosurya. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.)

PKPU, Selesaikan Atau Munculkan Masalah Baru?

Melia, salah satu anggota KSP Indosurya, mendapatkan pesan singkat dari koperasi tersebut terkait penggantian dana anggota. Ada dua cara yang ditawarkan, yakni dengan penukaran aset alias asset settlement atau utang yang dapat dikonversikan alias convertible loan.

Ahmad, anggota lainnya, juga mendapat tawaran itu. Mereka berdua sepakat bahwa dua opsi ini tidak menguntungkan, justru merugikan mereka.

Penyebabnya, harga aset yang ditawarkan jauh lebih tinggi dari harga pasaran. “Kalau tabungan kami dianggap di bawah aset, maka kami harus tambah dana atau top-up tabungan lebih dulu,” kata Melia pada Katadata.co.id

Dari penuturan Ahmad, harga pasar prpoerti yang ditawarkan adalah Rp 1  miliar, sesuai dengan nilai tabungan yang dimilikinya. Tapi Indosurya baru akan memberi properti itu setelah ia menambah tabungan senilai Rp 1 miliar. Yang membuatnya makin buntung, harga properti tersebut dua kali lipat dari harga pasaran.

Opsi kedua pun tidak luput dari masalah. Nilai deposito nasabah ini dikonversikan menjadi saham di PT Sun International Capital. Ini perusahaan properti milik Indosurya Group, yang 99,9% sahamnya dimiliki oleh Henry Surya.

Kuasa hukum KSP Indosurya Waldus Situmorang memastikan aset yang ditawarkan sesuai dengan harga pasar. Ia mengklaim pihaknya tidak mengambil keuntungan.

Namun, para anggota memang diminta menambah dana, sesuai dengan harga aset tersebut. “Jadi sebenarnya dipadankan, berapa nilai tabungan anggota di KSP Indosurya dan berapa nilai asetnya. Kekurangan itu diminta ditambahkan, jadi bukan dua kali bayar,” ujarnya. 

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menjelaskan dalam putusan PKPU, tidak ada dalil yang mengatur sanksi dalam hal kewajiban pembayaran sesuai perjanjian perdamaian. “Itu lemah sekali,” kata Teten dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR, pada 14 Februari lalu.

Pakar PKPU dan Kepailitan Universitas Indonesia Teddy Anggoro menyebut putusan PKPU bisa digugat. Syaratnya, terdapat poin yang tidak sesuai dalam perjalanan pengembalian utang.

Jika kalah gugatan, maka perusahaan bisa dinyatakan pailit. Namun, hal ini juga berisiko bagi konsumen atau nasabah. "Karena jika pailit, yang didahulukan adalah kewajiban pada negara seperti pajak dan hak pekerja,” katanya pada Katadata.co.id, pada Jumat pekan lalu.

Ada tiga faktor, menurut Teddy yang menyebabkan PKPU bisa merugikan konsumen. Pertama, minimnya edukasi hukum pada konsumen. Kreditur yang tidak mengerti hukum, cenderung mudah diiming-imingi janji perdamaian yang berujung persetujuan PKPU.

“Seiring proses PKPU, barulah kreditur sadar mengapa performanya tidak bagus? Lantas mereka berpikir cara memperjuangkan haknya,” ucap Teddy.

Kedua, pengaturan keputusan dalam PKPU. Praktik voting yang kerap digunakan debitur untuk mengajukan PKPU tertulis dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dalam aturan itu tercantum, PKPU akan dikabulkan jika voting mencapai 2/3 dari jumlah utang debitur. Maka, sepertiga kreditur harus mengikuti peraturan PKPU meski tidak menyetujui perjanjian damai tersebut. 

Ketiga, akses informasi. Teddy mengatakan, seharusnya debitur mengundang seluruh kreditur dalam voting PKPU. Namun, ada sejumlah kasus yang menyebabkan debitur kesulitan memberi undangan pada konsumen.

Misalnya, konsumen yang sudah berpindah alamat. Ini sebabnya ada aturan PKPU yang meminta debitur memasang iklan di koran, agar kreditur tetap memperoleh informasi.

Namun, peraturan ini kerap dijadikan celah bagi debitur. Mereka beralasan sudah memberitahukan proses PKPU di koran, padahal tidak banyak masyarakat yang membaca koran. Akhirnya, kreditur tidak memperoleh informasi itu. 

Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami