Bukan hanya unggul di sisi popularitas, Yan menilai tim Ganjar mampu mendongkrak favorabilitas lelaki berambut putih itu. Bila sekilas mencari konten Anies Baswedan di TikTok, mayoritas unggahan dari pengguna TikTok bernada negatif, beda dengan Ganjar dan Prabowo.

Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, elektabilitas Prabowo unggul daripada dua lawannya. Para pemilih Prabowo didominasi oleh kelompok usia usia 17-26 alias Gen Z.

Tercatat, rerata elektabilitas Prabowo sebesar 24,5%, disusul oleh Ganjar sebesar 22,8%, dan Anies Baswedan 13,6%.

Gen Z menyumbang sebagian besar elektabilitas Menteri Pertahanan tersebut. Dukungan dari generasi tersebut menguntungkan bagi Prabowo yang cenderung belum cukup menarik simpati dari generasi lainnya, khususnya generasi baby boomers.

Polesan Para Capres di Media Sosial

Dominique Nicky Fahrizal dari Centre of Strategic and International Studies (CSIS) melihat tiga calon presiden sudah menemukan niche terkait arah konten di Instagram. Ganjar Pranowo kerap memposisikan diri sebagai pemimpin yang merakyat.

Pilihan tersebut untuk menyatukan visi dari partai pengusungnya, PDIP, yang dekat dengan wong cilik. Anies Baswedan lebih menunjukkan diri ingin naik tingkat, dari seorang gubernur menjadi calon presiden. 

“Untuk pesan politik, lebih banyak disampaikan oleh Anies. Sayangnya, konten Anies benar-benar campursari, seperti menghadiri sarasehan, pertemuan kader, acara kebudayaan, bahkan kegiatan pribadi,” kata Nicky melalui sambungan pada Rabu pekan lalu.

Hal berbeda ia lihat ada di Instagram Prabowo Subianto. Pengelolaannya jauh lebih baik. Pengambilan fotonya dilakukan dengan baik, dikurasi, lengkap dengan takarir alias caption yang menginspirasi. Bahkan ada perubahan dalam strategi media sosial Prabowo dibanding Pemilu 2019.

Nicky menyebut, Prabowo pada pilpres sebelumnya mengenalkan diri di media sosial sebagai seorang pemimpin tegas. Pilihan tersebut menyesuaikan latar belakangnya sebagai anggota militer. Tahun ini, ia muncul sebagai seorang bapak dan senior yang memberi inspirasi bagi generasi lebih muda alias juniornya.

Konten-konten di akun calon presiden tidak akan serta-merta mengatrol elektabilitas mereka, menurut Nicky. Tujuan pemakain media sosial adalah untuk meningkatkan popularitas tokoh dan tingkat penerimaan mereka di masyarakat. Saat masa kampanye, baru elektabilitas bisa bergantung kuat pada media sosial.

“Tapi pemilih bukan sekadar yang rasional dan kritis, ada juga yang emosional dan sentimentil. Golongan inilah yang cenderung memilih soal estetika konten,” kata Nicky. “Kalau yang rasional dan kritis akan benar-benar meneliti lebih dalam dan membandingkan masing-masing tokoh.”

Prabowo vs Ganjar vs Anies
Prabowo vs Ganjar vs Anies (Katadata)

Bagaimana Cara Pemilih Tetap Rasional?

Nicky menyarankan pemilih untuk membandingkan calon presiden dari kiprah mereka selama menjadi pemimpin. Ganjar saat menjadi gubernur Jawa Tengah, Anies saat menjadi gubernur DKI Jakarta, dan Prabowo saat menjadi menteri pertahanan. Karena Ganjar dan Anies pernah menjadi kepala daerah,  pemilih dapat melihat bagaimana cara kepemimpinan mereka. 

Sedangkan Prabowo dapai dinilai dari bagaimana ia mampu meneruskan capaian-capaian yang tinggi dari Jokowi. “Apakah dia pemain individual yang punya program sendiri atau pemain tim yang mau mensukseskan visi presiden?” kata Nicky.

Pandangan berbeda disampaikan Ujang Komarudin. Ia menyebut ketiga calon presiden memang memiliki ‘sejarah kelam’ masing-masing,. Karena itu, media sosial hadir menjdai tempat memoles citra sekaligus meminimalisir persoalan para kandidat masa lalu. 

“Jadi kalau melihat apakah pertimbangan sejarah politik masih harus jadi pertimbangan? Saya sih lihatnya ambil sisi positif saja,” katanya. “Soalnya politik itu bakal ada banyak tuduhan-tuduhan. Semua kesalahan dicari-cari, padahal belum tentu terbukti dalam persidangan.”

Di tengah ramainya konten media sosial masing-masing capres, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago berpendapat masih ada kekurangan besar. Konsumen konten tertinggi sekarang adalah anak muda, maka politikus harus menyesuaikan konten dengan selera penonton ini. 

Arifki mengatakan anak muda cenderung tidak memperhatikan sejarah dan literasi politik. Tak heran, para calon presiden jarang menggaungkan isu-isu penting yang harusnya menjadi fokus utama mereka. 

“Makanya ketika capres membuat konten, value-nya berbeda. Di 2024 nanti, apakah kita akan ikut dengan narasi tersebut atau memilih capres yang dibutuhkan Indonesia? Apakah memang mereka terpilih sesuai dengan isu yang menjadi perhatian publik?” kata Arifki. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement