
Sumitro Djojohadikusumo pernah membuat Siti Hartinah alias Tien Soeharto murka. Suatu hari, sekitar Juli 1969, Sumitro dipanggil ke Cendana, kediaman Presiden Soeharto. Bukan untuk bertemu presiden, melainkan Ibu Negara yang memintanya meloloskan Sukamdani Sahid Gitosardjono sebagai importir tunggal cengkeh.
Sumitro yang kala itu menjabat menteri perdagangan, memilih melaporkannya ke Presiden Soeharto dan menjelaskan bahwa dia menolak permintaan tersebut. Alasannya, selain Sukamdani belum berpengalaman, praktik monopoli akan merugikan konsumen cengkeh, yakni pabrik rokok, karena kalah daya tawar. Pabrik akan dicekik permainan harga yang ditentukan importir.
Merasa telah mendapatkan persetujuan presiden, Sumitro lalu menggelar lelang terbuka impor cengkeh. Ada dua pemenang, yakni Probosutedjo dan Liem Sioe Liong. Meskipun hanya dua importir alias duopoli, Sumitro beralasan ini lebih baik daripada monopoli. Terhadap Liem, Sumitro mengakui tidak menyukainya secara personal. Namun, karena telah memenuhi persyaratan, izin impor tetap diberikan.
Kisah ini disampaikan Sumitro dalam biografinya Jejak Perlawanan Begawan Berjuang.
Tak hanya Nyonya Tien Soeharto, Sumitro juga kerap berkonflik dengan para jenderal Orde Baru. Salah satunya Mayjen Soedjono Hoemardani, Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, karena sering secara sepihak memberikan izin impor kepada para pengusaha yang dekat dengannya.
“Saya, Sumitro, tidak pernah takut terhadap Sukarno atau Aidit. Lho, ini seorang Soedjono mau ngancam-ngancam, kenapa takut?” kata Sumitro.
Di Indonesia, adalah jamak seorang pengusaha mencari perlindungan dan dukungan politik dari lingkaran elite penguasa. Yahya Muhaimin dalam Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 menyebutnya sebagai relasi patron-klien. Muhaimin menyebut para pengusaha itu sebagai pengusaha klien, yang sangat tergantung pada fasilitas, konsesi, lisensi, dan kredit dari negara.
Sedangkan para patronnya berasal dari militer dan birokrasi. Pada masa Orde Baru, keluarga presiden menjadi sumber patronasi baru. Menurut Muhaimin, dalam buku yang diangkat dari disertasi di Massachusetts Institute of Technology (MIT) tersebut, keberhasilan bisnis pengusaha klien ditentukan kemampuan dalam mengelola hubungan pribadi dengan para pejabat melalui pemenuhan berbagai kebutuhan mereka.
Kapitalisme Orde Baru
Pemerintah Orde Baru memprioritaskan pertumbuhan dan rehabilitasi ekonomi setelah mewarisi krisis dari pemerintahan Sukarno. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengundang investasi luar negeri dengan menerbitkan UU Penanaman Modal Asing (PMA) Nomor 1 tahun 1967. Masuknya investasi asing, dimanfaatkan kelompok pengusaha keturunan Tionghoa, yang memiliki kemampuan manajerial dan modal lebih kuat, untuk mendirikan perusahaan patungan.
Para kapitalis Tionghoa yang kerap disebut cukong merupakan mitra bisnis militer sejak lama. Peralihan kekuasaan membuat kedudukan militer semakin kuat. Bukan saja di ranah politik, melainkan juga ekonomi. Persekutuan dengan birokrasi dan militer memberikan kesempatan para cukong berekspansi dengan fasilitas dan lisensi dari pemerintah.
Dominasi ekonomi dan proteksi politik terhadap kapitalis Tionghoa ini berkembang menjadi sasaran kritik. Mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, intelektual dan mantan Duta Besar untuk Amerika Soedjatmoko, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya Mochtar Lubis, dan ekonom Sarbini Sumawinata adalah tokoh-tokoh yang bersuara lantang mengkritik strategi ekonomi Orde Baru.
Menurut Hatta, kebijakan ekonomi Orde Baru akan meningkatkan ketimpangan karena hanya memperkuat golongan yang sudah kuat, yakni investor asing dan pengusaha keturunan Tionghoa. Sedangkan Sarbini berpendapat, industrialisasi dapat dikembangkan jika didukung dan berakar pada kekuatan dalam negeri. Dalam sejumlah kasus, banyak industri kecil, seperti tekstil dan minuman, yang gulung tikar karena kalah bersaing dengan industri padat modal milik asing dan pengusaha Tionghoa.
Rizal Mallarangeng dalam Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 menyebut Sumitro Djojohadikusumo termasuk dalam barisan pengkritik. Namun, karena posisinya yang berada di dalam pemerintahan, dia tidak dapat mengungkapkan pendapat secara terbuka.
Meskipun begitu, pandangan Sumitro untuk memperkuat peran ekonomi pribumi sudah dikemukakan sejak dekade 1950an lewat Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dan program Benteng. Dalam Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, Sumitro menjelaskan RUP bukan untuk melindungi industri Indonesia, melainkan menghapus perlindungan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar Belanda yang masih beroperasi pada waktu itu.
“Saya harus menghadapi perusahaan monopoli Belanda, perusahaan-perusahaan perdagangan yang dinamakan ‘Big Five’,” kata dia. Meski sudah merdeka, perekonomian Indonesia masih digerakkan perusahaan-perusahaan Belanda. Nasionalisasi besar-besaran baru dimulai pada 1957. Diawali pendudukan sepihak oleh kalangan buruh, kemudian diambil alih tentara atas perintah KSAD Abdul Haris Nasution.
Begitu juga program Benteng yang ingin membangun kekuatan tandingan terhadap kepentingan Belanda. “Saya tidak punya khayalan tentang apa yang mungkin terjadi. Tapi saya pikir, kalau kita memberikan bantuan kepada sepuluh orang, tujuh bisa saja ternyata parasit, tetapi kita bisa mengharapkan yang tiga menjadi pengusaha,” ujarnya.
Mallarangeng menilai, sikap Sumitro terhadap kebijakan Orde Baru didorong oleh intensi personal karena dijadikan sebagai anak buah Widjojo Nitisastro. Padahal Sumitro adalah guru Widjojo dan kawan-kawannya saat di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Namun, Yahya Muhaimin mengatakan, persoalan senioritas ini terlalu jauh dipakai untuk menilai sikap Sumitro kepada Widjojo.
Dia berpandangan, keduanya memiliki karakter berbeda, bahkan bertolak belakang. Sumitro lebih terus terang dan blak-blakan dalam mengutarakan pendapat ketimbang Widjojo. Selain itu, Sumitro pernah menjadi anggota aktif Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang menilai kebijakan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari politik.
Sedangkan Widjojo lebih bergaya “Jawa” dan tidak memiliki ambisi politik. Dengan latar belakang seperti itulah, Soeharto lebih mendukung Widjojo sebagai arsitek ekonomi Orde Baru karena dianggap tidak menjadi ancaman bagi kepentingan pengusaha Tionghoa dan militer.
Apalagi Sumitro memiliki rekam jejak pernah mencabut hak istimewa militer untuk mengimpor barang dan membatalkan lisensi pengusaha Tionghoa yang menjadi rekan para perwira militer. Bahkan saat menjadi menteri perdagangan Orde Baru, dia pernah membuat berang Jenderal Soemitro karena mencabut formulir B yang memberikan keringanan pajak impor khusus untuk Angkatan Darat. Dia juga membongkar kasus-kasus impor yang berbau kolusi antara pengusaha Tionghoa dan pejabat di kementeriannya.
Dalam biografinya, Sumitro menyebut Widjojo Nitisastro memang paling dekat dengan presiden karena mampu menyampaikan sesuatu sesuai gaya Soeharto. Namun, dia membantah jika Widjojo sebagai sosok yang bersikap yes man. “Widjojo punya prinsip,” kata Sumitro. Di matanya, yang paling patuh adalah Radius Prawiro karena senantiasa mengucapkan nyuwun duko (minta dimarahi) kalau menghadap Soeharto.
Munculnya Kapitalis Pribumi
Kritik terhadap strategi pembangunan pada awal berdirinya Orde Baru terus bergulir. Puncaknya terjadi peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “Malapetaka 15 Januari” (Malari) pada 1974. Pasca-Malari, pemerintah mulai mengubah strategi ekonomi, dan hal pertama yang dilakukan adalah merevisi UU PMA dan UU PMDN untuk memperketat investasi asing dan pengusaha Tionghoa.
Perubahan kebijakan ekonomi tersebut kemudian melahirkan kelompok-kelompok kapitalis baru dari kalangan pribumi. Kemunculan mereka, kata Richard Robison dalam Indonesia the Rise of Capital, sebetulnya melanjutkan kapitalis pribumi lama yang berasal dari lingkaran kekuasaan birokrasi negara, bukan karena kemampuannya pada kegiatan perdagangan atau manufaktur.
Dengan berkuasanya Orde Baru, maka pusat kapitalis pribumi berada di lingkaran keluarga Presiden Soeharto dan para perwira militer. Pilar penting kapitalis pribumi lainnya adalah keluarga Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina pada saat itu. Golkar, organ politik Orde Baru, juga menjadi sumber patronasi kapitalis pribumi terutama yang berhimpun dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
Pendapat umum di kalangan pengusaha anggota Hipmi yang dikutip Yahya Muhaimin mengatakan, istana presiden hanya menjadi sumber patronasi bagi orang-orang yang punya hubungan keluarga dengan presiden dan istrinya, serta dengan perwira-perwira Kostrad. Biasanya, mereka menggandeng pengusaha Tionghoa untuk membuat usaha patungan.
Kalangan pengusaha muda itu juga mengatakan, perusahaan patungan tersebut lebih suka menggunakan tenaga manajer dan eksekutif keturunan Tionghoa. Langkah ini berbeda dengan Grup Astra yang didirikan William Soeryadjaya yang justru lebih banyak mempekerjakan pribumi lulusan universitas. Menurut mereka, hanya Ibnu Sutowo yang bersungguh-sungguh ingin membangun borjuasi kuat di kalangan pribumi.
Keberadaan kapitalis-kapitalis pribumi ini sering dikonfrontasikan dengan modal asing dan kelompok kapitalis keturunan Tionghoa. Meski begitu, kemunculan mereka di bawah Orde Baru dicapai melalui kongsi dengan modal asing dan Tionghoa dalam bentuk usaha patungan, konsorsium, atau perjanjian distribusi dan manajemen. Bagi investor asing dan pengusaha Tionghoa, bermitra dengan kapitalis pribumi ini penting untuk menjamin akses pengaruh politik yang dapat memberikan lisensi dan kontrak-kontrak proyek pemerintah.
Kritik Sumitro
Di mata Sumitro, strategi pembangunan Orde Baru telah menciptakan kesenjangan. Bukan sekadar kesenjangan pendapatan, melainkan kepincangan akibat penguasaan sumber dana, sumber daya, dan peluang bisnis oleh kelompok terbatas. Kepincangan tersebut berasal dari perlindungan, pemberian fasilitas dan monopoli tata niaga kepada kelompok usaha tertentu, biasanya milik keluarga dan anak-anak pejabat.
Dalam biografinya, Sumitro menyebut sejumlah konsesi yang diberikan kepada anak-anak Soeharto dan kroninya di berbagai sektor, mulai hutan, tata niaga cengkeh, pembangunan jalan tol, pelabuhan, hingga pembelian helikopter yang diperoleh tanpa melalui tender. “Di sini para penyelenggara negara tidak lagi menyepakati aturan main yang demokratis dan transparan,” kata dia. “Tumpang tindih antara kepentingan pribadi, keluarga, dengan kepentingan publik.”
Sebenarnya Sumitro tidak alergi dengan proteksi kegiatan bisnis, asalkan dilakukan secara transparan, dengan batas waktu, dan besaran yang jelas. Menurutnya, perlindungan dapat diberikan kepada industri bayi (infant industry) dalam jangka 5-10 tahun. Masalahnya, pemerintah memberikannya kepada kelompok yang sudah “mapan” yang sebenarnya sudah bukan industri bayi lagi.
Umumnya, perlindungan yang diberikan pemerintah berbentuk aturan perizinan. Maksudnya, semua kegiatan usaha baru dapat dikerjakan jika sudah mendapatkan izin, dan biasanya untuk memperoleh izin tidak mudah. Sumitro menyebutnya sebagai “ekonomi perizinan” yang menyebabkan biaya tinggi dan korupsi.
“Dalam ekonomi perizinan, usahawan kecillah yang terutama menjadi korban, karena mereka sering diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang yang cukup beruntung memperoleh kekuasaan,” kata dia seperti dikutip Mallarangeng dari Kompas, 4 April 1983.
Saat membuka simposium Dies Natalis ke-35 Fakultas Ekonomi UI pada 10 September 1985, Sumitro mengkritik para ekonom pendukung proteksionisme karena mempertentangkan efisiensi dan keadilan/pemerataan. “Seakan-akan mewujudkan efisiensi dalam hakekatnya mengorbankan keadilan. Padahal keduanya merupakan tujuan kembar dalam gerak pembangunan.”
Dia mensinyalir pandangan yang mempertentangkan efisiensi dan keadilan sebagai upaya untuk melindungi kepentingan kelompok yang bercokol (vested interest group) di berbagai sektor ekonomi. Kelompok bercokol adalah mereka yang tidak berbuat apa-apa tetapi mendapatkan keuntungan dan tidak ingin kehilangan posisi.
Menurut Sumitro, proteksionisme bukan cara untuk mencapai keadilan dan pemerataan, karena justru akan menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam bentuk baru. Dia mengatakan, keadilan dan pemerataan ekonomi bisa tercapai jika sumber-sumber yang terbatas itu dialihkan ke kegiatan produktif yang dapat menaikkan pendapatan masyarakat.
Dalam konteks ini, kata Sumitro, efisiensi ekonomi akan mewujudkan keadilan dan pemerataan antar-golongan dan antar-daerah. “Efisiensi merupakan prasyarat yang memberikan makna dan operasional bagi pengertian ‘keadilan’ dan ‘pemerataan’,” ujarnya.
Keresahan ini juga terekam dari hasil sidang pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Malang pada awal April 1983 yang menyimpulkan bahwa proteksionisme melahirkan ekonomi biaya tinggi. Hasil sidang tersebut disampaikan kepada Presiden Soeharto sepekan kemudian oleh Sumitro, Arifin Siregar dan Satrio B Joedono. Ketiganya menjelaskan, Indonesia akan menanggung penderitaan jika industri-industri negara dan swasta yang tidak kompetitif terus-menerus dilindungi.
Sumitro mengatakan, tak hanya sekali menyampaikan persoalan ini kepada Presiden Soeharto. “Always hear, but never listen—selalu mendengar, tapi tidak menyimak,” kata Sumitro dalam wawancara dengan Tempo pada 1999.
Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh: