Kebijakan Cukai Plastik Tak Pecahkan Masalah Sampah di Indonesia
Pemerintah akan menerapkan cukai plastik sebesar Rp 200 per lembar atau Rp 30 ribu per kg mulai 2020. Kebijakan ini dinilai menjadi salah satu solusi untuk menekan volume sampah di Indonesia yang mencapai 64 juta ton per tahun. Sekitar 15% dari volume sampah tersebut adalah sampah plastik.
Sebagian dari sampah plastik terbawa hingga ke laut, mencemari dan membahayakan kehidupan makhluk hidup dan ekosistem laut. Sehingga, perang terhadap plastik digemakan oleh para aktivis lingkungan hidup maupun pemerintah.
Pelaku usaha daur ulang plastik telah menyampaikan keberatan mereka terhadap kebijakan tersebut. Kebijakan cukai plastik dinilai tidak akan efektif menuntaskan masalah sampah plastik di Indonesia jika tidak dibarengi dengan edukasi kepada masyarakat dan manajemen sampah yang efektif.
Katadata mewawancarai Wakil Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Justin Wiganda untuk mengetahui lebih detail mengenai masalah ini. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang melatarbelakangi keberatan ADUPI terhadap kebijakan cukai plastik?
Pemerintah beralasan yang dikenakan cukai adalah single use plastic. Di Indonesia, biasanya kantong plastik setelah digunakan untuk wadah barang belanjaan digunakan lagi untuk kantong sampah.
Ada pengalihan isu antara plastik yang menjadi wadah dengan sampah yang sebenarnya. Komposisi terbesar sampah di Indonesia adalah sampah organik, sekitar 60% (data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Masyarakat hanya mengetahui sampah plastik itu kantong plastik, botol plastik, dan sedotan. Padahal, ada juga plastik kemasan lainnya, seperti yang digunakan untuk kantong minyak goreng. Penggunaan plastik kemasan di Indonesia mencapai 40% sedangkan kantong plastik hanya 6% dari total sampah plastik.
Pemerintah memperkirakan volume konsumsi kantong plastik akan turun 30% jika dikenakan cukai plastik Rp 200 per lembar, bagaimana menurut Anda?
Pengenaan kantong plastik berbayar di supermarket Rp 200 per lembar tidak akan besar efeknya. Orang yang ke supermarket atau hipermarket berbelanja hingga ratusan ribu rupiah. Berbeda dengan masyarakat kecil yang berbelanja di pasar tradisional. Masyarakat yang berbelanja di pasar tradisional 60-70% sedangkan yang di pasar modern 40%. Agak naif jika patokannya ke pasar modern.
Di pasar tradisional itu ada puluhan ribu pedagang kecil. Mereka hanya tahu bahwa kantong plastik, kertas nasi, dan sedotan itu sebagai pelengkap. Kalau harga kantong plastik naik, penjual yang berjualan makanan pasti akan naik.
Harga kantong plastik besar Rp 100-Rp 125 per lembar sedangkan yang kecil Rp 50-Rp 80 per lembar. Mereka yang biasanya menjual makanan Rp 1.200-Rp 1.250 dengan cukai kantong plastik bisa jadi harga makanannya jadi Rp 1.500. Ikan dan daging segar juga tidak bisa dijual tanpa kantong plastik.
Apa yang menyebabkan kebijakan cukai kantong plastik ini dipilih oleh pemerintah?
Pemerintah terpengaruh oleh protes atau aktivitas dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang lingkungan hidup bahwa masalahnya adalah plastik. Padahal, plastik itu fungsinya tergantung pengguna.
Di Amerika Serikat (AS), kebijakan cukai plastik justru membuat penjualan kantong plastik sampah naik beberapa kali lipat. Ini yang tidak perlu. Semula kantong plastik bisa dipakai ulang sekarang harus membeli kantong plastik khusus untuk sampah.
Skema apa yang seharusnya digunakan dalam pengelolaan sampah?
Konsep reduce, reuse, recycle (3R) dalam circular economy seharusnya diterapkan. Bahan baku yang digunakan diolah menjadi barang lain sebisa mungkin berputar terus sehingga mengurangi pemakaiannya. Teknologi plastik juga terus berkembang. Ada plastik yang tipis tetapi semakin kuat.
Kebijakan cukai plastik ini "green washing". Kita menghemat penggunaan kantong plastik sekian gram tetapi lebih boros menggunakan plastik lainnya.
Plastik diciptakan ringan untuk menghemat biaya dan transportasi. Harga makanan bisa lebih murah karena dikemas dalam plastik dibandingkan di wadah kaca atau material lainnya. Berbeda dengan di Eropa yang menyediakan kemasan plastik dan kaca. Eropa wilayahnya tidak seperti Indonesia yang luas, satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan laut sehingga biaya transportasi untuk mengirim barang lebih mahal.
Apakah ADUPI pernah diajak berdiskusi atau memberikan masukan kepada Ditjen Bea Cukai mengenai kebijakan cukai plastik?
Kami menyampaikan keberatan sejak lama karena kebijakan ini salah kaprah. Yang seharusnya dikendalikan adalah sampahnya, bukan plastik yang menjadi wadahnya. Zero waste tidak mungkin terjadi jika infrastrukturnya tidak siap. Sistem pengelolaan sampah/limbah (waste management system) harus siap. Rumah tangga juga harus diedukasi untuk memilah sampah yang benar.
Solusi lain yang lebih efektif untuk mengurangi sampah seperti apa?
Pemerintah sebenarnya sudah membentuk bank sampah tetapi ini kan sifatnya sukarela, dilakukan oleh paguyuban, dan tidak setiap hari. Ada sekitar 7.000 bank sampah di Indonesia. Di Pulau Jawa sekitar seribu bank sampah. Namun, ini tidak terorganisasi dengan baik karena bank sampah ini numpang di rumah orang. Kalau penuh, ya harus disetop.
Yang diterima oleh bank sampah adalah botol plastik, kertas, kardus, dan besi. Tidak ada yang menerima plastik kemasan kecil-kecil (sachet). Anggota kami di Surabaya ada yang khusus mendaur ulang plastik kemasan kecil seperti ini.
Pada prinsipnya semua plastik bisa didaur ulang. Kantong plastik menjadi kantong plastik lagi. Plastik kemasan bisa jadi talang air, tali rafia, atau gantungan baju. Bisa juga jadi pallet yang digunakan industri untuk mengangkut barang. Bisa digunakan berulang-ulang dan kalau rusak, bisa didaur ulang.
Apa yang dikhawatirkan ADUPI terkait dampak dari kebijakan ini ke industri?
Yang pasti akan memengaruhi suplai dan permintaan (demand). Kalau harga kantong kresek mahal, permintaan turun. Kalau permintaan turun, pendapatan industri daur ulang plastik juga akan turun. Selama suplai dan permintaan tidak terjaga, investasi asing susah masuk. Akhirnya, investor pindah ke negara lain yang banyak bahan baku daur ulangnya.
Indonesia beruntung memiliki pemulung. Di luar negeri, pemilahan sampah dilakukan oleh rumah tangga. Mereka harus memilah sesuai kategori, misalnya hijau untuk sampah organik, kuning untuk kertas atau kardus, dan biru untuk botol plastik.
Berapa besar tenaga kerja yang ada di industri daur ulang plastik?
Saat ini kami memiliki 400 anggota tetapi kalau industri daur ulang yang kecil-kecil mungkin ribuan. Tenaga kerja yang terserap sekitar 3,5 juta-4 juta orang. Itu dari pemasok, pemulung, hingga ke penjualan.
Harapan ADUPI terhadap pemerintah dalam masalah cukai plastik ini seperti apa?
Solusi penanganan sampah plastik tidak bisa copy paste kebijakan yang diterapkan di Eropa atau AS. Solusinya harus disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Selama ini belum ada standardisasi pemilahan sampah, kategori sampah berdasarkan warna di Surabaya dan Jakarta saja berbeda. Infrastruktur dan sistem pengelolaan sampah harus ada, begitu pula dengan sinergi pemerintah pusat dan daerah.