Setelah Data, Revolusi Ketiga Saat Ini Adalah Digital Payment
Sejak beroperasi akhir tahun lalu, layanan keuangan berbasiskan teknologi (fintech) bidang pembayaran, DANA sudah menggaet 20 juta pengguna aktif per Juni 2019. Jumlah transaksi harian DANA kini mencapai 1,5 juta kali. Menariknya, pertumbuhan yang dicapai DANA ditopang SDM lokal yang jumlahnya 99% dari seluruh total karyawan.
Fintech besutan Elang Mahkota Teknologi (Emtek) dan Ant Financial (Alipay), memilih berbasis open-platform, sama seperti halnya Alipay dari Tiongkok. Berbasis platform terbuka, DANA siap bekerja sama dengan semua pihak skala domestik mau pun internasional.
DANA yang dinahkodai oleh Vincent Henry Iswaratioso, yang pernah menjadi Country Head Alipay Indonesia, memiliki impian mewujudkan transformasi ekonomi digital di Indonesia. Menurut Vincent, masyarakat Indonesia akan menggunakan 100% pembayaran transaksi digital (digital payment)—atau tanpa uang tunai- dengan waktu kurang 10 tahun dari sekarang.
(Baca: DANA Sambut Positif Peluang Kolaborasi dengan LinkAja)
"Saat kita sudah bisa mentransformasikan masyarakat Indonesia ke ekonomi digital, saya menganggap target saya sudah tercapai. Jadi salah satu impian saya terjadinya trasnformasi ekonomi digital," kata Vincent dalam wawancara khusus dengan Tim Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
Berikut wawancara dengan Vincent dalam dua kesempatan yang berbeda:
Tantangan Digital Payment di Indonesia
Mengapa Anda tertarik masuk ke bisnis pembayaran digital atau dompet digital?
Saya melihat kebutuhan masyarakat yang tinggi akan dompet digital seperti DANA. Indonesia itu adalah negara yang sangat luas, jadi untuk bertransaksi itu tidak mudah, apalagi negara kita merupakan kepulauan terbesar di dunia. Jadi banyak sekali orang-orang yang ingin bertransaksi di daerah-daerah, itu tidak mudah. Jadi karena itu saya melihat, yang paling bisa menjembatani semua ini adalah teknologi digital payment.
Nah dompet digital sendiri kalau saya lihat itu adalah merupakan salah satu pilar dari pondasi untuk mencapai transformasi ekonomi digital. Saya melihat penting sekali mengembangkan digital payment sebelum ekonomi digital menjadi berkembang di Indonesia.
Apa saja tantangan mengembangkan digital payment di Indonesia?
Hal penting adalah edukasi. Kami melihat bahwa masih banyak populasi Indonesia itu lebih merasa aman untuk bertransaksi dengan sesuatu yang mereka pegang, sehingga memilih untuk menggunakan cash. Makanya, pertama, kami harus menunjukan bahwa transaksi yang kami lakukan secara digital ini, lebih aman.
Kedua, bisa lebih cepat, itu yang sangat penting. Kami melihat transaksi dengan cash itu adalah mentransfer uang ke merchant. Lalu merchant kemudian memasukkan uang ke bank. Bila tak menggunakan bank, mereka mengumpulkan cash di sebuah tempat yang ada kecenderungan tidak aman dan berpotensi uang hilang.
Melihat prosesnya pun tidak efisien. Dengan transaksi digital, melihatnya jauh lebih efisien. Karena transaksi secara elektronik, dan nilai transaksi langsung tercatat secara real time.
Edukasi soal keamanan, efisiensi dan kecepatan dalam bertransaksi menjadi penting. Bila ke depannya transaksi cash atau card itu terkonversi dalam transaksi yang digital, velocity payment akan jauh meningkat. Jadi otomatis, kegiatan ekonomi juga akan meningkat. Ada keuntungan bagi negara untuk mengadopsi digital payment.
(Baca: Persaingan Ketat, DANA Incar Segmen Perdesaan)
Dompet digital ini hal yang masih baru, apa strategi mengenalkan ke masyarakat?
Kalangan milenial ini kan yang benar-benar mau berubah, menjadi lebih baik, lebih cepat dan lebih murah. Dari anak-anak muda ini, mereka memperkenalkan teknologi ke orang yang lebih tua.
Dari hasil survei kami, kalangan yang lebih tua juga sudah mengadopsi transaksi digital. Ini berkat anak-anak milenial yang meyakinkan paman, nenek dan kakek untuk mengadopsi transaksi digital. Ada seorang ibu yang sudah memakai, dia bilang mengunduh aplikasi karena dikasih petunjuk anaknya.
Dibandingkan e-commerce dan big data. apakah fintech khususnya digital payment akan menjadi bintangnya?
Transaksi e-commerce dibandingkan retail hanya di bawah 4%. Mengapa? Karena pembayaran belum sepenuhnya digital. Kalau kita lihat e-commerce yang mature seperti di Tiongkok dan Amerika Serikat, masyarakatnya sudah terbiasa dengan kartu kredit.
Di Tiongkok pola transaksinya lewat ecommerce itu belanja dalam sehari bisa 2-3 kali. Di Indonesia paling sebulan itu dua atau tiga kali.
Ke depan, untuk meningkatkan e-commerce ada dua hal yang perlu dikembangkan, yakni digital payment dan logistik. Berbicara logistik juga terkait dengan bagaimana pembayarannya.
Dalam e-commerce yang paling penting itu successor yakni itikad untuk beli dan benar-benar membayar. Kami ingin memastikan successor itu setinggi mungkin, mendekati 90%-an sampai mendekati 100%. Ketika kamu punya intensi membeli dan langsung berbayar, transaksi berhasil. Tapi kalau membayarnya harus ke ATM dulu, maka keberhasilan transaksi turun menjadi 50% -60%.
(Baca: Uang Elektronik Lindungi Pedagang Pasar dari Uang Palsu)
Tak Ada Benchmark
Apakah masalah utama pengembangan digital payment? Apakah ada hambatan dari regulator?
Problemnya, semua baru mengembangkan fintech. Bahkan di New York hal ini pun sesuatu yg baru. Startup yang progresif mengembangkan di sini karena memang potensial. Kami kembangkan tim, membuat sesuatu yang baru.
Lalu regulator menjadi bertanya benchmark kepada siapa? Biasanya benchmark kan bisa melihat ke Amerika, Singapura. Lha, merekanya juga masih bingung kok. Jadi saya tidak melihat regulator itu menghambat.
Bila semua mencari benchmark, apa yang harus kita lakukan ke depan?
Kita enggak bisa sekadar mencontoh apa yang ada di Tiongkok, India dan Amerika. Kita harus melihat apa yang menjadi the best practice di sini. Startup will do that and can do that. Beda dengan perbankan, startup pembayaran bisa lebih trial and error. Kami bisa lebih sukses dan bisa lebih cepat.
Bagaimana kesuksesan fintech dunia seperti Alipay, WeChat dan lainnya bisa dilakukan di Indonesia?”
Sebenarnya bila melihat kesuksesan dari Alipay, WeChatPay, dan pemain-pemain dompet digital di negara-negara lain membuat kita bisa melihat contoh, tapi tak bisa copy paste. Setiap pasar, situasi dan kondisinya berbeda-beda, cuma kami bisa melihat bahwa apa yang diterapkan secara sukses dari sistem teknologinya atau produk di sana, kami bisa menganalisis apakah itu bisa dilokalisasikan di Indonesia atau tidak, itu adalah salah satu tugas kami.
Dalam arti kami melihat, sesuatu yang sudah sukses di negara lain misalnya di India teknologi QR-Pay untuk UKM. Apakah itu bisa diadopsi dilokalisasikan di Indonesia, that’s our job.
Setiap pasar kan infrastrukturnya berbeda, regulator juga berbeda. Kami melihat di Indonesia terdapat kesempatan masyarakatnya untuk go to digital payment. Ekosistem di sini sangat baik karena Indonesia itu negara yang sangat luas, negara yang investasinya sangat berat di infrastruktur. Jadi bila bisa menterapkan teknologi yang membantu itu semua, yang membuat teknologi membuat konsumen supaya dapat bertransaksi dengan cepat, akan kami adopsi.
Peran DANA
Apa kontribusi DANA dalam pengembangan digital payment di Indonesia?
Peran kami yang paling penting adalah berkontribusi dalam pengembangan teknologi. Komitmen utama kami adalah memiliki banyak developer dari Indonesia.
SDM DANA itu 99,99% asal lokal. Kami ingin menunjukkan bahwa DANA ini aplikasi Indonesia, yang dikerjakan SDM lokal.
Kami ingin meunjukkan bahwa lokal itu baik. Sistem aplikasi DANA adalah salah satu yang terbaik di dunia. Salah satu yang terbaik di tingkat regional. Jadi bisa saya katakan kami sudah punya SDM berkualitas yang membangun sistem aplikasi global.
Apakah tidak kesulitan mendapatkan SDM?
It's not easy. Tidak mudah, kami saring dari berbagi macam, mulai screening dari sekolah-sekolah, mengajak mereka yang sudah berpengalaman, hingga kami ajak orang Indonesia yang sudah bekerja di luar negeri.
Kami bilang ini kesempatan yang sangat langka untuk membangun sesuatu yang bagus. Supaya ke depannya juga kami bersama-sama membangun ekosistem. Jadi setelah kita melatih SDM, meski mereka tetap di DANA atau di luar pun nanti ke depannya mereka juga bisa membantu ekosistem untuk membangun teknologi, terutama ekosisitem intitusi keuangan.
DANA memilih menjadi platform yang terbuka. Apa alasannya?
Sejak awal bekerja kami sudah memutuskan akan menjadi platform yang terbuka. Kami hanya bergerak dalam pembayaran, bukan kegiatan e-commerce, jualan tiket dan lainnya. Kami hanya untuk pembayaran, makanya harus terbuka. Kami sudah bekerja sama mulai dengan KFC, XXI, Ramayanan dan lainnya. Sekarang kami juga terbuka untuk UMKM, dan tiap orang bisa menggunakan aplikasi. Sudah kerja sama dengan ratusan merchant tanpa pengumuman ke publik.
Bagaimana membuat DANA agar mudah di akses?
DANA dapat digunakan dengan 3G, 2G enggak masalah. Download aplikasi lewat Android kapasitasnya kurang dari 15 MB. Kami concern dengan ukuran karena kami ingin memastikan semua orang dapat mengaksesnya. Kecuali menggunakan Iphone, yang memang 50 MB.