INFOGRAFIK: Mengapa Bursa Saham Indonesia Anjlok?
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis, 27 Februari, ditutup melemah 1,8% ke level 6.485,45. Level IHSG ini adalah yang terendah sejak September 2021 atau era pandemi Covid-19. Sejak awal tahun (year-to-date), IHSG telah merosot hingga 8,4%.
Dalam lima bulan terakhir, aksi jual investor asing atau net foreign sell Indonesia mencapai Rp50 triliun. Dalam sepekan, investor asing yang melepas sahamnya di bursa Indonesia mencapai Rp6,8 triliun. Sejumlah faktor dalam dan luar negeri turut menjadi penyebab anjloknya bursa saham Indonesia.
Morgan Stanley Capital International (MSCI) terbaru menurunkan rating pasar saham Indonesia dari equal weight (EW) ke level underweight (UW). Indeks performa MSCI Indonesia juga terpuruk sebesar 22,4% yoy, terparah dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
Salah satu yang menjadi pertimbangan MSCI dalam menurunkan rating saham Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi yang melambat dan berdampak pada valuasi pasar modal Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari 5,05% pada 2023 menjadi 5,03% pada 2024.
Pasar saham Indonesia juga menunjukkan sentimen negatif atas peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Superholding badan usaha milik negara (BUMN) yang diresmikan Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 24 Februari lalu ini, dipertanyakan investor, terutama terkait transparansi dan tata kelola badan.
“Ada kekhawatiran dan skeptisme investor terhadap prospek Danantara,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Budi Frensidy kepada Katadata.co.id, Kamis, 27 Februari.
Berbagai kebijakan dan program prioritas pemerintahan Prabowo juga berpotensi memperlebar defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2025 yang meresahkan pasar saham. Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat memprediksi, defisit APBN Indonesia bakal mencapai sekitar Rp800 triliun pada 2025.
Sedangkan dari faktor global, perang dagang dan kebijakan tarif bea masuk yang diterapkan AS turut membuat investor lebih berhati-hati. Indonesia berpotensi terimbas tarif bea masuk 25% terhadap impor baja dan aluminium. Kebijakan agresif ini berpotensi menyebabkan inflasi tetap tinggi dan penurunan suku bunga The Fed menjadi lambat.