Melihat Kembali Arah Transisi Energi Indonesia

Hadi Priyanto
Oleh Hadi Priyanto
31 Oktober 2023, 11:00
Hadi Priyanto
Katadata/ Bintan Insani

Biasanya terlihat orang-orang duduk bersila sambil merokok dan bersenda gurau saban sore di Setu Asih Pulo, Depok, Jawa Barat. Tetapi tidak pada Rabu sore, 10 Oktober lalu, saat saya singgah di sana. Danau itu tidak lagi punya ruang untuk ikan-ikan berenang dan berkembang biak. Permukaan airnya surut, hanya tanah retak yang terlihat dikelilingi rumput liar. 

Tak hanya Setu Asih Pulo, banyak danau, situ maupun empang yang biasa dijadikan tempat wisata atau pemancingan warga Depok saat ini mengalami kekeringan. El Niño tahun ini memang tidak main-main. 

Jika banyak tempat penampungan air yang kering begitu, ancaman selanjutnya adalah keringnya sumber air warga. Bulan ini, tukang gali pompa dekat rumah mengeluh pada saya karena kelelahan akibat kebanjiran order. Alih-alih senang karena rezeki datang, mereka yakin bahwa permintaan memperdalam sumur air hanyalah solusi sementara jika hujan tidak kunjung turun. 

Musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya dan kenaikan temperatur yang luar biasa kini memang jadi topik hangat yang dibicarakan, dari kompleks perumahan hingga media sosial. Ini menandakan bahwa banyak orang sebenarnya menyadari adanya dampak krisis iklim. 

Derita warga Depok juga dialami masyarakat di penjuru Indonesia, mulai dari Sumatra, Jawa, NTB, NTT hingga Sulawesi. Bukan hanya sulitnya air bersih, kemarau panjang ini juga memicu sebagian kasus kebakaran hutan dan lahan, gagal panen hingga efek turunan lainnya yang berdampak langsung pada manusia, seperti kelaparan karena kenaikan harga bahan pangan. 

Di Desa Bura Bekor, NTT, warga terpaksa membeli air seharga Rp500 ribu per tangki sebab sumber air di desa mereka habis tak bersisa. Mereka juga harus menebang pohon pisang demi memperoleh sedikit air dari pangkal pohonnya. 

Di Ibu Kota, kekeringan mungkin belum menjadi persoalan utama. Namun temperatur suhu yang luar biasa panas membuat warga tidak bisa beraktivitas dengan sehat. Banyak dari mereka dilanda penyakit pernapasan, sebab kenaikan suhu juga dibarengi dengan peningkatan kualitas udara yang buruk. Kombinasi mematikan ini pada akhirnya membuat biaya kesehatan semakin membengkak. 

Apa yang kita alami dan rasakan hari ini bukannya tanpa sebab. Sektor energi–yang tak bisa dipungkiri sangat kita butuhkan dalam keseharian–adalah penyumbang utama emisi penyebab kenaikan suhu bumi yang kita tanggung hari ini. 

Dengan 73,2% emisi yang dihasilkannya, sektor energi wajib menjadi prioritas transisi demi menjawab kebutuhan energi sekaligus mengatasi masalah iklim. Sayang, Indonesia masih mengandalkan bahan bakar fosil, terutama batu bara yang porsinya sebesar 67% di akhir 2022.

Inkonsistensi Komitmen 

Sudah saatnya kita mengakui bahwa apa yang terjadi saat ini adalah krisis iklim; sebuah kegentingan yang akan mengantarkan kita menuju kehancuran mutlak jika kita tidak mencegah kenaikan temperatur bumi lewat perubahan perilaku dan kebijakan. 

Sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi Perjanjian Paris pada 2015 lalu, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi serta beralih dari energi fosil menuju energi terbarukan. Namun, ketimbang tunduk pada komitmen itu lewat usaha serius untuk menyelesaikan masalah, pemerintah terus mengeluarkan aturan-aturan yang membuat krisis semakin parah. 

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik adalah contoh bagaimana kekuasaan mencoba menipu dengan judul yang manis. Dalam aturan tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara masih boleh dioperasikan untuk kepentingan industri. 

Daripada memperbaiki jaringan dan memaksimalkan cadangan listrik yang berlebih (oversupply), pemerintah memilih membangun pembangkit batu bara baru yang malah menambah beban negara atas kelebihan nilai produksi listrik. 

Entah bagaimana pemerintah melakukan mekanisme perhitungan penambahan kapasitas pembangkit listrik. Yang jelas, perhitungan ini selalu meleset dalam sembilan tahun terakhir. Kondisi oversupply ini memaksa kita mengubur sementara harapan untuk memiliki pembangkit listrik dari energi bersih yang mampu menurunkan emisi karbon dan menyelamatkan Indonesia dari bencana iklim. 

Selain Perpres 112/2022, ada pula Rancangan Undang Undang Energi Baru Energi Terbarukan yang hampir lima tahun sudah mangkrak di legislatif. Undang-undang yang harusnya mampu mendorong akselerasi penuh untuk pembangunan energi terbarukan ini bagaikan bus bermuatan penuh yang mengarungi jalan terjal dan berliku. 

RUU EBT dijejali beragam kepentingan demi memperpanjang napas batu bara dan berbagai turunannya, juga Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang telah lama ditolak dan ditetapkan sebagai pilihan terakhir dalam Kebijakan Energi Nasional. 

Halaman:
Hadi Priyanto
Hadi Priyanto
Renewable Energy Campaigner Greenpeace

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...