Ekonomi Global Tertekan, Fundamental Indonesia Lebih Kuat

Gabriel Wahyu Titiyoga
17 Juni 2022, 13:01
Taimur Baig
Katadata

Pandemi Covid-19 yang berlangsung dua tahun terakhir masih menekan perekonomian global. Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari lalu juga sudah mengganggu suplai bahan pangan dan energi ke banyak negara. Di sisi lain, kebijakan pemerintah Amerika Serikat menaikkan tingkat suku bunga menambah disrupsi ekonomi.

Chief Economist dari DBS Bank, Taimur Baig, menyebut disrupsi ekonomi, terutama di sektor pangan dan energi, diperkirakan berlanjut. Pasalnya, tidak ada tanda-tanda perang di Ukraina selesai dalam waktu dekat. Meski demikian, dia menyebut komoditas pangan dunia sebenarnya cukup. Dunia pun tidak sedang menghadapi krisis pangan. “Masalahnya hanya pada distribusi,” kata dia.

Indonesia adalah salah satu konsumen gandum Ukraina terbanyak. Laporan United Nations (UN) Comtrade 2021 menempatkan Indonesia di posisi kedua importir gandum asal Ukraina dengan impor sebanyak 2,81 juta ton atau 14,49% dari total ekspor gandum Ukraina dalam setahun. Nilai transaksinya lebih dari US$ 638 juta dolar, terbesar dibandingkan negara Asia lainnya.

Meski kondisi ekonomi dunia tertekan, Baig menyebutkan ekonomi Indonesia memiliki prospek yang menjanjikan. Selain perkembangan perekonomian domestik, defisit fiskal dan rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang rendah membuat Indonesia lebih tahan menghadapi goncangan ekonomi global. Baig menilai tidak ada urgensi juga bagi Bank Indonesia untuk segera menaikkan suku bunga meski Amerika sudah melakukannya. 

Kepada tim Katadata di kantor DBS di Capital Place, Jakarta, pada Selasa (31/5) lalu, Baig memaparkan dampak situasi geopolitik global pada perekonomian, termasuk Indonesia. Menurut Baig, Indonesia sudah menikmati pemulihan ekonomi setelah didera pandemi Covid-19. Berikut petikan wawancaranya. 

Sejumlah hal krusial, seperti perang di Ukraina dan pelambatan ekonomi di Cina, membayangi perekonomian dunia dan ini dikhawatirkan memicu resesi global. Bagaimana Anda memandang situasi ini?

Perang di Ukraina jelas menjadi pukulan besar bagi tatanan geopolitik yang berdampak pada ketahanan energi dan pangan bagi banyak negara di dunia. Belum ada tanda-tanda situasi ini akan membaik dalam waktu dekat. Kita harus bersiap menghadapi disrupsi energi dan pangan yang berkelanjutan.

Banyak negara yang khawatir bahwa ketidakpastian itu mempengaruhi kondisi di dalam negerinya. Kita tahu beberapa negara sudah memutuskan menahan stok gandum, gula, dan minyak mereka. Ini jelas akan berdampak pada kehidupan banyak orang. Biar bagaimana pun, pada akhirnya masyarakatlah yang berurusan dengan harga pangan setiap hari.

Suplai komoditas pangan di dunia itu sebenarnya cukup. Kita tidak sedang berada dalam krisis pasokan pangan. Masalahnya adalah distribusi. Di satu tempat sana ada terlalu banyak komoditas pangan yang tidak tersalurkan dengan baik ke dunia.

Ukraina, misalnya, adalah salah satu produsen gandum terbesar. Ada banyak stok gandum di sana. Tapi mengeluarkannya dari sana yang jadi masalah. Kita berharap komunitas internasional bisa bekerja sama untuk mencari cara meningkatkan distribusi suplai pangan ini.

Bagaimana dengan kebijakan melarang ekspor komoditas seperti yang sudah terjadi ini?

Kita berharap manifestasi dari gairah nasionalisme tidak berkembang lebih jauh lagi, seperti yang sudah kita lihat melalui berbagai larangan ekspor. Ini bisa membahayakan ketahanan pangan dunia.

Kebijakan ekonomi pemerintah Amerika Serikat, terutama soal kenaikan suku bunga, akan berdampak juga?

Kebijakan suku bunga dan inflasi juga menjadi perhatian dunia dan tantangan bagi pasar negara berkembang. Dalam 30-40 tahun terakkhir, kita melihat bahwa setiap kali Amerika menaikkan suku bunga, bisa berdampak pada pasar global, menekan nilai uang negara berkembang, dan mempengaruhi volatilitas aliran modal. Ini mempersulit perekonomian negara yang bergantung pada aliran modal global yang suku bunganya mengikuti tren global.

Hal-hal seperti itu adalah tantangan, tapi bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan secara mendalam. Sebab, tidak seperti episode sebelumnya ketika kenaikan suku bunga memicu banyak masalah di Asia, negara-negara di Asia saat ini memiliki lebih banyak cadangan devisa dan defisit transaksi berjalan rendah sehingga lebih mampu menghadapi situasi sulit terkait tingginya suku bunga atau perubahan aliran modal.

Negara-negara di Asia punya kemampuan menghadapi tantangan itu. Ekspor ke luar Asia, misalnya, baik itu komoditas atau elektronik, permintaannya sangat bagus. Perekonomian pun membaik.

Lihatlah pada 2021, turisme di Asia turun drastis. Pada 2022, kondisinya membaik, lebih banyak turis. Memang tidak sebanyak turis dari Cina atau Rusia seperti sebelumnya. Tapi turis-turis dari negara Asia lain, Eropa Barat, dan Amerika cukup substansial. Turisme dan ekspor adalah dua hal baik untuk perkembangan Asia tahun ini.

Pandemi Covid-19 mulai membaik meski belum dinyatakan selesai. Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian?

Sejak tahun lalu hingga saat ini, tingkat vaksinasi dan perawatan mereka yang terjangkit Covid-19 sebenarnya sudah jauh lebih baik. Kita bahkan sudah lebih siap meski ada varian-varian virus bermunculan. Kita tidak akan membuat lockdown besar apalagi sampai membatasi perekonomian gara-gara Covid. Seperti saya sebutkan tadi, ada prospek bagus dalam ekspor dan turisme. Inilah yang membuat saya lebih yakin dengan masa depan perekonomian Asia.

Masih ada negara-negara di Asia yang kerepotan mengurus dampak pandemi. Sri Lanka bahkan sampai dinyatakan bangkrut pada akhir April lalu. Bagaimana Anda menilai situasi seperti ini?

Sri Lanka menjadi narasi peringatan bagi para pengambil kebijakan di negara-negara berkembang. Jika Anda tidak memiliki fundamental makroekonomi yang bagus, lalu ada badai melanda finansial global, Anda ikut terpukul. Memasuki 2022, fundamental ekonomi Sri Lanka sangat rentan. Posisi dana simpanan mereka lemah, impornya terlalu tinggi. Pada saat harga minyak naik, harga pangan naik, neraca pembayaran mereka tak dapat dipertahankan.

Meski demikian, saya tidak melihat risiko serupa ada di Asia Tenggara. Sebab dana cadangan tinggi, neraca pembayaran cukup kuat. Jadi kemampuan menghadapi perubahan, entah itu akibat suku bunga yang tinggi atau harga pangan naik, sudah lebih besar.

Apa yang terjadi di Sri Lanka adalah hal yang menyedihkan. Namun menurut saya hal seperti itu tidak akan terulang lagi di mana pun, termasuk Indonesia.

Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi, di antaranya pada 1998 dan 2008. Bagaimana Anda melihat situasi saat ini?

Apa yang terjadi di dunia jelas membawa dampak kepada kita. Kita tidak kebal terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak dan pangan. Inflasi yang meningkat akan menyulitkan masyarakat Indonesia, sebab mereka akan menghabiskan lebih banyak uang untuk hidup sehari-hari. Kenaikan inflasi juga bisa memicu Bank Indonesia menaikkan suku bunganya. Ini membuat banyak perusahaan juga kesulitan.

Ketika tadi saya menyatakan sudah ada kemampuan untuk menghadapi krisis, bukan berarti itu akan lancar-lancar saja. Tetap akan ada gejolak, namun itu bisa dikelola karena fundamental ekonomi negara ini sudah jauh lebih baik.

Apakah Bank Indonesia perlu menaikkan suku bunga?

Saya memahami situasi yang dihadapi Bank Indonesia. Sebagian harga bahan bakar minyak masih disubsidi. Namun tidak ada masalah pangan besar sejauh ini di Indonesia. Kondisi perekonomian, di luar kenaikan suku bunga yang terjadi di Amerika, tidak terlalu berdampak pada volatilitas rupiah.

Alasannya adalah komoditas. Indonesia mengekspor banyak komoditas. Tingginya harga komoditas membantu Indonesia. Jadi ini seperti dua sisi koin. Di satu sisi, Indonesia memiliki masalah subsidi karena harga minyak naik, juga soal penyesuaian suku bunga. Di sisi lain, Indonesia memiliki harga komoditas tinggi, artinya pendapatan nonpajak akan meningkat dan akhirnya membantu neraca keuangan.

Indonesia, yang ikut mengalami dampak kenaikan harga pangan dan minyak dunia tapi juga mendapatkan hasil dari ekspor batu bara, minyak, dan gas, tidak berada dalam bahaya seperti halnya negara yang sangat bergantung pada impor. Banyak negara Asia tidak memproduksi komoditas, tapi justru mengimpornya. Dengan demikian, Indonesia lebih terlindungi dibanding negara yang hanya mengimpor energi.

Dari perspektif kebijakan moneter, cepat atau lambat tingkat suku bunga perlu naik. Meski demikian, tidak ada kondisi mendesak seperti halnya di tempat lain di mana dampak inflasi dan risiko neraca pembayaran lebih besar.

PRESIDEN KUNJUNGI PASAR TRADISIONAL DI SERANG
Presiden Joko Widodo mengunjungi pasar tradisional di Serang, Banten. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/ foc.)



Jadi prospek ekonomi Indonesia berada di jalur yang tepat?

Kalau menganalisis kondisi outlook ekonomi regional, Indonesia sebenarnya tidak lagi bergantung pada apa yang terjadi, misalnya di Amerika atau Cina. Outlook ekonomi Indonesia justru lebih dipengaruhi faktor domestik.

Pertumbuhan ekonomi Amerika mungkin akan melambat pada paruh kedua tahun ini. Di Cina sudah terjadi pelambatan ekonomi. Hal ini menjadi faktor negatif bagi sejumlah negara Asia, tapi tidak menjadi masalah untuk Indonesia. Dengan pertumbuhan ekonomi berkisar 4,5-4,8% tahun ini, Indonesia tidak lagi bergantung pada apa yang terjadi di Amerika atau Cina. Perekonomian domestik tumbuh kembali setelah Covid-19. Turisme pun berkembang.

Menurut saya, risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang tinggi tidak terjadi di Indonesia. Saya khawatir hal itu terjadi di negara-negara Asia lain, bukan di Indonesia.

Bagaimana dengan jumlah utang Indonesia yang bertambah? 

Rasio antara utang dan pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia, bahkan menurut komparasi internasional, tergolong rendah. Tidak sampai 40%. Sementara di Amerika, rasionya hampir 100%, India sudah 70%.

Sejak krisis 1997-1998, Indonesia menjadi lebih konservatif dalam hal pinjaman sektor publik dan defisit fiskal. Di negara mana lagi di Asia defisit 2% dari GDP sudah dinilai buruk? Sebagian besar negara lain bahkan masih menerima defisit sekitar 5-7%.

Defisit tahunan dan rasio utang Indonesia jauh lebih rendah dari negara-negara setara, baik di Asia dan dunia. Jadi ketika para investor global melihat Indonesia, mereka jarang sekali mencemaskan kondisi utang sektor publik.

Tentu saja hal itu bukan berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan. Jika defisit bertambah dan rasio utang naik tajam, tentu Anda akan cemas. Tapi melihat apa yang sudah terjadi dalam dua tahun terakhir, ketika ada negara lain punya defisit 10-15% dan rasio utang dengan PDB meningkat lagi 20%, Indonesia masih lebih baik.

Negara mana yang bisa dikomparasi dengan Indonesia?

Brasil. Populasinya mirip. Kedua negara memiliki geografi dan sumber daya alam yang besar. Di saat yang sama, selain komoditas, tidak banyak mengekspor elektronik atau menjadi bagian dari rantai pasok global.

Pelajaran penting dari pengalaman Brasil dalam 100 tahun terakhir adalah, pertama, jangan terlalu bergantung pada ekspor komoditas karena sangat volatil. Kedua, jangan membuat peran sektor publik begitu besar hingga malah mengekang sektor swasta. Di Brasil, peran pemerintah begitu besar, bisa mengumpulkan pendapatan hingga 30% PDB, namun membuat sektor swasta tak bisa apa-apa.

Pemerintah Indonesia membentuk beberapa holding untuk mengendalikan pasokan sejumlah komoditas pangan dan energi. Bagaimana Anda menilainya?

Apa yang orang inginkan dari pemerintah adalah keamanan, baik itu di bidang hukum, energi atau pangan. Tak ada yang ingin stasiun pengisian bahan bakar malah kehabisan bensin atau tak ada apa-apa di toko pangan. Yang penting rantai pasok aman, masyarakat tak peduli itu itu dikelola pemerintah atau swasta.

Jika sektor swasta tak memenuhinya, pemerintah perlu berperan untuk memperbaikinya. Ini bisa dilakukan lewat pengadaan publik, kepemilikan publik pada bagian penting rantai pasok, reformasi kelembagaan, atau regulasi untuk menyediakan layanan bagi publik. Intervensi masih diperlukan untuk mengelola rantai pasok dalam menyediakan ketahanan pangan dan energi bagi masyarakat.

Indonesia akan menghadapi pemilihan umum pada 2024. Bagaimana dampak persiapan kampanye menuju ke sana terhadap perekonomian?

Tanda demokrasi yang matang adalah ketika siklus politik tidak begitu mempengaruhi siklus ekonomi. Tak peduli siapa presiden saat ini atau pada 2024, arah ekonomi seharusnya tak tergantung ke sana. Dalam 10-20 tahun terakhir, Indonesia sudah menunjukkan, ketika ada pemilihan presiden atau transisi pemerintahan, sebagian besar arah ekonomi tak terpengaruh.

Ini berbeda dengan Amerika, misalnya, ketika dua partai idi sana merepresentasikan ideologi ekonomi yang sangat berbeda. Ketika satu partai berkuasa, dia bisa membatalkan hal-hal yang sudah dikerjakan rivalnya sebelumnya. Bercampurnya siklus politik dan ekonomi seperti itu memicu ketidakpastian untuk investor dan masa depan ekonomi.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...