• Pemerintah mencatat 81 juta generasi milenial belum memiliki rumah.
  • Sulitnya mendapatkan hunian tak semata karena kenaikan harga properti. 
  • Reputasi pengembang tak menjadi jaminan proyek properti berjalan lancar.

Di tengah keriuhan akhir tahun, Josa (bukan nama sebenarnya) mendapat pesan singkat dari pasangannya. Ada rumah yang cocok bagi mereka, baik dari segi harga dan lokasi. Lantaran sedang mencari rumah tinggal setelah menikah, Josa lalu menghubungi pihak pemasaran rumah tersebut.

Ketika tahu rumah ini bisa diperoleh dengan uang muka alias DP hanya Rp 500 ribu, Josa sangat senang sekali. Perumahan itu memang masih dalam tahap pembangunan, tapi ia kian tertarik lantaran janji pihak pemasaran. Rumah akan selesai dibangun dalam waktu setahun dan mereka akan beroleh dua unit AC bila membeli rumah bulan itu.

DP yang ditawarkan pihak pemasaran ini tentu sangat murah, bila dibandingkan dengan aturan baku di kisaran minimal 15% harga rumah. Perumahan yang terletak di daerah Setu, Bekasi ini dihargai Rp 300 juta-an dengan tenor 20 tahun.

Berarti seharusnya minimal DP yang harus dibayar Josa adalah Rp 45 juta. “Tapi aku enggak curiga (dengan harga murah) waktu itu, karena developer-nya sudah punya portofolio buat apartemen di Jakarta Barat dan lumayan terkenal,” kata Josa pada Katadata.co.id pada pekan lalu.

Janji manis ini mulai dicurigai Josa kala ia iseng melihat lokasi pembangunan rumah, tanpa membuat janji dengan pihak pemasaran. Betapa terkejutnya ia melihat kawasan tersebut masih sepi dan baru ada sedikit rumah yang sudah selesai dibangun.

Lelaki 27 tahun ini lalu bertanya kepada pedagang warung sekitar. Kecurigaannya terkonfirmasi, sudah banyak orang yang mencicil rumah di sana, tapi rumah tidak kunjung dibangun. Belum lagi ternyata daerah itu sering terkena banjir, tidak sesuai dengan klaim pihak pemasaran.

Josa juga mengecek ulasan perumahan di Google Maps dan hasilnya buruk: hanya dua dari lima bintang. Ulasan itu penuh dengan keluhan konsumen yang rumahnya tak kunjung dibangun.

Dari ulasan itu jugalah Josa tahu proyek ini sudah lama berjalan, dibangun sejak 2014, dan sempat berganti nama. “Dari situ aku cabut. Untung belum sempat mencicil, nggak apa-apalah terbang Rp 500 ribu,” katanya. 

INDONESIA PROPERTI EXPO 2022
INDONESIA PROPERTI EXPO 2022 (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.)

Stigma yang Kian Melekat

Cerita di atas hanya segelintir permasalahan susahnya mendapatkan rumah untuk generasi milenial dan generasi Z. Isu ini pun telah menjadi kekhawatiran banyak pihak, termasuk pemerintah. 

Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menyoroti pula masalah ini pada April lalu. Ia menyebut 81 juta generasi milenial belum mendapatkan faslitas rumah. Hal tersebut menjadi perhatian pemerintah karena 58% penduduk Indonesia saat ini berusia di bawah 40 tahun.

BUMN alias perusahaan pelat merah di bidang properti pun dikerahkan untuk membangun hunian yang terintegrasi dengan moda transportasi umum. Harapan Erick, cara ini dapat menjadi solusi milenial mendapatkan rumah dan menekan penggunaan kendaraan pribadi.

“Generasi muda ini kemudian akan berumah tangga, kemudian mereka membutuhkan rumah. Tapi mereka tidak mampu mendapatkan rumah. Mereka butuh, tapi tidak mampu karena harga rumahnya lebih tinggi dibanding purchasing power mereka,” tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Juli 2022 lalu.

Prediksi bernada pesimis ini seolah diamini masyarakat dan disetujui para pengamat properti. Salah satunya Anton Sitorus. Ia mengatakan fenomena ini sudah lama terjadi di Indonesia, sejak era 80-an hingga 90-an.

Kenaikan harga properti, menurut dia, tidak sejalan dengan kenaikan penghasilan sehingga orang memilih tinggal di pinggiran kota. “Mungkin sekarang menjadi kian berat karena anak muda ingin tinggalnya di dalam kota. Mau tinggal di pinggiran kota saja sulit, apalagi di dalam kota,” tuturnya melalui sambungan telepon Jumat (12/5).

Pandangan lain dikemukakan Head of Research Colliers Indonesia Ferry Salanto. Daya beli memang menjadi salah satu faktor sulitnya generasi muda, baik millenial atau Gen-Z, untuk membeli rumah.

Namun, ada prioritas yang lebih tinggi dari mempunyai rumah, yakni experience. “Anak muda sekarang uangnya dihabiskan untuk makan, nonton konser, atau vakansi, akhirnya tidak bisa membeli rumah tinggal. Di sisi lain, mereka punya uang tapi tidak ingin tinggal di pinggiran kota, mending ngekos,” ucapnya. 

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda sekata dengan Ferry. Ia bahkan menghitung gaji rata-rata milenial di angka Rp 7 juta, baiknya cicilan per bulan berkisar di sepertiga gaji, yakni dari Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta. Angka ini bisa membeli rumah dengan harga Rp 300 juta.

Namun, dengan nilai rumah Rp 300 juta pasti lokasinya di pinggiran kota. Inilah yang tidak sesuai dengan gengsi kaum milenial di rentang usia 24-39 tahun, menurut Ali. “Apalagi rumah subsidi, mereka pasti enggak mau. Tapi daya beli ada, loh,” katanya.

Pernyataan Ali terkait harga ini sesuai juga dengan data Rumah123. Harga rumah, baik baru dan bekas, semakin murah di pinggiran kota. Data ini juga menunjukkan  Jakarta Utara adalah daerah dengan median harga rumah bekas tertinggi di Jabodetabek:

HARGA PROPERTI STABIL
Ilustrasi properti rumah. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.)

Kiat Cegah Penipuan Properti

Meski anak muda sanggup membel rumah, Ali menyatakan, mereka cenderung masih awam dan belum melek hukum. Asal punya uang dan ingin beli rumah, maka ia bisa langsung ambil rumah. Kadang tergiur dengan harga DP dan cicilan murah.

Untuk itu, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meminimalisir risiko terkena penipuan:

  1. Pastikan pengembang tergabung dalam Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) atau Real Estate Indonesia (REI).
  2. Sebaiknya pilih pengembang yang sudah berbentuk perseroan terbatas atau PT karena akan sulit untuk mengusut kasus bila pengembang masih atas nama perseorangan.
  3. Cek legalitas, mulai dari sertifikat tanah hingga statusnya. 

Ferry menambahkan dua hal lagi yang harus diperhatikan konsumen. Pertama, jangan cari properti dengan harga murah, tapi cari yang harganya masuk akal. Hal ini untuk mencegah kemungkinan rumah gagal dibangun.

Kemudian cek reputasi pengembang. Apakah selama ini ada masalah dari pembangunan properti masing-masing pengembang? Dan apakah pembangunan properti sesuai dengan rencana? 

Harus diperhatikan pula perusahaan induk pengembang bergerak di sektor apa. " Kalau mereka tidak expertise di properti, tidak bisa menjamin produk properti sesuai dengan harapan atau rencana,” kata Ferry.

Reputasi pengembang bukan menjadi jaminan utama. Ada juga developer properti ternama yang tersandung kasus, Meikarta contohnya. Karena itu, , menurut Anton, sebagus-bagusnya nama developer, konsumen tetap harus cari tahu bagaimana kondisi proyek dan perizinannya.

Di sisi lain, Anton menggarisbawahi kewajiban untuk memiliki rumah. Berkaca dari keadaan di Amerika Serikat dan Singapura, hanya ada sedikit orang yang memiliki rumah pribadi sementara lainnya menyewa.

Dari hitungannya, sewa lebih murah daripada membeli properti dan skemanya pun bisa panjang hingga 50 tahun. “Kalau ada apartemen atau rumah sewa di tengah kota, why not? Tapi kalau memang ingin punya rumah, jangan malas untuk cek kondisi lokasi,” kata Anton.

Dalam survei digital Telkomsel, tSurvey.id, mayoritas kaum milenial di tanah air lebih memilih rumah tapak ketimbang apartemen. Tercatat, responden yang memilih rumah tapak di DKI Jakarta sebanyak 93% dari total responden, sedangkan di wilayah Jawa-Bali non-DKI sebanyak 99,4%.

“Bahkan di kota padat penduduk seperti DKI Jakarta, hanya 7% responden yang berencana untuk membeli apartemen,” demikian dikutip dari hasil survei tSurvey,id pada 14 Maret 2023.  Di sisi lain, responden yang memilih tinggal di rumah susun alias rusun hanya 0,6% di wilayah non-DKI.

Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami