Ruandha Agung: Komitmen RI untuk Menurunkan Emisi GRK Sektor FOLU Sangat Kuat
Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, Indonesia kembali menegaskan peran strategisnya sebagai salah satu negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia. Dalam forum internasional yang berfokus pada peningkatan ambisi iklim serta penguatan aksi mitigasi dan adaptasi ini, sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry, Land, and Other Uses atau FOLU) menjadi sorotan utama.
Indonesia membawa komitmen besar melalui agenda FOLU Net Sink 2030, sebuah peta jalan nasional yang menargetkan agar sektor FOLU menyerap emisi lebih banyak daripada yang dilepaskan pada tahun 2030. Komitmen ini tidak hanya menjadi landasan penting bagi diplomasi iklim Indonesia, tetapi juga menjadi contoh bagaimana negara berkembang dapat merancang strategi berbasis data, konservasi, dan tata kelola untuk mencapai hasil nyata dalam pengurangan emisi.
Fitria Nurhayati dari Katadata Green berkesempatan mewawancarai Ruandha Agung, Penasihat Senior Indonesia's FOLU Net Sink 2030, di sela-sela perhelatan COP30 di Belem, Brasil, untuk membahas lebih lanjut mengenai hal ini. Berikut petikan wawancaranya.
Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB COP30 ini, apa pesan utama yang dibawa oleh Indonesia, terutama untuk sektor FOLU (Forestry, Land and Other Uses)?
Ya, seperti diketahui dari NDC (Nationally Determined Contribution) kita itu ada lima sektor untuk menurunkan emisi karbon. Dari sektor energi, sektor pertanian, sektor limbah, sektor industri, dan sektor FOLU. Dari kelima sektor ini 60% penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor FOLU.
Artinya apa? Keberhasilan komitmen global Indonesia itu tergantung dengan keberhasilan Indonesia merealisasikan target-target di FOLU itu. Oleh karena itu, di COP30 Belem ini kita sampaikan bahwa komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca itu dari sektor FOLU ini kuat sekali. Terbukti kita sudah punya rencana operasional untuk mencapai FOLU Net Sink pada tahun 2030.
Itu selalu kita gaungkan sehingga betul-betul dunia internasional atau Indonesia serius untuk aksi mitigasi di FOLU ini. Itu yang kita sampaikan kepada dunia. Kalau melihat posisi tawar Indonesia di COP30 ini, dengan capaian FOLU Net Sink sebetulnya angkanya sama.
Bagaimana capaian FOLU Net Sink Indonesia dalam beberapa tahun terakhir?
Dari hasil kerja sektor FOLU paling enggak 2-3 tahun terakhir ini, secara signifikan aksi mitigasi yang dilakukan di FOLU ini berdampak sangat positif terhadap penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. Deforestasi kita turun, kebakaran hutan kita turun, walaupun orang bilang sekarang lagi enggak ada El Nino dan sebagainya. Tapi, upaya-upaya di tingkat tapak tetap kita lakukan.
Pembalakan liar juga turun. Nah isu-isu itu atau aksi mitigasi itu yang kita lakukan, kita sampaikan ke dunia internasional bahwa kita tidak "take it for granted" bahwa deforestasi turun, tapi ada upaya langsung di tingkat tapak untuk melakukan aksi mitigasi. Dengan begitu, kita yakin terjadinya penurunan emisi di Indonesia dari sektor FOLU itu salah satu karena adanya upaya aksi mitigasi di tingkat tapak itu.
Berarti keterlibatan masyarakat menjadi penting, ya Pak?
Iya, sangat penting. Kita berkomitmen di tingkat global, tapi bagaimana realisasi itu bisa terjadi di tingkat tapak kan kita harus merangkul semuanya. Ini terbukti dengan rencana operasional kita.
Rencana operasional disusun secara nasional ya, tetapi kita detailkan rencana operasional subnasional. Jadi, kita sudah susun 35 rencana operasional subnasional provinsi. Masih kurang tiga di Papua, mudah-mudahan tahun ini bisa kita selesaikan enam.
Dari situ keterlibatan Pemda kemudian dinas-dinas di provinsi tersebut, masyarakat, universitas, pemuda dan perempuan, kemudian dari sekolah-sekolah itu kita libatkan semuanya.
Aksi mitigasi itu tidak bisa digerjakan sendiri oleh pemerintah. Tetap harus melibatkan orang-orang yang ada di provinsi tersebut.
Selama proses negosiasi di COP30, apa saja poin-poin yang di-highlight untuk FOLU Net Sink?
Jadi, FOLU Net Sink kalau saya simplifikasi ada tiga kegiatan utama. Yang pertama, aksi mitigasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Ini kegiatan utamanya adalah mengurangi deforestasi, mengurangi kebakaran lahan dan hutan.
Kemudian, aksi mempertahankan stok karbon kita. Hutan-hutan yang masih bagus itu kita jaga betul, kita lakukan patroli, kita lakukan pencegahan kebakaran, dan sebagainya. Ketiga, aksi menambah stok karbon, kegiatan utamanya adalah rehabilitasi. Dari tiga kegiatan ini yang paling kita tekankan untuk menambah tutupan hutan tentunya rehabilitasi.
Oleh karena itu, lebih dari 50% dana FOLU Net Sink ini kita alokasikan untuk penanaman-penanaman. Dari penamaman mangrove, hutan-hutan yang kritis, itu yang kita lakukan.
Kalau untuk pencegahan kebakaran itu sudah default, itu harus ada. Menurut kami, dari perhitungan tahunan emisi Indonesia itu, kalau kita bisa mempertahankan tidak terjadi kebakaran di lahan gambut kita, sebetulnya emisi itu mudah sekali dicapainya. Oleh karena itu, kita jaga betul tidak terjadi kebakaran terutama di lahan gambut kita.
Makanya di sesi-sesi talkshow di Paviliun Indonesia itu kebanyakan bagaimana kita bisa mengelola gambut dengan baik, bagaimana melakukan rehabilitasi mangrove sehingga betul-betul menambah stok karbon kita, untuk menjaga serapan emisi dari hutan kita ini tetap terjaga dengan baik.
Proses rehabilitas apakah difokuskan ke gambut, mangrove? Di lapangan seperti apa tantangannya?
Selama ini tantangan utamanya adalah pembukaan mangrove untuk tambak atau untuk kayu arah. Itu kan harganya mahal mereka jual karena memang kandungan karbon dari hutan mangrove itu sangat tinggi sekali. Sehingga harga jualnya sangat tinggi.
Begitu mangrove itu ditebang, kemampuan mangrove kita menyerap emisi jadi merosot sekali. Nah itu yang harus kita jaga. Artinya, tantangan antara ekonomi bisnis dengan tantangan environment harus kita seimbangkan.
Bagaimana kita memberi kompensasi atau alternatif masyarakat. Kamu jangan tebang mangrove-nya, tapi diberi alternatif lain. Itu tugas Pemda, NGO yang bisa mendampingi mereka untuk mencarikan solusi, mencarikan alternatif-alternatif lain.
Sejauh mana upaya menjaga gambut dan mangrove ini bisa kita tampilkan di COP30? Respons dari negara-negara lain dan negosiasinya seperti apa?
Kita selalu dorong bahwa 25% mangrove dunia itu ada di Indonesia. Potensi mangrove kita itu sangat besar.
Nah dari 3,4 juta hektare mangrove kita itu, itu kondisinya 90% masih bagus. Taruhlah 10% yang kondisinya kurang bagus, itu yang kita mintakan dukungan dari dunia internasional sehingga kita bentuk World Mangrove Center (WMC).
Bagaimana bisa ada suara yang cukup kuat dari Indonesia, upaya-upaya Indonesia untuk mengelola mangrove seperti ini. Kita minta dukungan mereka. Sudah ada Swedbank, Jerman, Qatar juga tertarik untuk membantu. Ini karena kita gaungkan itu di forum-forum internasional sehingga kita betul-betul mendapatkan perhatian lebih dari dunia internasional untuk mengelola mangrove kita.
Di Finlandia kita juga begitu. Kita aktif di lembaga ITBC (International Tropical Peat Community). Indonesia sebagai leader di situ. Kita membuat komunitas-komunitas yang memberikan suara lebih kuat bahwa di mangrove kita punya suara, di peatland (gambut) kita punya suara. Sehingga, orang yakin bahwa Indonesia doing good things untuk mangrove dan peatland itu.
Kalau dari sektor primer sendiri bagaimana? Nah, yang kedua mempertahankan stok karbon kita. Artinya penjagaan, patroli, kemudian pencegahan dari kebakaran. Itu juga kita gaungkan di internasional.
Bagaimana kita bisa mendapatkan kompensasi itu dari dunia internasional karena kita menjaga hutan dengan baik. Apa kontribusimu terhadap upaya yang dilakukan oleh Indonesia?
Jepang, Korea juga mereka membantu di pencegahan kebakaran hutannya. Kemudian, kita mendapat dukungan dari Norwegia untuk patrolinya dan sebagainya. Betul-betul secara internasional kita sampaikan juga bahwa melindungi hutan itu bukan take it for granted, tapi ada upaya yang kita lakukan.
Nah, upaya itu perlu dana. Patroli kita perlu helikopter, perlu polisi hutan, pencegahan kebakaran kita perlu Manggala Agni, perlu teknologi modifikasi cuaca. Itu kan semuanya perlu pendanaan-pendanaan itu.
Kita sampaikan ke dunia internasional bahwa kita perlu dukungan untuk melakukan itu semua. Yang jelas RBP (Result Based Payment) kita dapat dari Norwegia US$ 216 juta (Rp 3,6 triliun). Dari GCF Global Climate Fund, kemudian dari FCPF, World Bank untuk biokarbon di Jambi kita dapat juga US$ 73 juta (Rp 1,22 triliun).
Sumber-sumber pendanaan itu yang terus kita gali di internasional. Kemudian dari Qatar, dari Jerman, dari Inggris. Inggris ini yang janji-janji saja tapi belum turun juga dana.
Menteri-menteri kita dan Pak Hashim (Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden untuk Bidang Energi dan Iklim) sempat bertemu Pangeran William di Rio de Janeiro. Mudah-mudahan itu disampaikan juga komitmen di Indonesia untuk mempertahankan tropical rainforest-nya masih signifikan bagi mereka.
Diplomasi Indonesia di bidang iklim apa saja?
Ini Paviliun Indonesia salah satu upaya Indonesia untuk menunjukkan ke dunia. Nah, ini kita sebut sebagai soft diplomacy. Kalau hard diplomacy di ruang-ruang sidang itu. Tapi soft diplomacy kita ada di sini. Jadi, kita tunjukkan ini best practice yang kita lakukan, showcase yang sudah kita kerjakan. Banyak sekali.
Banyak badan internasional, seperti World Bank dan negara lain bisa melihat bahwa Indonesia enggak ecek-ecek ini. Enggak hanya laporan ke UNFCCC saja, tapi betul-betul itu terjadi di tingkat tapak.
Finlandia mengagumi sekali keberhasilan pengelolaan gambut di Indonesia dengan melibatkan masyarakat. Mereka bilang akan meniru upaya ini di negara mereka.
Best practice Indonesia diapresiasi banyak negara di beberapa COP. Misalnya, untuk mencegah kebakaran hutan menggunakan teknologi modifikasi cuaca. Coba lihat kebakaran hutan di Australia, di Amerika itu sampai jutaan hektare kan? Kita enggak sampai juta-jutaan hektare, artinya upaya-upaya itu yang nyata kita kerjakan.
Kalau di ruang negosiasi bagaimana posisi Indonesia?
Di ruang negosiasi, saya yakin suara yang disampaikan enggak jauh beda dengan best practice atau window case yang kita sampaikan di sini. Pasti negosiator kita akan tahu juga posisi kita.
Jadi, orang melihatnya cocok. Yang diomongkan di negosiasi seperti ini, mereka lihat soft diplomacy seperti ini. Oh, Indonesia konsisten. Nah, dengan konsistensi kita, negara-negara donor semakin yakin untuk memberi dukungan ke kita.
Itu terlihat dari apa, Pak?
Dari semakin banyak negara yang akan berkomitmen memberikan dana . Contohnya yang konsisten ini Norwegia. Dia melihat dan beberapa kali kita ajak ke lapangan misalnya di Kalimantan Barat (Kalbar) kita ajak mendatangi masyarakat peduli api.
Kemudian, mereka kita ajak menyemprot kebakaran hutan itu seperti apa. Mereka bisa merasakan betul betapa susahnya, betapa heroiknya Manggala Agni kita.
Saya sendiri mendampingi tim Norwegia ke Raja Ampat, bagaimana masyarakat adat itu kita libatkan dalam pengelolaan hutan itu. Itu mereka melihat bahwa pemerintah itu betul-betul mengatur, membimbing masyarakat, mengajak masyarakat aktif untuk bersama-sama mengelola hutan dengan lebih baik.
