• Banyak masalah muncul pada pekan pertama pengoperasian LRT Jabodebek.
  • Kurangnya waktu uji coba disebut menjadi biang kerok masalah. 
  • Letak stasiun cenderung tidak disesuaikan dengan lokasi pemukiman penduduk. 

Dzulfiqar Fathur Rahman pulang lebih malam dari kantornya pada Rabu lalu (30/8). Dengan cepat ia pesan ojek daring ke Stasiun LRT Kuningan, takut tidak sempat menaiki kereta terakhir.

Betapa terkejutnya ia saat melihat papan jadwal kereta yang tidak menunjukkan perkiraan waktu kedatangan. “Gue enggak tahu kenapa, mungkin karena kereta terakhir,” katanya kepada Katadata.co.id, “Tapi tetap kocak, sih.”

Kereta yang ia tumpangi malam itu cukup padat sehingga lelaki 27 tahun ini terpaksa berdiri. Ia melihat kereta Lintas Rel Terpadu alias LRT tidak dirancang agar seluruh penumpang bisa duduk, sebab bangku yang disediakan hanya sedikit.

Sekitar setengah jam perjalanan, ia sampai di tujuan akhirnya, Stasiun Cikunir 1. Ia lalu melanjutkan perjalanan ke rumah dengan kendaraan pribadi. 

LRT diresmikan, Dzulfiqar pun punya rutinitas baru. Sebelumnya, pegawai swasta tersebut menggunakan kereta rel listrik menuju Stasiun Sudirman dan melanjutkan perjalanan dengan Moda Raya Terpadu atau MRT hingga Stasiun Bendungan Hilir. Ia kini lebih memilih perjalanan dengan LRT dibanding gabungan KRL dan MRT. 

Pertama, waktu perjalanan dengan LRT lebih singkat, hanya 30 menit. Dengan KRL, ia harus menunggu lebih lama, bahkan tidak bisa diprediksi kapan kereta akan datang. Belum lagi ia harus transit di Stasiun Sudirman untuk pindah moda ke MRT. 

Alasan kedua adalah kenyamanan. Ia tidak menafikan bahwa LRT cukup padat penumpang dalam pada pekan perdananya. Namun,  jumlahnya tidak sepadat penumpang KRL.

Meski demikian, kenyamanan dan waktu perjalanan ini setara dengan kocek yang harus Dzulfiqar rogoh. Berdasarkan perhitungannya, ongkos menggunakan LRT bisa lebih mahal tiga kali lipat dibanding KRL dan MRT. 

“Tapi gue bakal tetap pakai LRT, ini paling worth it. KRL memang murah, tapi kenyamanan kurang. Mungkin sekarang LRT ramai karena harganya masih rata Rp 5.000,” kata Dzulfiqar. 

Pembangunan Lama, Asal Selamat?

Proyek Lintas Raya Terpadu Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi alias LRT Jabodebek mulai dibangun pada 2015. Target awal operasional pada 2019 terus molor, hingga akhirnya pada 28 Agustus 2023 kereta yang diproduksi PT Industri Kereta Api alias INKA ini mulai beroperasi.

Sayangnya, meskipun operasionalnya sudah lewat dari target, penumpang LRT tetap menemukan banyak masalah. Selasa lalu, misalnya, jadwal LRT Jabodebek mengalami keterlambatan. Manager Public Relations LRT Jabodebek, Kuswardoyo, meminta maaf atas kelalaian itu. 

Tiga keluhan muncul pada keesokan harinya. Satu rangkaian LRT Jabodebek terhenti di Stasiun Cikunir 1 perkara pintu kereta.

Kuswardoyo mengatakan, pintu kereta yang berfungsi secara otomatis mengalami gangguan buka-tutup. “Maka otomatis kereta tidak akan bisa beroperasi, karena semuanya sudah diatur by sistem,” ujarnya. 

Kemudian, rangkaian LRT Jabodebek yang bertolak dari arah Bekasi menuju Dukuh Atas mendadak berhenti di Stasiun Halim. Listrik dalam kereta pun padam hingga AC ikut mati.

Kuswardoyo mengonfirmasi kejadian ini dan menjelaskan penyebabnya adalah pembangkit listrik di Halim yang mati. “Jadi dia down, otomatis pelayanan kereta tidak bisa berjalan,” katanya. “Tapi enggak begitu lama, setelah itu hidup lagi dan beroperasi normal.”

Di hari yang sama, rem salah satu rangkaian LRT terganggu saat melewati Stasiun Ciliwung-Cawang hingga mengeluarkan asap. Penumpang kemudian diturunkan di Stasiun Cawang untuk menunggu kereta berikutnya.

Jelang akhir pekan, Jumat (1/9), pintu LRT Jabodebek yang sudah sampai di Stasiun Pancoran tidak terbuka hingga 10 menit lebih.

INKA selaku produsen kereta LRT telah memohon maaf terkait masalah pintu yang kerap terjadi. Senior Manajer Humas dan Kantor Perwakilan INKA, Agung Dwi Cahyono, bilang pihaknya bakal berkonsentrasi menyelesaikan masalah ini.

“Sebelumnya kami sampaikan juga permohonan maaf sudah membuat kegaduhan dan ketidaknyamanan. Kami berkomitmen memberi yang terbaik bagi pengguna LRT,” kata Agung kemarin.

Selain masalah tersebut, penumpang kerap mempermasalahkan pintu keluar-masuk kereta yang cukup rendah. Penumpang dengan tinggi 180 centimeter  terpaksa menunduk saat melewati pintu LRT.

Kuswardojo menyebut, pintu kereta sudah disesuaikan oleh INKA dengan tinggi badan rata-rata masyarakat Indonesia, yakni 160 cm.

Namun, INKA kemudian membantah klaim Kuswardojo. Menurut dia, pintu kereta punya ketinggian 175 cm, bukan 160 cm. 

Presiden Jokowi dan Ibu Iriana Bersama Para Menteri dan Ibu OASE KIM Menggunakan LRT
Presiden Jokowi dan Ibu Iriana Menggunakan LRT Jabodebek (Agus Suparto)

Masalah Teknis Muncul Karena Kurang Uji Coba 

Keluhan penumpang LRT ini telah sampai ke telinga Kepala Negara. Presiden Joko Widodo mengimbau agar masyarakat tidak merundung pengoperasian kereta api ringan itu. Operator LRT masih dalam tahap pembelajaran karena dioperasikan di pusat kontrol tanpa awak. 

“Ada kekurangan itu akan kami evaluasi. Pengoperasian Shinkansen atau kereta cepat Jepang langsung bagus? Itu bertahun-tahun. Jangan merundung produk kita sendiri,” kata Jokowi dari saluran resmi Sekretariat Presiden kemarin.

Di sisi lain, Jokowi mengakui ada kesalahan desain dalam konstruksi LRT. Ia memahami kesalahan itu karena LRT baru beroperasi pertama kali di Tanah Air.

Walau begitu, eks Gubernur DKI Jakarta meminta masyarakat tetap menggunakan LRT sebagai moda transportasi ke Ibu Kota. “Kalau setiap ada kekurangan langsung dirundung, orang enggak akan berani mencoba membuat sesuatu,” katanya.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement