Keluarga Bakrie mencuri perhatian publik setelah Anindya Bakrie merebut kursi ketua umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia dari Arsjad Rasjid lewat Musyawarah Nasional Luar Biasa atau Munaslub pada 14 September 2024. Manuver yang menyebabkan terbelahnya organisasi pengusaha terbesar di Indonesia tersebut diklaim telah berakhir damai.
Dalam pertemuan yang ditengahi Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia pada 27 September, Anin – sapaan akrab putra sulung Aburizal Bakrie – dan Arsjad menyepakati jalan keluar. Usai keduanya mengunggah foto pertemuan di media sosial, Arsjad menyatakan “Hanya ada satu Kadin” dan urusan kepemimpinan dijalankan sesuai aturan. Sebelumnya, kubu Arsjad bersikeras Munaslub melanggar aturan dan berniat menempuh jalur hukum.
Di sisi lain, Anin tetap vokal menyebut hasil Munaslub final karena pelaksanaannya sesuai aturan. Lalu, di mana jalan damai-nya? Anin menawarkan tukar guling posisi kepada Arsjad. “Sekarang, karena saya sudah diberikan amanat, 14 September jadi ketua umum, saya sangat terbuka apabila Pak Arsjad mendampingi saya tentunya di Dewan Pertimbangan,” kata dia, usai menghadiri Dialog Kebangsaan IKA Unpad, di Jakarta, Sabtu, 28 September.
Ini artinya, Anin menginginkan penyelesaian yang persis sama seperti kejadian tiga tahun lalu. Dalam Munas Kadin Juni 2021, Anin dan Arsjad berduel memperebutkan posisi ketua umum. Namun, lewat musyawarah, Arsjad akhirnya mendapatkan kursi Ketua Umum untuk periode 2021-2026, sedangkan Anin mendampinginya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan.
Rencananya, Kadin akan menggelar Munas “lagi” usai pelantikan presiden terpilih Prabowo Subianto. Artinya, Munas dipercepat dari jadwal Juni 2026. Berdasarkan informasi yang diterima Katadata.co.id, dalam Munas itu-lah nantinya disahkan tukar guling kepemimpinan tersebut.
Pertanyaannya, apakah kursi ketua umum Kadin memang sangat strategis sehingga layak diperebutkan sedemikian “ribut”? Kadin adalah satu-satunya induk dari organisasi pengusaha di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 bahkan menetapkan Kadin sebagai wadah seluruh pengusaha Indonesia yang bergabung maupun tidak bergabung dengan organisasi pengusaha. Kadin memegang mandat untuk mewadahi komunikasi dan konsultasi antarpengusaha dan antara pengusaha dengan pemerintah.
Bagi keluarga Bakrie, Kadin bukan “barang” baru. Aburizal Bakrie alias Ical, Ayah Anin, pernah sepuluh tahun menjabat ketua umum Kadin pada periode 1993 sampai 2003. Ini adalah periode dimana bisnis grup Bakrie diterjang gelombang hebat: grup yang tengah agresif ekspansi ke berbagai bidang lalu dihantam krisis ekonomi 1998 yang menyebabkan gelembung utang dan hilangnya penguasaan saham di perusahaan-perusahaan utamanya. Di era 2001-2003, keluarga Bakrie menapaki upaya pengembalian kejayaan dengan mengakuisisi perusahaan pemegang konsesi tambang batu bara besar Kaltim Prima Coal dan Arutmin.
Dengan pengalaman itu, Ical bisa jadi paling paham keistimewaan posisi ketua umum Kadin sehingga layak diperjuangkan oleh penerusnya: Anin. Jika melihat karier Ical, posisi ketua umum Kadin jadi langkah awal sebelum ia terjun ke dunia politik hingga sempat berjaya sebagai Ketua Umum Golkar. Apakah Anin akan menempuh jalur yang sama? Waktu yang akan menjawab. Yang jelas, tak bisa dipungkiri, masuknya Ical ke politik dan pemerintahan menjadi katalis bagi bisnis Grup Bakrie hingga dijuluki “kucing dengan tujuh nyawa” karena tahan melewati krisis demi krisis.
Grup Bakrie Si “Kucing dengan Tujuh Nyawa” pada Masa Kejayaan Politik Ical
Pengamat Pasar Modal Teguh Hidayat mengingat setidaknya di era 2005 sampai 2012 – masa Ical terjun ke dunia politik, masuk pemerintahan, hingga jadi ketua umum Golkar – harga saham emiten-emiten Grup Bakrie naik kencang. “Perusahaannya juga bisa melakukan penggalangan dana, IPO, rights issue,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat, 4 Oktober. Namun, setelah Ical lengser dari kursi ketua umum Golkar, harga saham-saham itu ikutan “lengser” karena fundamental bisnis yang tak kuat.
Karier Ical di politik dimulai pada era awal 2000-an seiring dengan upaya keluarga Bakrie membalikkan kejayaan bisnisnya. Pada 2004, Ical mengikuti konvensi Partai Golkar untuk menjadi calon Presiden, namun gagal. Ia kemudian menjabat sebagai anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar 2004-2009.
Di periode ini, di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ical memeroleh jabatan Menteri Koordinator Perekonomian pada 2004, sebelum bergeser menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat pada 2005 hingga 2009. Pada 2009, Ical terpilih sebagai Ketua Umum Golkar.
Saat Ical terjun ke politik, Grup Bakrie dipegang adiknya Nirwan Bakrie dan Anin. Sepanjang era 2000-an ini, Grup Bakrie banyak melakukan aksi korporasi besar. Pada 2001, Perusahaan tambang Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) mengambil alih 80 persen saham Arutmin dari tangan perusahaan tambang Australia BHP Biliton seharga US$ 148 juta.
Dua tahun berikutnya, pada 2003, BUMI mengakuisisi Kaltim Prima Coal dari tangan Beyond Petroleum (BP) dan Rio Tinto seharga US$ 500 juta. Arutmin dan Kaltim Prima Coal adalah dua perusahaan tambang pemegang cadangan batu bara besar di Indonesia. Dalam beberapa wawancara, Ical pernah menyebut akuisisi-akuisisi ini didanai utang, karena keluarga bangkrut imbas krisis 1998.
Di sisi lain, perusahaan migas Grup Bakrie, PT Energi Mega Persada, menguasai tiga Kontrak Kerja Sama (KKS), yakni KKS Selat Malaka, KKS Brantas (Lapindo), dan KKS Kangean. Energi Mega Persada kemudian melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2004. Seperti disinggung Teguh, perusahaan-perusahaan Bakrie sukses menggalang dana lewat penjualan saham perdana (IPO) maupun penerbitan saham baru (rights issue) pada era 2004 ke atas.
Pada 2006, keluarga Bakrie jadi sorotan publik setelah terjadi semburan lumpur panas di area pengeboran migas Lapindo Brantas yang seluruh sahamnya dimiliki Energi Mega Persada (ENRG). Peristiwa itu kemudian ditetapkan sebagai bencana nasional sehingga negara kebagian tanggung jawab untuk mengganti kerugian warga.
Namun, 2006 tidak sepenuhnya tahun buruk buat bisnis Bakrie. Harga saham BUMI menanjak karena naiknya harga batu bara. Untuk pertama kalinya, Ical dinobatkan sebagai orang terkaya nomor 1 di Indonesia oleh Forbes, menggeser bos kelapa sawit Sukanto Tanoto. Predikat ini tetap disandang Ical pada 2007.
Pada 2008, Grup Bakrie melalui PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) menggelontorkan Rp 48,4 triliun dari utang untuk membeli saham perusahaan-perusahaan potensialnya – BUMI, ENRG, dan PT Bakrieland Development (ELTY) – dan kembali ke posisi pemegang saham pengendali. Aksi korporasi ini membuat harga saham emiten-emiten ini semakin menanjak. Apalagi ketika itu, harga batu bara juga masih tinggi.
Namun tiba-tiba, badai datang di September 2008. Krisis finansial pecah dipicu macetnya pembayaran perumahan di Amerika Serikat. Bursa saham dunia, termasuk Indonesia dilanda aksi jual. Saham BUMI amblas dari kisaran Rp 8.000 selembar menjadi hanya Rp 400-an selembar. Tekanan harga saham juga dialami emiten Grup Bakrie lainnya.
Ketika itu, bocor informasi soal adanya intervensi dari “pemerintah” diduga Ical untuk menghentikan perdagangan di Bursa Efek Indonesia saat harga saham Bakrie berguguran. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai salah satu pemicu awal menegangnya hubungan Ical dengan Menteri Keuangan ketika itu Sri Mulyani Indrawati. Pasca-badai itu, Grup Bakrie masuk lagi dalam masa restrukturisasi utang besar.
Kekuatan Bakrie di perpolitikan dan pemerintahan meredup setelah kisruh di internal Golkar yang berujung pada lengsernya Ical dari kursi kepemimpinan pada 2016. Sebelum itu, pada Pilpres 2014, Ical gagal jadi calon presiden yang diusung Golkar. Partai pohon beringin berujung mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa yang kemudian kalah dari pesaingnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Bersamaan dengan itu-lah, harga saham emiten-emiten grup Bakrie “lengser”.
Grup Bakrie Masih Terjerat Utang. Manuver Anin Bakal Berpengaruh?
Masalah utang masih melilit pinggang Grup Bakrie. Sepanjang tahun ini, setidaknya ada dua informasi publik yang terkait dengan upaya penyelesaian utang emiten Grup Bakrie.
Pada Januari lalu, empat perusahaan media milik keluarga Bakrie yaitu PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), PT Intermedia Capital Tbk (MDIA), PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV), dan PT Lativi Mediakarya (tvOne) digugat ke pengadilan niaga. Sebanyak 12 kreditur asing menagih utang sebesar Rp 8,79 triliun kepada keempat perusahaan tersebut. Saat ini, keempat perusahaan dalam status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang menandai fase negosiasi skema restrukturisasi utang dengan para kreditur.
Negosiasi belum berhasil tercapai dan pengadilan memberi perpanjangan waktu negosiasi pada September lalu. “Para termohon PKPU menghormati putusan tersebut dan secara intensif akan mencari solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak di tengah-tengah industri media yang saat ini penuh tantangan namun memiliki berbagai potensi pertumbuhan di masa depan,” kata Direktur PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) Neil Tobing dalam keterangan tertulis pada Rabu, 25 September 2024.
Pada Agustus lalu, PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), induk bisnis infrastruktur dan manufaktur Grup Bakrie, juga tercatat menjual 2,23 persen sahamnya di PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk (VKTR) untuk membayar utang. ”Tujuan perseroan menjual saham adalah untuk penyelesaian utang kepada kreditur yang tidak terafiliasi dengan perseroan yaitu PT Tambara Tama Mandiri,” kata Christofer A. Uktoleseja, dalam keterangan tertulis.
Mengacu pada laporan keuangan 2023 pada 13 emiten Grup Bakrie, kinerja keuangan positif kebanyakan dicatatkan emiten bidang pertambangan minerba dan migas, sedangkan emiten sektor lain menghadapi problem keuangan pelik. Terdapat lima emiten merugi, tiga di antaranya mengalami kekurangan alias defisiensi modal triliunan rupiah. Selain itu, ketiganya mencatatkan rasio likuiditas rendah dimana aset lancar -- seperti kas dan surat berharga yang dapat jual sewaktu-waktu -- tak mampu membiayai kewajiban jangka pendeknya.
Kondisi Keuangan Emiten Grup Bakrie per 2023
Emiten Grup Bakrie | Laba/Rugi | Liabilitas | Modal | Rasio Utang Terhadap Modal (Debt to Equity Ratio) | Aset Lancar | Liabilitas Jangka Pendek | Rasio Likuiditas (Curent Ratio) |
1. PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) | Rp 237,47 Miliar | Rp 4,44 Triliun | Rp 2,67 Triliun | 1,7x | Rp 3,94 Triliun | Rp 3,96 Triliun | 1x |
2. PT Bumi Resources Tbk (BUMI) | USD 10,92 Juta | USD 1,43 Miliar | USD 2,77 Miliar | 0.5x | Rp 704,72 Juta | Rp 848,17 Juta | 0,8x |
3. PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) | USD 13,92 Juta | USD 135,52 Juta | USD 969,35 Juta | 0.1x | USD 145,83 Juta | USD 84,39 Juta | 1,7x |
4. PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) | USD 68,44 Juta | USD 783,65 | USD 585,12 | 1.3x | USD 242,37 Juta | USD 363,54 Juta | 0,7x |
5. PT Darma Henwa Tbk (DEWA) | Rp 35,29 Miliar | Rp 4,85 Triliun | Rp 3,29 Triliun | 1.5x | Rp 2,91 Triliun | Rp 4,19 Triliun | 0,7x |
6. PT Visa Media Asia (VIVA)* | (Rp 879,85 Miliar) | Rp 11,55 Triliun | (Rp 2,47 Triliun) | Defisiensi Modal | Rp 4,15 Triliun | Rp 11,29 Triliun | 0,4x |
7. PT Intermedia Capital Tbk (MDIA)* | (Rp 61,75 Miliar) | Rp 5,52 Triliun | Rp 2,88 Triliun | 1.9x | Rp 7,47 Triliun | Rp 5,44 Triliun | 1,4x |
8. PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP) | Rp 62,69 Miliar | Rp 10,49 Triliun | (Rp 5,93 Triliun) | Defisiensi Modal | Rp 781,55 Miliar | Rp 7,69 Triliun | 0,1x |
9. PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) | (Rp 1,08 Triliun) | Rp 2,51 Triliun | Rp 6,13 Triliun | 0.4x | Rp 2,43 Triliun | Rp 2 Triliun | 1,2x |
10. PT Graha Andrasentra Propertindo Tbk (JGLE) / anak usaha ELTY | (Rp 41,54 Miliar) | Rp 482,45 Miliar | Rp 1,14 Triliun | 0.4x | Rp 987,68 Miliar | Rp 272,75 Triliun | 3,6x |
11. PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) | (Rp 73,66 Miliar) | Rp 5,99 Triliun | (Rp 5,95 Triliun) | Defisiensi Modal | Rp 17,35 Miliar | Rp 981,62 Miliar | 0,01x |
12. PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk (VKTR) | Rp 5,43 Miliar | Rp 520,5 Miliar | Rp 1,15 Triliun | 0,4x | Rp 1,03 Triliun | Rp 208,87 Miliar | 4,9x |
13. PT Ancara Logistics Indonesia Tbk (ALII) | Rp 1,05 Trilliun | Rp 6,28 Triliun | Rp 22,57 Triliun | 0,3x | Rp 7,11 Triliun | Rp 3,88 Triliun | 1,8x |
Keterangan:
Current Ratio < 1x artinya aset lancar tak mampu menutup kewajiban/liabilitas jangka pendek.
Debt to Equity Ratio < 1x artinya modal cukup untuk menutup total kewajiban/liabilitas.
Sumber: Laporan Keuangan Publikasi (Diolah) *Laporan Keuangan September 2023
Seiring manuver Anin di Kadin, serta ramainya dukungan pejabat partai atas kepemimpinannya, harga saham emiten-emiten Grup Bakrie menanjak. Namun, Teguh mengingatkan adalah “biasa” naiknya harga saham mereka yang punya kekuatan politik atau menunjukkan kedekatan dengan penguasa. Ini seperti terjadi pada saham perusahaan milik Prayogo Pangestu (Grup Barito Pacific) dan Aguan (Grup Agung Sedayu). “Digoreng-goreng saja, tapi kan tidak ada yang menegur,” ujarnya.
Dalam periode dua pekan dari 12 September atau sehari sebelum beredar informasi Munaslub Kadin hingga 2 Oktober lalu, setengah dari 13 emiten Grup Bakrie mengalami lompatan harga saham. Lompatan harga tertinggi terjadi pada saham BRMS yang naik 71,79 persen menjadi Rp 268 selembar, tertinggi sejak Juni 2022; disusul BUMI 46,81 persen ke Rp 138 selembar, tertinggi sejak September 2023; lalu VKTR 19,84 persen ke Rp 151 selembar ke level tertinggi sejak Maret 2024; dan ENRG 19 persen ke Rp 238 per selembar, tertinggi sejak April 2024.
Teguh ragu posisi ketua umum Kadin cukup kuat sehingga bisa mendorong bisnis Grup Bakrie ke depan. Apalagi, keluarga presiden terpilih Prabowo Subianto adalah keluarga pengusaha dan memiliki lingkaran pengusaha sendiri. Namun, rumor beredar, Grup Bakrie baru mendapat pinjaman bank dengan bunga pasar. Ada juga peluang media di bawah Grup Bakrie jadi mitra pemerintahan mendatang.
Manfaat posisi ketua umum Kadin untuk Grup Bakrie memang masih tanda tanya. Sementara ini, manuver di Kadin bisa dimaknai dulu sebagai upaya keluarga Bakrie menapaki jalan kembali setelah lebih dari satu dekade kehilangan “panggung” di dunia politik dan pemerintahan.