Tidak Semua Bank Harus Berubah Menjadi Bank Digital

Pingit Aria
28 Maret 2021, 08:00
Jerry Ng
Katadata/Joshua Siringo ringo
Komisaris Utama Bank Jago

Sebenarnya saya mengatakan lebih mudah membangun dari dari awal. Istilahnya,  lebih mudah membangun rumah baru daripada merenovasi. Jadi Artos ini pada waktu itu kami pilih itu hanya memiliki enam sampai tujuh cabang, dan kalau tidak salah sekarang hanya tersisa tiga atau empat cabang.

Kedua, teknologinya tidak ada. Ketiga, jumlah orang di dalamnya hanya sedikit, karena saya komitmen untuk tidak lay off anybody. Jadi sebenarnya kenapa Artos yang kami pilih pada waktu itu adalah karena memenuhi syarat tersebut.

Kalau saya perhatikan dari pengalaman bank-bank lain dengan keadaan pandemi Covid-19 tahun lalu, mereka berbicara sekarang itu harus masuk bank digital dan sebagainya. Saya melihat itu dan kami bersyukur di Bank Artos atau jago tidak ada tantangan tersebut.

Pertama, kami tidak ada masalah non performing loan (NPL). Kedua, khususnya setelah pandemi Covid-19, saya yakin sekali mungkin teman-teman di perbankan juga menyadari bahwa tidak perlu terlalu banyak cabang karena nasabah sebenarnya dapat melakukan transaksi melalui aplikasi. Saya pernah menutup 600 cabang dalam tiga bulan, itu bukan suatu hal yang mudah.

Ketiga, kembali lagi ke teknologi. Membangun di atas teknologi yang sudah ada itu jauh lebih susah daripada kalau kita mulai dari nol. Jadi pemilihan Bank Artos merupakan suatu keputusan yang strategis.

Jerry Ng
Jerry Ng (Katadata)

Seberapa signifikan fungsi big data bagi pengembangan bank yang berbasis teknologi?

Saya merasa big data adalah game changer. Contoh, waktu 30 tahun lebih yang lalu saya masih di Citibank. Saat itu Citibank meluncurkan KPR. Saat nasabah mengajukan pinjaman, bank pasti akan meminta nama, alamat tempat tinggal, tempat kerja dan sebagainya. Dengan berbagai data tersebut, nasabah dinilai, kemudian pengajuannya akan disetujui atau ditolak.

Hari ini, dengan big data, misalnya saya sebagai calon debitur, saya kerja di kantor pusat sebuah bank, tinggal di Menteng. Tetapi kalau kita lacak data nasabah tersebut, misalnya data telekomunikasinya, kok nongkrongnya setiap hari di Bekasi, lalu setiap malam di Tangerang. Kita akan tahu bahwa ada yang salah. Jadi dia tidak tinggal di Menteng, tapi di Tangerang.

Kalau kita tahu gaya hidupnya, berapa sering atau belanja di mana dan sebagainya. Itu akan memberikan gambaran yang lebih lengkap ketimbang one snapshot.

Jadi seperti apa posisi bank itu di dalam ekosistem dan relasinya di dalam ekosistem digital?

Bank itu sebenarnya adalah utility, seperti listrik. Misalnya saya kasih listrik saja dalam jumlah tertentu, mungkin itu tidak ada gunanya. Tetapi kalau tidak ada listrik, hidup juga akan susah.

Jadi yang saya maksud adalah semua alat-alat yang memerlukan listrik itu merupakan ekosistem, apakah itu untuk orang berbelanja, untuk orang memesan makanan dan sebagainya itu merupakan bagian dari gaya hidup. Untuk setiap yang kita lakukan pasti ada hubungannya dengan payment, pinjam-meminjam, tabungan dan sebagainya.

Poin kedua yang ingin saya sampaikan adalah dalam ekosistem yang paling banyak berhubungan dengan pengguna akan mempunyai peran yang jauh lebih penting. Dan saya pikir bank itu bukan suatu institusi yang paling banyak terkait dengan pengguna.

Bank menurut saya bukan pusat dari ekosistem, tetapi bank punya peran yang strategis karena apapun yang dilakukan semua ekosistem itu selalu berujung berhubungan dengan sektor keuangan.

Jadi bisa diartikan bahwa bank terhubung dengan pengguna itu melalui pihak-pihak lain dalam ekosistem. Bagaimana relasi atau kolaborasi dengan para pelaku ekosistem digital maupun dengan bank konvensional, juga fintech?

Khusus untuk Bank Jago, ini adalah core bussiness. Kami memang fokusnya di middle market, kita nanti juga ada syariah, dan kunci bisnis model kita adalah berkolaborasi dengan semua bagian ekosistem.

Gojek merupakan shareholder yang signifikan, but not controlling. Selain Gojek, ada 6 sampai 7 shareholder lain. Kami juga berkolaborasi dengan fintech players, lending.

Kolaborasi itu terlihatnya sangat common sense, tetapi pelaksanaannya itu sebenarnya tidak mudah. Tantangan terbesarnya adalah dua makhluk ini yang datang dari dunia cukup berbeda.

Saya bicara dengan beberapa pendiri startup terkait pengalaman mereka dengan bank. Yang mereka sampaikan, pertama lambat, kedua birokrasi berjenjang, kemudian risk management, compliance.

Kemudian saya bicara dengan bankir mengenai pengalaman mereka dengan para founder startup. Biasanya testimoni mereka, pintar-pintar, inovatif, tapi kok terburu-buru, semua maunya cepat-cepat, bahkan ada yang bilang ala koboi.

Jadi kedua pihak ini sangat berbeda. Bank Jago mencoba menjembatani ini.

Berarti kolaborasi ini sebenarnya sebuah keniscayaan. Bagaimana Anda melihat sejauh ini proses kolaborasinya, baru mulai berjalan atau sudah terwujud sepenuhnya?

Saya merasa sekarang ini masih dalam proses. Tetapi saya percaya bahwa di antara para founder startup ini akan mengapresiasi perbankan sebagai suatu industri yang regulasinya cukup ketat, karena berhubungan dengan sektor keuangan. Kami mempunyai tanggung jawab terhadap publik yang sangat besar.

Sebaliknya, saya juga merasa teman-teman di perbankan harus menyadari bahwa regulasi itu tidak bisa jadi alasan. Misalkan lima tahun yang lalu, waktu Jenius itu kita luncurkan, kita harus melakukan KYC (know your customer) yang menurut aturan harus secara tatap muka. Jadi meskipun dengan teknologi itu bisa dilakukan secara online, tetapi kita harus mengirim orang.

Tetapi sekarang OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sudah memungkinkan video KYC. Jadi regulator juga beradaptasi kok.

Ke depan seperti apa visi dari Bank Jago? Apa rencana-rencana yang akan dilakukan?

Bank Jago ini baru, masih kecil. Kami bersyukur bahwa dengan dukungan berbagai pihak, Bank Jago dari yang tadinya BUKU (Bank Umum Kelompok Usaha) 1, sekarang minimal kita sudah menjadi bank BUKU 3 dari permodalan.

Jalan kami masih panjang. Kalau berbicara mengenai visi, yang selalu saya tanamkan adalah kita tidak boleh berhenti untuk belajar. Kita tidak tahu di mana perjalanan ini akan berhasil. Kita tidak boleh terlalu meyakini bahwa ini akan berhasil karena perubahan itu terjadi semakin cepat.

Jadi, dengan tuntutan untuk selalu relevan, apakah semua bank harus berubah menjadi bank digital?

Saya rasa tidak. Saya melihat bahwa tidak semua bank harus menjadi bank digital untuk berhasil, sebab pasar kita cukup besar. Saya rasa bank digital maupun bank non-digital sama-sama mempunyai kesempatan bisa sukses.

Penekanan saya adalah, mau bank digital ataupun bank non-digital, apapun yang Anda pilih, Anda harus mempunyai suatu bisnis model yang unik.

Halaman:
Reporter: Yura Syahrul

The pandemic has led Indonesia to revisit its roadmap to the future. This year, we invite our distinguished panel and audience to examine this simple yet impactful statement:

Reimagining Indonesia’s Future

Join us in envisioning a bright future for Indonesia, in a post-pandemic world and beyond at Indonesia Data and Economic Conference 2021. Register Now Here!

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...