Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Reni Astuti, 60 tahun, kini bekerja lepas usai purnatugas. Ia kerap mendapat order untuk menulis soal aviasi di sebuah majalah. "Lumayan dibayarnya per tulisan, bisa nambahin uang pensiun," ucapnya kepada Katadata.co.id, Selasa (8/10). 

Pensiunan perusahaan swasta di Jakarta tersebut mengaku uang pensiun yang ia terima tidak cukup untuk memenuhi kehidupannya sekarang. “Bisa cukup kalau ada kegiatan lain yang menghasilkan uang, walau sedikit,” ujar Reni.

Saat masih aktif bekerja, ia rutin membayar iuran dana pensiun yang dikelola oleh kantornya. Besaran iurannya tergantung gaji, sebagian mendapat subsidi dari kantornya. "Potongan gajinya sedikit. Kami cuma bayar seperempatnya saja," kata Reni. 

Setelah pensiun di usia 57 tahun, ia memilih mengambil hasil iuran tersebut 20% dan sisanya berupa gaji setiap bulan. Apabila meninggal, sisa uang pensiun dapat diberikan kepada ahli waris. 

Reni, yang hidup melajang, kini harus berhemat. Uang pensiun per bulan yang ia terima sekitar 25%-30% dari gajinya yang terakhir. Keinginannya berjalan-jalan di masa purnatugas pun harus ia tahan agar dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Apa yang dialami Reni serupa dengan mayoritas para pensiunan lainnya di Indonesia. Alih-alih menikmati hidup di hari tua, mereka justru mendapat kesulitan karena pemasukan yang minim. 

Pemerintah kini tengah menggodok aturan pensiun baru untuk mengatasi hal tersebut. Manfaat pensiun akan naik, namun konsekuensinya para pekerja harus siap-siap dengan potongan gaji tambahan. 

Qonita, 28 tahun, mengatakan keberatan dengan rencana pemotongan iuran pensiun tambahan. “Ini jelas membebani pekerja, khususnya dengan gaji di kisaran upah minimum regional (UMR). Sekarang saja kami sudah ada potongan dari BPJS Ketenagakarjaan dan BPJS Kesehatan,” kata pekerja swasta di Jakarta itu kepada Katadata.co.id.

Selain dua potongan tersebut, dia juga harus membayar premi asuransi swasta. Dengan begitu, dalam sebulan dia membayar total iuran hingga Rp 300 ribu.

“Kalau pemerintah mau angkat daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. Kebijakan ini tolong jangan diterapkan. Kalau ngotot banget, tolong dibenahi dahulu sistem asuransi dan dana pensiun di Indonesia,“ kata Qonita.

Anita Puspa juga menolak penerapan iuran pensiun tambahan. Ia merasa sudah terbebani banyak potongan iuran, termasuk untuk program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan. "Karena gaji saya akan semakin kecil,” ujar perempuan berusia 30 tahun itu.

Rencana pemerintah tersebut, menurut dia, tidak tepat diberlakukan saat biaya hidup makin mahal. Sebagai nasabah program simpanan berjangka di bank, Anita juga merasa tidak perlu mengikuti tambahan iuran pensiun tersebut. 

Ia percaya diri dengan pilihan investasinya di produk reksadana saham. "Imbal hasilnya sekitar 8% -10% per tahun. Ditambah uang dari program JHT BPJS Ketenagakerjaan, kemungkinan cukup untuk simpanan pensiun,” kata Anita.

Simulasi Perhitungan Dana Pensiun
Simulasi Perhitungan Dana Pensiun (Katadata/Ajeng Ayu Pertiwi)

Alasan Menambah Iuran Pensiun 

Perencana Keuangan Ahmad Gozali berpendapat pemerintah tidak perlu membuat program pensiun tambahan. Para pekerja cukup mengikuti dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) atau dana pensiun pemberi kerja (DPPK), selain BPJS Ketenagakerjaan.

"Jika perusahaan memiliki dana pensiun sendiri, maka karyawan wajib ikut DPPK. Jika perusahaan tidak punya dana pensiun, maka karyawan diwajibkan ikut DPLK secara mandiri ataupun dikoordinir oleh perusahaan," ujarnya.

Menurut pengalamannya, iuran BPJS Ketenagakerjaan hanya memberi sekitar 19 kali gaji untuk para pensiunan. Sedangkan dari DPLK/DPPK berbeda-beda, tapi cukup menjadi tambahan sekitar puluhan kali gaji.

Artinya, pekerja tak bisa mengandalkan BPJS Ketenagakerjaan maupun dana pensiun swasta untuk menyiapkan hari tua. Para pekerja juga harus berinvestasi di instrumen lainnya, seperti emas, properti, atau saham. "Idealnya, kalau mau pensiun itu perlu memiliki dana sampai dengan 200 kali gaji," ujarnya.

Rencana pemerintah menambah potongan gaji karyawan untuk iuran program pensiun tercantum dalam Pasal 189 Ayat 4 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).

Ketentuan ini mengatur pelaksaan program pensiun tambahan yang bersifat wajib bagi pekerja dengan penghasilan tertentu. Program iuran dana pensiun ini merupakan tambahan di luar dari program JHT dan JP BPJS Ketenagakerjaan.

Sejauh ini, para pekerja sudah dibebankan iuran JHT sebesar 5,7% dari upah dengan pembagian 2% ditanggung pekerja dan 3,7% ditanggung perusahaan. Untuk jaminan pensiun, gaji karyawan juga dibeberani iuran wajib sebesar 3% dengan pembagian 1% ditanggung pekerja dan 2% ditanggung perusahaan.

Pelaksanaan program pensiun tambahan ini masih menunggu penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Nantinya, program pensiun ini bakal berbentuk kewajiban pendanaan atas program pensiun yang sudah ada, atau dalam bentuk program yang baru.

Merujuk pada Pasal 189 UU P2SK, program pensiun tambahan ini merupakan bagian dari harmonisasi program pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum.

Lewat UU P2SK, pengelolaan aset dan hutang atau liabilitas progam pensiun adalah seluruh pengelola program pensiun, baik yang bersifat wajib maupun sukarela, di antaranya mencakup badan pemerintah seperti BPJS Ketenagakerjaan, PT Asabri, dan PT Taspen.

Selain itu, pengelolaan program pensiun juga dapat diserahkan kepada institusi DPPK dan DPLK yang kinerjanya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan pekerja harus mengikuti program pensiun tambahan karena dana pensiun yang mereka terima relatif kecil yaitu sekitar 10%-15% dari gaji.

Padahal, replacement rasio atau pendapatan bulanan minimum yang harus dimiliki seseorang pada masa pensiun adalah 40% dari gaji terakhir, sesuai standar Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO). "Ini upaya untuk peningkatan pelindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum," ujar Ogi.

Selama peraturan pemerintah belum diterbitkan, OJK hanya memiliki kapasitas sebagai pengawas lembaga keuangan yang menyelenggarakan program pensiun. "OJK akan menyusun peraturan untuk implementasi program tersebut, setelah terbitnya PP," ujarnya dalam keterangan resmi pada 3 Oktober 2024.

Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila juga menyatakan OJK masih menunggu PP yang mengatur skema dan bentuk program dana pensiun ini.

"Sepertinya akan diatur oleh Kementerian Keuangan untuk penyusunan PP, yang nanti akan ditandatangani oleh presiden," ujarnya pada Rabu lalu.

Namun, Iwan masih irit bicara terkait skema program pensiun ini. Implementasinya akan mempertimbangkan banyak hal dan bertujuan agar pekerja bisa merencanakan pensiun dengan lebih baik.

Pemerintah juga berkepentingan membenahi sistem dana pensiun karena Indonesia akan segera memasuki populasi tua pada 2045. Struktur demografi akan bergeser. Jumlah penduduk nonproduktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun) naik secara substansial.

Penduduk yang menua akan menjadi beban negara apabila tidak dipersiapkan dengan baik. Melansir riset Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Kementerian Keuangan pada 2022, rasio orang tua di negara ini dalam 21 tahun ke depan akan mencapai 14,3% terhadap populasi. 

Rasio ketergantungan atau dependency ratio juga akan naik sampai kisaran 54% pada 2050. Angka ini serupa dengan kondisi Eropa saat ini. Rasionya akan terus meningkat pada 2100 menjadi 72%. "Situasi akan berdampak buruk pada sistem pensiun pada seluruh skema pendanaan," tulis riset tersebut. 

Di sisi lain, jumlah dana pensiun di Indonesia baru sekitar 6,88% dari produk domestik bruto atau PDB. Malaysia sudah lebih dari 60%. Negara maju, seperti Belanda, Swiss, Kanada, dan Australia, angkanya di atas 100% dari PDB. 

Dari sisi kepesertaan, pada 2021 hanya sekitar 40% pekerja formal Tanah Air yang menjadi peserta pensiun dan hampir tidak ada pekerja informal yang menjadi peserta. Padahal, struktur pekerja di negara ini lebih dari 60% adalah pekerja informal. 

Dibandingkan negara lain, Indonesia berada di posisi 41 untuk skor sistem pensiun global versi Mercer CFA Institute Global Pension Index. Posisi puncak adalah Belanda karena memiliki keragaman sumber pendanaan, keakuratan pengukuran biaya, keadilan distribusi, dan pengawasan yang ketat dalam sistem pensiunnya. 

Respon Pengusaha

Wakil Kepala Badan Moneter Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Aviliani berharap program pensiun ini tidak memberatkan para pengusaha karena kondisi bisnis sedang sulit. "Dari sisi permintaan turun, tapi biaya enggak turun-turun. Jangan sampai beban-beban yang sudah ada akan menambah beban baru," ujar Aviliani pada Rabu lalu.

Pemerintah terus berkoordinasi dengan Kadin terkait penentuan iuran pensiun tambahan yang saat ini masih dibahas. "Lagi dikaji, lagi dihitung (porsi iurannya)," katanya.

Staf Ahli Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Muljadi mendukung program pensiun tambahan itu. Ia berharap penentuan iurannya akan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemberi kerja dan pekerja. "Serta kemampuan keuangan kedua belah pihak," ujarnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Syarif Yunus mengusulkan agar penerapan iuran pensiun tambahan dapat dilakukan secara bertahap. "Agar tidak memberatkan semua pihak, terutama bagi pemberi kerja dan pekerja," kata Syarif kepada Katadata.co.id, Selasa lalu.

Dengan program iuran pensiun tambahan, dia berharap pendapatan penduduk Indonesia pada masa pensiun menjadi 40% dari gaji terakhir, sesuai rekomendasi ILO. "Jadi spirit-nya untuk menyiapkan masa pensiun orang Indonesia yang lebih layak dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya," ujar Syarif.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani pada 11 September 2024 menyatakan, Apindo menolak iuran pensiun pekerja yang menambah potongan pendapatan perusahaan. "Prinsipnya yang sifatnya menambah potongan pasti akan kami tolak dalam situasi ekonomi seperti sekarang," ujar Franky.

Peluncuran Peta Jalan Dana Pensiun 2024 - 2028
Peluncuran Peta Jalan Dana Pensiun 2024 - 2028 (Dok. OJK)

Preseden Buruk Dana Pensiun 

Di tengah wacara iuran pensiun tambahan, keberadaan dana pensiun bermasalah membuat waswas. OJK mencatat, terdapat 15 dapen yang masuk dalam pengawasan khusus hingga 20 September 2024.

Jauh sebelum itu, Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan 48 dapen yang dikelola BUMN, sebanyak 70% dalam keadaan sakit dan 34% dinyatakan tidak sehat.

Erick bahkan telah menyerahkan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti dua dana pensiun BUMN yang bermasalah dan terindikasi fraud pada Februari 2024.

Belum lagi, persoalan investasi yang terjadi pada dapen BUMN seperti di Asabri, Tapen, dan Jiwasrya. Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berpendapat, rencana pemerintah membuat iuran dana pensiun tambahan tidak tepat dan hanya membuat masalah baru.

Dari sisi regulasi, UU PPSK yang dibentuk dengan metode omnibus itu tak banyak mewadahi aspirasi dari para serikat pekerja maupun serikat buruh (SP/SB). Selain itu, dalam undang-undang itu tertulis dana pensiun yang dikelola DPPK/DPLK bersifat sukarela. Layananya dapat diatur pemberi kerja dan/atau pekerja. 

"Seakan pemerintah saja yang punya kuasa penuh dan mutlak untuk mengatur rakyatnya. Dari sisi formil, UU P2SK dan PP nantinya sudah cacat formil,” kata Timboel.

Dana pensiun tambahan bersifat wajib ini juga dikhawatirkan bakal mengalami gagal investasi seperti kasus sebelumnya. Perusahaan pengelola dana pensiun melalui DPPK/DPLK tidak dijamin oleh negara, tidak seperti program JHT atau JP BPJS Ketenagakerjaan.

"Kita seakan dipaksa membeli DPLK swasta, tapi di satu sisi siapa yang menjamin? Ini persoalan kepastian dana kita, sementara orientasi perusahaan profit dan bisa jor-joran beli saham burem," ujarnya.

Di sisi lain, literasi asuransi masyarakat Indonesia masih rendah, yani 31,72% pada 2022. Hal ini menunjukkan adanya ketidaktahuan masyarakat soal investasi, tapi mereka dipaksa menaruh uangnya dan tidak mengetahui siapa pengelolanya.

Jika kebijakan ini tetap diberlakukan, Timboel khawatir bakal muncul kasus serupa seperti Asabri, Taspen, dan Jiwasraya. Dia pun mempertanyakan tanggung jawab OJK sebagai pengawas asuransi dan dana pensiun. "Ini investasi pada buntung, OJK ke mana?  Ketika masyarakat menaruh uangnya dan bermasalah, OJK enggak bisa apa-apa," ujarnya.

Timboel melihat ada maksud lain di balik rencana program dana pensiun tambahan tersebut. Kemungkinan besar alokasi dana ini akan masuk ke dalam surat berharga negara, sama seperti investasi BPJS Ketenagakerjaan yang minimal 50% masuk dalam instrumen tersebut. 

Hal itu dapat menjadi strategi pemerintah untuk menutup defisit anggaran pendapatan negara dan belanja negara.  "Ini strategi pemerintah mengumpulkan dana-dana lokal secara gotong-royong. Kesannya tidak memaksakan," ujarnya.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga melihat ada indikasi iuran tersebut akan digunakan untuk menutup defisit APBN karena penghimpunan dana pensiun lebih banyak ke SBN. Apalagi, utang jatuh tempo pemerintah mencapai sekitar Rp 800 triliun pada 2025.

Belum lagi, bunga utang yang harus dibayar pemerintah juga mencapai sekitar Rp 550 triliun. Setidaknya, negara butuh Rp 1.350 triliun untuk membayar bunga utang.

Jumlah tersebut tidak bisa ditutup oleh pajak sehingga memerlukan penerbitan SBN yang lebih agresif. “Dana pensiun ini bisa menutup celah kebutuhan pembiayaan program pemerintah,” kata Bhima.

Untuk itu, masyarakat wajib mempertanyakan secara detil soal rencana iuran apapun yang diinisiasi dari pemerintah. Apalagi, banyak model penghimpunan dana yang berujung fraud dan gagal bayar.

Reporter: Rahayu Subekti
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami