Laju Vaksinasi Covid-19 Diturunkan Sambil Menunggu Pasokan
Pemerintah mulai memperlambat laju program vaksinasi virus corona (Covid-19) menjadi 300 ribuan dosis per hari. Padahal, dalam sepekan terakhir, program ini sudah mampu menjangkau 500 ribu vaksin dalam satu hari.
Pengurangan laju vaksinasi ini dilakukan karena jumlah ketersediaan vaksin di Indonesia berkurang. Sebagai negara yang belum bisa memproduksi vaksin Covid-19, Indonesia harus bergantung pada suplai vaksin dari negara lain.
Masalahnya, kasus positif covid-19, terutama di negara-negara produsen, seperti India dan Amerika melonjak drastis, ditambah lagi varian baru hasil mutasi virus yang tingkat penyebarannya lebih cepat.
Hal ini membuat negara-negara produsen tersebut memprioritaskan vaksinnya untuk kebutuhan dalam negeri dan membatasi hingga tidak lagi mengekspor. Akibatnya, pasokan vaksin ke sejumlah negara berkurang, termasuk Indonesia.
Rencana awalnya Indonesia memiliki ketersediaan vaksin pada Maret dan April sebanyak 30 juta dosis, makanya laju vaksinasi bisa ditargetkan 500 ribu dosis per hari. “Nah, kalau sekarang suplainya cuma 5 juta, dalam 10 hari bisa abis,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam wawancara khusus dengan Pemimpin Redaksi Katadata.co.id, Yura Syahrul, beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan wawancara ini, Budi juga mengungkapkan pemerintah telah menyiapkan beberapa strategi terkait upaya pemerintah mengatasi keterbatasan pasokan vaksin dan bagaimana program vaksinasi di Indonesia. Berikut kutipan wawancaranya:
Sejauh mana progres vaksinasi?
Ada 10 juta suntikan dicapai pekan yang lalu, per hari ini sudah mencapai 16 juta dosis. Progres vaksinasi bisa cepat karena sepekan terakhir 500 ribu per hari. Jadi, dalam seminggu itu bisa tiga juta suntikan. Angka ini membuat Indonesia berada di posisi nomor empat dunia dari negara-negara yang tidak memproduksi vaksin.
Sampai berapa lama untuk bisa mencapai target?
Masalah utama vaksinasi ini bukan kecepatan vaksinasi atau kemampuan vaksinasi, tapi berapa banyak jumlah vaksin yang kita miliki.
Kecepatan vaksinasi se-Indonesia sekarang 500 ribu per hari, tapi vaksinnya cuma punya 1 juta dosis. Indonesia dari target program vaksinasi 181,5 juta orang, kami suntik dua kali, jadi 363 juta vaksin. Masalahnya, sekarang kemampuan kita hanya bisa satu juta dosis.
Itu isu yang dihadapi semua negara yang tidak bisa memproduksi vaksinnya sendiri. Hanya ada lima negara di dunia yang bisa memproduksi sendiri, Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Cina dan India.
Apa yang membuat pasokan vaksin Indonesia minim?
Masalahnya adalah distribusi, artinya ketersediaan vaksin sampai bulan Juni. Kalau sesuai jadwal mungkin sekitar 90 juta yang bisa kita terima. Tapi kenyataannya, baru berjalan Januari Februari-Maret sudah ada gangguan suplai dari India, yakni produksi AstraZeneca terganggu.
Apa masalahnya?
Semua negara jadi saling mengunci. India tidak mau ekspor. Eropa dan Amerika juga mengunci bahan bakunya. Terjadi kompleksitas yang sangat tinggi pada suplai vaksin dunia. Ini membuat kami menurunkan laju vaksinasi, yang tadinya sudah 500 ribu per hari, sekarang kami turunkan sekitar 300 ribuan sambil menunggu kepastian suplai.
Ada kemungkinan program vaksinasi berhenti?
Sebenarnya kita beruntung memiliki empat suplai vaksin. Ada Sinovac dari Cina, AstraZeneca dari Inggris yang merupakan perusahaan Kanada-Amerika, Biontech Pfizer itu perusahaan dari Jerman startup-nya yang kemudian bekerja sama. Sehingga kalau satu negara tutup kita masih punya negara yang lain.
Bayangkan kalau satu negara vaksinnya cuma dua, kebanyakan di Eropa itu AstraZeneca dan Pfizer, kalau satu hilang atau tertunda kan 50% dari ketersediaan vaksinnya terganggu. Sekarang masalah negara-negara di seluruh dunia adalah ketersediaan vaksinnya.
Pasokan vaksin lain selain AstraZeneca?
Ada lima sumber vaksin untuk Indonesia. Pertama, yang paling besar itu Sinovac dari Cina, rencana 125 jutaan dari mereka. Sumber kedua, AstraZeneca lewat proses bilateral, langsung dengan Astrazeneca-nya itu sekitar 50 jutaan.
Kemudian ketiga, kami berharap ada AstraZeneca yang multilateral, yang gratis berasal dari WHO, perkiraannya mendapat 100 jutaan. Jenisnya sama, Astrazeneca, cuma sumbernya berbeda. Keempat, ada Novavax dari Kanada-Amerika sebanyak 50 jutaan dan Pfizer itu dari Amerika juga 50 juta dosis.
Sayangnya, AstraZeneca jadi yang paling besar sekarang, totalnya 150 juta yang bilateral dan multilateral. Itu keduanya terganggu. Memang kalau yang bilateral jadwalnya lebih banyak masuk ke Indonesia di Juni, dan yang gratis (dari WHO) baru masuk di Mei.
Kalau tidak ada masalah, seharusnya berapa yang didapat Indonesia sekarang?
Apri-Mei ini seharusnya vaksin yang masuk ke Indonesia mencapai 11 juta dosis, tapi realisasinya hanya 1 juta dosis. April yang paling kritis, karena hilang 10 juta suplainya dari target.
Rencana awalnya di Maret 15 juta, April 15 juta ketersediaannya. Jadi, kalau dibagi 30 hari kan pas 500 ribu per hari. Nah, kalau sekarang suplainya cuma 5 juta, dalam 10 hari bisa abis.
Ada sudah ada upaya negosiasi dengan pemasok vaksin?
Negosiasi pertama yang sudah ada itu dengan Astrazeneca. Begitu yang multilateral terganggu, yang bilateralnya juga terganggu. Jadi kita kena dua kali, yang tadinya mereka janji 50 juta setahun, sekarang mereka mundur hanya bisa 20 juta di tahun ini. Sisanya 30 juta lagi di tahun berikutnya. Itu yang membuat kami kesusahan merealisasikan rencana vaksinasi.
Sudah menyiapkan strategi untuk mengatasi ini?
Strategi pertama kami, bernegosiasi kembali. Kenapa yang awalnya sudah ditetapkan sekian, kenapa bisa berubah?
Kami melihat ada vaksin Tiongkok yang konsisten. Walaupun Tiongkok juga begitu melihat Amerika dan India, langsung bereaksi. Sekarang mereka juga jadi piket dua kali, sedang kencang-kencangnya vaksinasi di negaranya.
Untuk teman-teman ketahui, dari lima negara produsen vaksin, Amerika hanya memproduksi vaksin di dalam negeri, tidak boleh keluar (ekspor). Inggris juga sama. Masalahnya India juga bisa melakukan seperti Amerika dan Inggris. Tiongkok juga ada kemungkinan bisa begitu.
Jadi, saat India ditantang (karena terjadi lonjakan kasus Covid-19), kamu kenapa berhenti ekspor? Alasannya, Inggris sama Amerika pun tidak apa-apa.
Strategi kedua adalah untuk nilai. Kita negosiasi untuk memastikan agar jangan berubah juga. Karena perkembangannya jadi dinamis lagi saat ini. Oh, India boleh begitu, kita begini juga, kita gak eksport juga. Dinamika geopolitik vaksin menjadi kental sekali. Jadi kami mencoba mengamankan.
Strategi ketiga, sudah mulai vaksin Gotong Royong yang diberikan gratis ke karyawan, tapi atas nama perusahaan. Kami mendorong teman-teman di BUMN dan Kadin yang ada di depan untuk vaksin Gotong Royong ini. Kami akan membantu selesaikan apa-apa masalahnya, sudah bisa lebih cepat. Sebenarnya ini bukan program pemerintah, tapi kalau mereka bisa masuk, setidaknya ada suplai vaksin yang baru.
Srategi yang keempat, kami ingin memastikan peluang tambahan pasokan vaksin. Kan cuma India yang sudah tutup, tinggal Tiongkok. Rusia juga sedang memulai pendekatan dengan vaksin Gotong Royong. Amerika, saya dengar mereka mempercepat penyelesaian di negaranya. Mereka kemungkinan melepas ekspor di semester kedua. Mungkin agak mundur, tapi mungkin kita masih bisa dapat dari Amerika.
Soal vaksin Sputnik dari Rusia, proses negosiasi atau peluangnya bagaimana?
Kalau untuk program vaksin pemerintah, sudah ditetapkan dari empat sumber. Jadi, apapun merk vaksin baru, nanti masuknya vaksin gotong royong. Leadernya adalah Biofarma dan Kadin. Setahu saya mereka sedang dalam proses negosiasi dengan Biofarma dan Kadin.
Sudah ada persetujuan dari Kementerian Kesehatan?
Prinsipnya, selama vaksin tersebut terdaftar di WHO dan disetujui oleh BPOM, maka kami juga setuju. Mengenai jumlah dan harganya, kami juga harus menyetujui itu.
Saya sudah bilang kepada Kementerian BUMN dan Kadin, kalau sudah sepakat harga dan jumlahnya, dalam dua hari saya keluarkan keputusan menterinya. Karena itu kan bener-bener business to business dan uangnya tidak memakai uang negara. Saya sebagai regulator hanya memberi persetujuan.