KOMIK: Danantara Vs Kepercayaan Publik
Salah satu tantangan yang dihadapi Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) adalah meraih kepercayaan publik. Hal ini terlihat dari sejumlah polemik yang menyertai pendirian superholding pengelola dana kekayaan negara atau sovereign wealth fund (SWF) terbesar milik Indonesia tersebut.
Begitu Danantara diluncurkan, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan. Di media sosial, muncul wacana penarikan uang dari rekening di bank-bank milik pemerintah. Begitu juga muncul kekhawatiran jika Danantara menjadi ladang korupsi, sebagaimana yang pernah dialami Malaysia dengan 1MDB.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, polemik ini muncul lantaran krisis kepercayaan masyarakat kepada Danantara. Apalagi, pengurus superholding ini ada yang merangkap jabatan.
“Menteri diawasi menteri, ini lucu. Operator merangkap regulator,” kata dia dalam acara “Diskusi Publik: Danantara Bagaimana dan Untuk Siapa?” pada 24 Februari.
Kendati begitu, kehadiran Danantara dianggap penting untuk mendongkrak investasi Indonesia. Jika performanya baik, iklim investasi bisa membaik.
Dalam catatan World Bank Business Ready Index iklim investasi Indonesia berada di bawah Vietnam dan Singapura. Indeks tersebut memperhitungkan kepastian kerangka hukum, pelayanan publik yang baik, serta efisiensi regulasi, yang merupakan aspek penting dalam kemudahan berinvestasi di sebuah negara.
Indef menilai Danantara perlu memperkuat transparansi dengan audit independen, penghapusan keterlibatan politik dalam lembaga, pemisahan peran regulator dan operator, hingga manajemen risiko yang ketat. Hal ini bertujuan agar Danantara mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi seperti Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia.
Ketua Dewan Pengawas Danantara sekaligus Menteri BUMN, Erick Thohir, menilai bahwa Danantara memiliki potensi tersebut. Meski begitu, dia menilai Danantara memerlukan waktu untuk membuktikannya.