Ekonomi Hijau Itu Mahal, Penerapannya Perlu Bertahap
Dari perusahaan kayu bernama PT Bumi Raya Pura Mas Kalimantan yang berdiri pada 1979, PT Barito Pacific Tbk kini menjadi perusahaan publik dengan bisnis inti meliputi pembangkit listrik panas bumi dan petrokimia. Perusahaan yang dimiliki taipan Prajogo Pangestu makin memperkuat bisnisnya dengan mengakuisi Chandra Asri pada 2007.
Prajogo Pangestu mengajak sang anak, Agus Salim Pangestu mengelola perusahaan sejak 1997. Berpengalaman melalui krisis 1998 dan 2008, Agus menilai pandemi Covid-19 akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengakselerasi perubahan menuju
ekonomi hijau.
Bagaimanapun, ia menyatakan bahwa perubahan itu perlu waktu dan perencanaan matang. “Perubahan yang tiba-tiba itu bisa berbahaya,” kata Agus yang menjadi Presiden Direktur PT Barito Pacific Tbk sejak 2013. Selain itu, ia bicara banyak hal, dari masalah energi hingga pengolahan sampah.
Berikut petikan dialog Prajogo dengan Metta Dharmasaputra dalam SAFE Forum 2020: Shifting Paradigm From Business As Usual (BAU) to Sustainability yang diselenggarakan secara virtual oleh Katadata pada 26 Agustus 2020:
Ada tren besar dalam dunia bisnis begerak ke arah yang lebih berkelanjutan. Bagaimana pandangan Pak Agus dan apa yang dilakukan Chandra Asri?
Barito berdiri sejak 1978 dan kami sempat mengembangkan industri di berbagai bidang, termasuk kayu sampai sawit. Belakangan kami masuk ke petrochemical dan terakhir di industri energi.
Intinya, kami berubah. Setiap saat dunia berubah, Indonesia selalu berubah. Kami mendengar permintaan masyarakat, pemerintah, organisasi-organisasi non-pemerintahan (NGO) dan selalu mencoba berubah. Tetapi yang perlu diketahui, perubahan itu perlu waktu.
Setiap rencana untuk melakukan perubahan itu eksekusinya bisa memakan waktu lima atau sepuluh tahun. Kadang, saat keputusan sudah diambil, ternyata Langkah awalnya salah dan harus diulang.
Semua proses itu tidak pernah mudah. Sayangnya, kita sekarang hidup di era media sosial, Instagram, di mana penjelasan kerap dibatasi waktunya satu menit saja.
Menurut Bapak, apa definisi dari keberlanjutan?
Keberlanjutan itu bisa diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dalam suatu taraf. Tidak bergantung terhadap faktor di luar.
Prinsip itu juga yang kami pakai dalam program Environmental, Social, and Governance (ESG) dan Corporate Social Responsibility (CSR), bahwa CSR itu bukan donasi. Almarhum Pak Ciputra mengingatkan bahwa pengusaha jangan cari peluang terus, tapi harus ciptakan peluang.
Pandemi ini dapat dijadikan momentum perubahan, the great reset. Bagaimana pandangan Bapak?
Saat ini bagus untuk Indonesia ganti gigi, masuk ke ekonomi hijau. Tapi tentu prosesnya tidak sederhana. Perlu waktu dan komitmen dari banyak pihak.
Contohnya, sepulang dari Amerika Serikat (AS), saya tidak langsung bergabung ke Barito yang saat itu perusahaan kayu. Kami lihat begitu banyak tekanan terhadap industri kayu, terutama tebangan dari hutan alam.
Kemudian pada 2005-2006, praktis industri kayu lapis di Indonesia habis. Ratusan ribu pekerja hilang. Kenyataannya, industri kayu bukannya hilang tapi pindah. Tadinya produk kayu datang dari Indonesia, sekarang produksinya di Afrika, Amerika Selatan, bahkan Rusia.
Produksi kayu hari ini jauh lebih tinggi dari 1997, tapi lokasi produksinya pindah. Apakah setelah hilangnya industri kayu di Indonesia, hutan lebih bagus? Jawabannya tidak. Hutan bukan lebih terlindung karena munculnya industri baru, seperti sawit atau batu bara.
Saya ingin tekankan bahwa saya tidak anti terhadap sawit atau batu bara. Tetapi, orang akan selalu mencari industri baru, pekerjaan baru. Karena kehilangan kayu, orang masuk ke sawit. Perubahan mendadak itu menciptakan masalah baru terhadap lingkungan.
Bagaimana dengan plastik?
Dunia ini konsumsi plastik kira-kira 350 juta ton per tahun pada 2017. Di Indonesia sendiri konsumsinya sekitar 5,7 juta ton yang didapat dari kombinasi produsen dalam negeri dan impor. Jauh lebih rendah dari konsumsi global.
Kalau kita mau berhenti menggunakan plastik, produk ini harus digantikan oleh material baru, misalnya kertas. Saya bukan anti kertas, tapi kita harus pertanyakan berapa banyak hutan tanaman industri (HTI) yang kita harus tanam agar kertas itu bisa menggantikan plastik? Perubahan yang tiba-tiba itu bisa berbahaya. Ini yang harus dipertimbangkan.
Lalu apa solusinya?
Bagaimana mengelola sampah? Itu masalah utama kita. Dan ini bukan hanya soal plastik, wong kita cuma pakai plastik 5,7 juta dibanding 350 juta ton konsumsi dunia.
Begitu juga di sektor energi. Sering kali NGO atau investor menganggap batu bara itu jelek. Padahal untuk beralih dari fosil ke energi hijau itu memerlukan batu lompatan. Di AS, batu lompatan itu gas yang harganya memang lebih murah dibanding di sini. Di Indonesia, batu lompatan itu mungkin batu bara karena pembangkit listrik kita masih banyak menggunakan batu bara.
Pertanyaan dilematis, apakah batu bara itu baik? Menurut saya itu solusi yang bisa diterima. Karena sekali lagi, ekonomi hijau itu mahal. Tidak ada yang lebih murah, termasuk tenaga matahari. Solar panel kelihatannya per kilowatt-hour (kWh) murah, tapi untuk Indonesia, total biayanya, apalagi kalau mau integrasi dengan baterai, akan lebih mahal.
Jadi solusi keberlanjutan itu analoginya seperti menyetir mobil manual ada gigi satu, dua, tiga. Sangat berbahaya kalau dari gigi satu mendadak pindah gigi lima. Gigi satu ibarat kondisi kita saat ini, gigi lima ibarat kita mau semua pembangkit listrik panas bumi berjalan dengan tarif yang mahal. Mungkin negara bangkrut, tidak bisa menjangkau.
Kta harus realistis, membangun kerja sama yang erat antara pemerintah, swasta dan NGO. Yang pasti, pemerintah harus membuat rencana aksi.
Pandemi ini kesempatan yang baik untuk memindah gigi. Mungkin ada kesempatan antara gigi satu ke gigi tiga. Sementara itu saja.
Berikut adalah grafik yang menggambarkan energi panas bumi di Indonesia:
Tetapi dari pemerintah sepertinya belum ada blue print yang matang untuk beralih ke energi hijau ya?
Saya belum lihat. Tetapi tentu pemerintah melakukan yang terbaik, upaya-upaya kelihatan terutama dalam pengembangan infrastruktur yang begitu pesat.
Covid-19 datang tiba-tiba. Pemerintah saat ini sibuk urusan Covid-19, itu paling penting.
Kembali ke masalah plastik, Barito sudah masuk pengelolaan sampah, termasuk dengan upaya recycling, reuse. Pada 2010, Chandra Asri menghasilkan plastik yang mudah terurai. Apa yang ingin Bapak sampaikan?
Sebenarnya semua plastik bisa didaur ulang. Rata-rata harga 1 ton plastik itu US$ 1000. Bayangkan, harga 1 ton batu bara US$ 50-70.
Konsep bakar sampah plastik itu di otak saya sebenarnya bakar uang. Pertanyaannya, kenapa sampah plastik susah didaur ulang? Sampah plastik di Asia susah didaur ulang karena kantong kresek, plastik sekali pakai digunakan untuk membungkus sampah basah.
Sedangkan, plastik perlu dibersihkan sebelum didaur ulang. Biaya untuk memisah dan membersihkan itu jauh lebih mahal ketimbang nilai plastik itu sendiri.
Contoh ekstrim, di Tokyo, Jepang, masyarakat terbiasa memilah plastik menjadi 17 jenis. Di sini pun ada upaya-upaya yang kami coba lakukan. Misalnya, dengan menggandeng NGO untuk melakukan edukasi memisah sampah organik dan anorganik di rumah. Ini perubahan perilaku yang akan makan waktu lama sekali.
Berikut adalah Databoks yang menggambarkan penggunaan plastik oleh usaha kecil dan menengah (UMKM) di Jakarta: