Larangan Ekspor Batu Bara untuk Menjaga Hak Rakyat

Rezza Aji Pratama
7 Februari 2022, 17:43
Dirjen Minerba Ridwan Djamaluddin
Katadata

Ibu Kota Jakarta nyaris mengalami pemadaman listrik awal Januari lalu. Penyebabnya, 17 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) terancam berhenti beroperasi karena ttak dapat pasokan batu bara. Pangkal soalnya adalah kewajiban pemenuhan pasar domestik alias domestic market obligation atau DMO batu bara sebesar 25% yang tak dipatuhi semua perusahaan. Banyak perusahaan yang justru mengekspor batu bara ke luar negeri. 

Data Kementerian ESDM menunjukkan hingga 1 Januari 2022, sebanyak 490 perusahaan belum memenuhi ketentuan DMO. Sebanyak 418 perusahaan bahkan belum pernah mengirimkan batu baranya ke PLN. Disparitas yang terlalu lebar antara harga jual ke PLN dengan harga di pasar internasional membuat perusahaan batu bara mengabaikan pasar domestik. 

Pemerintah sempat melarang seluruh ekspor batu bara hingga akhir Januari lalu. Kebijakan tersebut menuai kontroversi, khususnya dari perusahaan batu bara dan para mitra konsumennya di luar negeri. Kedutaan Besar Jepang mengirim surat resmi memprotes kebijakan itu karena khawatir pembangkit listrik di negaranya terancam tidak bisa beroperasi menjelang musim dingin. 

Kini, sejak 1 Februari lalu, pemerintah sudah mencabut larangan ekspor bagi perusahaan batu bara yang telah memenuhi kewajiban DMO. ? Bagaimana agar kondisi tersebut tidak terulang di masa mendatang? Apa saja kebijakan pemerintah ke depan? Berikut petikan wawancara Katadata dengan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin dalam acara khusus D-Insights pada pekan pertama Februari lalu.

Sejak Desember 2021 persoalan kisruh pasokan batu bara menjadi pembicaraan publik, bahkan Presiden Joko Widodo sampai memberikan pernyataan. Apa yang sebenarnya terjadi?

Kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara sebenarnya sudah ditetapkan sejak 2018. Tetapi memang masih ada banyak masalah dan pelanggaran yang terjadi. Harus kita akui level kita baru segitu. Ada tanda verboden tidak boleh masuk, kita melawan arus. Ada dibilang 25% kita kasih 10%. Itu masih praktik umum yang terjadi. 

Nah, masalah kemarin itu memang muncul akibat disparitas harga yang sangat signifikan antara harga di dalam negeri dengan harga ekspor. Maka muncul godaan untuk menjual batu bara ke luar negeri. 

Sebetulnya ini bukan masalah yang terlalu sulit untuk diselesaikan. Ilustrasinya ada pelanggaran lalu lintas, ya sudah kalau di lampu merah tidak boleh jalan, kita taruh polisi saja. 

Masalahnya soal pasokan batu bara ini bukan cuma soal penegakkan hukum saja, tetapi juga dampak risikonya. Itu yang membuat masalah ini menjadi sangat serius. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyampaikan bahwa jika tidak ada pasokan batu bara, 17 PLTU berpotensi padam yang akan berimbas kepada 10 juta pelanggan.

Maka kami menerapkan manajemen darurat. Sebelumnya kita gunakan pendekatan persuasif dengan mengirim surat dan menggelar rapat, ternyata tidak efektif. Akhirnya negara harus menggunakan kekuasaannya untuk melindungi rakyat. 

Batu Bara Kembali Diekspor Ssecara Bertahap
Batu Bara Kembali Diekspor Ssecara Bertahap (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.)
 

Seberapa kritis kondisi kisruh pasokan batu bara saat itu?

Pemerintah sudah menugaskan badan usaha untuk mengirimkan 5,1 juta ton batu bara kepada PLN, tetapi realisasinya cuma 35.000 ton. Ini kan artinya sebuah sikap yang tidak serius. Maka pemerintah memutuskan untuk menutup pintu ekspor. Tujuannya bukan semata-mata menghukum, tetapi juga menjaga hak rakyat atas batu bara ini agar terlindungi dari sikap-sikap serakah. 

Artinya kalau harga batu bara di pasar internasional tidak terlalu tinggi, seharusnya tidak ada masalah dengan komitmen DMO?

Sebetulnya iya. Jadi sebetulnya saya tidak ingin membuat regulasi yang sudah mengikat, kita kaitkan dengan dinamika pasar yang dinamis. Regulasi sudah mewajibkan 25% produksi batu bara harus dijual ke dalam negeri. Tapi tidak bisa juga misalnya harga sedang tinggi lantas kita turunkan. Dengan begitu, ketidakpastian hukum itu menjadi masalah.

Tugas kami sebagai eksekutif mengeksekusi regulasi saja. Sekali lagi saya mengajak untuk menaati regulasi. Jangan tergoda dengan harga. Dalam bisnis kan biasa kadang harga bagus kadang tidak. Tapi sekali lagi ketika regulasi sudah menentukan maka kita patuh saja. 

Selain soal harga batu bara di pasar internasional, bagaimana kondisi kontrak pembelian batu bara PLN dengan trader yang tidak dikenakan ketentuan DMO?

Memang salah satu yang kita identifikasi adalah banyaknya transaksi PLN dengan perusahaan perdagangan atau traders. Di dalam regulasi, memang traders ini tidak diikat dengan kewajiban DMO. Jadi bebas saja mereka. Bagi PLN, mungkin ada fleksibilitas kalau dengan traders itu. Biasalah pelaku bisnis juga ingin lebih mudah proses bisnisnya. 

Namun sekali lagi ini membuktikan bahwa akibat dari fleksibilitas itu begini dampaknya. Memang konsekuensi dari sesuatu yang mengikat di depan, itu kalau kita mau berubah lebih sulit. 

Nah kemudian sekarang sudah jelas, akhirnya PLN wajib langsung membeli batu bara dari perusahaan tambang dengan kontrak jangka panjang. Dalam rapat terakhir, PLN menyatakan untuk 2022 sudah berkontrak jangka panjang secara mencukupi. 

Jadi memang ada masalah di mekanisme bisnis itu, di mana sebuah fleksibilitas itu tidak selalu produktif.

Pemerintah merilis kewajiban bagi PLN untuk melakukan kontrak dengan perusahaan pertambangan, apakah masih ada celah untuk traders?

Aturan itu sudah dibicarakan oleh para Menteri dan DPR. Mungkin perusahaan traders bisa mencari pola baru. Kontrak PLN harus dengan perusahaan tambang langsung, tetapi kalau perusahaan tambang itu mau memudahkan bisnisnya melalui traders silahkan saja. Tapi ikatan PLN itu dengan perusahaan tambang. 

Apakah surat penugasan kepada pemegang IUP dan/atau PKP2B bisa dibuat permanen? 

Kami ingin proses business to business mengalir saja tanpa banyak intervensi pemerintah. Kecuali kalau prosesnya tidak berjalan, silahkan dilaporkan dan kami siap intervensi. 

Pemerintah akhirnya merevisi aturan DMO batu bara. Apa saja substansi revisi tersebut? 

Salah satunya terkait kewajiban pemantauan yang sebelumnya dilakukan per tahun diubah jadi per bulan. Jadi sekarang produsen batu bara itu akan kita evaluasi setiap bulan berapa pemenuhan DMO-nya, baru kemudian kita keluarkan kebijakan boleh ekspor atau tidak. PLN sudah mengembangkan aplikasi yang tersambung dengan aplikasi di Ditjen Minerba sehingga bisa kita pantau terus menerus. 

Terkait denda dan sanksi kita buat lebih seimbang. Denda yang dikenakan itu berupa selisih harga jual antara pasar domestik dengan internasional. Misalnya perusahaan menjual batu bara ke luar negeri dengan harga US$ 150 per ton, sedangkan kalau jual ke PLN US$ 70 per ton. Artinya ada selisih harga US$ 80 per ton. Nah, inilah nilai yang akan menjadi denda bagi perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan DMO. Jadi ujung-ujungnya lebih baik jual ke dalam negeri. 

Apakah penerapan evaluasi DMO secara bulanan menjadi langkah yang tepat?

Terkait DMO, ketika kita menerapkan kebijakan ini tentu pasar domestiknya harus ada. Misalnya untuk batu bara kalori tinggi kita tidak ada pasarnya di dalam negeri. Maka tidak dikenakan ketentuan DMO.

Ada juga wacana DMO tidak dikunci di 25% tetapi diatur setiap kuartal. Jadi PLN dan perusahaan-perusahaan yang memerlukan batubara untuk tahun selanjutnya sudah punya perencanaan. Ini untuk menghindari kelebihan kapasitas. 

Jadi kira-kira sama seperti kalau lembaga pemerintahan mengajukan anggaran kepada Kemenkeu. Kami tahun ini butuh anggaran sekian triliun, maka dikasihnya segitu. Jangan sampai nanti kita mengalokasikan berlebihan pula. 

Pemerintah akan membentuk Badan Layanan Umum Batu Bara (BLUBB), apakah ini langkah yang efektif?

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...