INFOGRAFIK: Deflasi Beruntun di Akhir Masa Jokowi
Selama lima bulan berturut-turut, pada Mei-September 2024, Indonesia mengalami deflasi antara 0,03% hingga 0,18%. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi ini yang terpanjang sejak 1999 yang terjadi selama tujuh bulan.
BPS menyebut, deflasi disebabkan penurunan harga komoditas bergejolak (volatile food) dan BBM non subsidi. Beberapa komoditas pangan yang mengalami penurunan antara lain, daging ayam ras, telur ayam ras, bawang merah, bawang putih, tomat, hingga cabai merah dan cabai rawit.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, penurunan harga pangan ini merupakan hasil kerja dari Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah untuk menjaga harga pangan yang terjangkau.
Hal yang sama disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa situasi ini sebagai keberhasilan pemerintah mengendalikan harga pangan. “Suatu perkembangan positif karena akan sangat menentukan daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah bawah, di mana pangsa pengeluaran untuk makanan paling besar,” kata dia pada Jumat, 4 Oktober.
Namun, deflasi yang terjadi dinilai ekonom sebagai sinyal perlambatan ekonomi. Hal ini seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah. “Ini bukan kesuksesan dalam mengendalikan inflasi, melainkan tanda masyarakat sedang menahan belanja,” kata Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Untuk diketahui, laju pertumbuhan konsumsi masyarakat Indonesia menurun dari 5,22% pada kuartal II-2023 menjadi 4,93% pada kuartal II-2024. Konsumsi kelompok menengah yang berkontribusi menyokong total konsumsi masyarakat Indonesia juga menurun, dari 41,8% pada 2018 menjadi 36,8% 2023.