Sejarah Imlek di Indonesia, Termasuk Larangan Perayaan di Orde Baru
Perayaan Tahun Baru Imlek 2023 akan segera datang. Kali ini, Tahun Baru Imlek 2023 menandai tahun Kelinci, khususnya Kelinci Air.
Di Indonesia, libur Tahun Baru Imlek 2023 jatuh pada Minggu, 22 Januari. Sementara itu, untuk cuti bersama perayaan Tahun Baru Imlek 2023 jatuh pada keesokan harinya yaitu Senin, 23 Januari 2023.
Sejarah Imlek Awal Kemerdekaan Indonesia
Dikutip dari laman Student-activity.binus.ac.id, sejarah Imlek di Indonesia dimulai keputusan Osamu Seirei Nomor 26 pada 1 Agustus 1943 saat masa pendudukan Jepang. Ini merupakan penetapan hari libur resmi Imlek pertama di Indonesia.
Kebijakan itu masih terus berlangsung hingga masa awal kemerdekaan. Bahkan, Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat yaitu bendera kebangsaan Cina boleh dikibarkan setiap Imlek. Dalam Penetapan Pemerintah tentang Hari-hari Raya Umat Beragama No.2/OEM-1946, perayaan hari raya orang Tionghoa, turut dicantumkan segera setelah kemerdekaan Indonesia.
Pada pasal 4 peraturan tersebut, ditetapkan 4 hari raya orang Tionghoa, di antaranya Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu pada tanggal 18 bulan 2 Imlek, Ceng Beng, dan hari lahirnya Khonghucu pada tanggal 27 bulan 2 Imlek.
Melalui peraturan tersebut, Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili ditetapkan sebagai hari raya Agama Tionghoa. Orang-orang Tionghoa saat itu bisa berekspresi secara bebas, seperti berbahasa Mandarin, bahasa lokal, memeluk agama Konghucu, memiliki surat kabar berbahasa Mandarin, menyanyikan lagu Mandarin, dan memiliki nama Cina.
Sekolah, toko, restoran, dan bengkel bisa memasang plang bertulisan Mandarin. Maka dari itu, perayaan Imlek sudah dimulai sejak saat tersebut, dan menjadi titik awal perayaan tahun baru Imlek di Indonesia.
Sejarah Imlek Masa Kepemimpinan Soeharto
Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina pada 6 Desember 1967. Instruksi tersebut menetapkan seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Dalam sejarah Imlek perayaan hari besar tersebut tidak berlansung saat masa Soeharto, kalaupun ada warga yang merayakan, mereka harus melakukannya secara tersembunyi. Aturan tersebut berlaku segera setelah Soeharto melarang Partai Komunis dan ajaran Komunis.
Aturan tersebut juga berimbas pada larangan peredaraan atau aktivitas kebudayaan Tionghoa di tengah masyarakat, seperti pelarangan berbahasa Mandarin, Hokkien, dan Hakka, tidak diakuinya agama Konghucu, dan pembekuan hubungan diplomatik dengan Cina. Bahkan kaset-kaset musik Cina juga dilarang.
Sejarah Imlek Masa Gus Dur
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967 pada 17 Januari 2000. Pencabutan aturan ini menjadikan masyarakat Tionghoa memperoleh kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya.
Pencabutan Inpres tersebut juga memungkinkan warga Tionghoa untuk merayakan upacara-upacara agama seperti imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya secara terbuka. Kemudian pada 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Hari libur fakultatif adalah hari libur yang tidak ditentukan pemerintah pusat secara langsung, melainkan oleh pemerintah daerah setempat atau instansi masing-masing.
Perayaan Imlek sebagai hari libur nasional selanjutnya mulai diterapkan pada era Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri, melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002. Masyarakat Tionghoa saat itu dalam masa transisi menjalani kembali perayaan imlek di ruang publik tanpa rasa takut setelah pelarangannya berlangsung 30 tahun. Imlek sebagai hari libur nasional bertahan hingga hari ini.
Sejarah Imlek di Daratan Cina
Menurut catatan sejarah Imlek, peringatan tahunan ini sarat akan berbagai tradisi yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu di daratan Cina. Dikutip dari laman Chinahighlights.com, sejarah Imlek di negara tirai bambu dimulai terjadi pada zaman Dinasti Shang pada 1600-1046 sebelum masehi (SM), sekitar 3500 tahun lalu.
Pada zaman itu, orang-orang mengadakan upacara pengorbanan sebagai bentuk menghormati dewa dan leluhur yang dilakukan setiap awal serta akhir tahun. Momentum tersebut juga menjadi ritual untuk mempersembahkan korban kepada leluhur atau dewa, sekaligus menyembah alam sambil memberkati hasil panen pada pergantian tahun.
Masih berlatar era Dinasti Shang, sejarah Imlek turut diwarnai dengan cerita legenda terkait serangan monster bernama Nian. Nian digambarkan berupa monster kejam bergigi taring, pemakan hewan ternak, hasil bumi, sampai manusia.
Sosok Nian juga dianggap seperti 'monster tahunan' yang selalu menyerang kehidupan manusia setiap malam tahun baru. Salah satu cara untuk mencegah serangan Nian yang menghancurkan harta benda.
Warga rela menghidangkan beberapa makanan di setiap pintu rumah untuk Nian. Konon, menurut nasihat leluhur, monster Nian takut dengan suara keras (petasan) dan hal-hal berwarna merah.
Oleh sebab itu, orang-orang mulai memasang lentera merah dan gulungan kertas merah di setiap jendela serta pintu rumah mereka untuk mencegah Nian masuk. Lalu, ada juga bambu bakar atau sekarang diganti dengan petasan untuk menakut-nakuti Nian.
Hal ini dipercaya membuat Nian tidak pernah muncul lagi. Berlanjut ke era Dinasti Han pada 202 SM - 220 M, perayaan Imlek semakin populer.
Salah satu tradisi yang paling dikenal kala itu adalah membakar bambu untuk membuat suara retakan yang keras. Di tahun ini juga, Dinasti Han menetapkan tanggal Tahun Baru Cina atau Festival Musim Semi berdasarkan kalender Lunar Tiongkok.
Rangkaian festival Imlek mulai bervariasi, khususnya ketika memasuki era Dinasti Wei dan Jin (220-420). Ritualnya tidak hanya upacara pengorbanan pada leluhur, melainkan ada kegiatan membersihkan rumah, makan bersama, sampai acara hiburan.
Kegiatan Tahun Baru Imlek justru semakin meriah pada era Dinasti Tang hingga Qing karena kemakmuran ekonomi. Pada era Dinasti Tang, ritual inti masih terus dilakukan, namun ada beberapa hal lain yang menjadi tambahan.
Di antaranya perayaan petasan, pertunjukan lampion, pameran kuil, hingga mengunjungi sanak saudara. Festival Musim Semi ini perlahan mulai mengikuti zaman menjadi lebih modern tapi tetap religius.
Perbedaannya ada pada kegiatan pendukung yang lebih menghibur. Terlebih di masa seperti sekarang, selain beribadah, umat Tionghoa berlomba-lomba mendekor hunian mereka dengan segala macam ornamen khas Imlek, sehingga semakin berwarna.
Demikian rangkuman singkat mengenai sejarah Imlek Indonesia dari zaman ke zaman, yang diperingati sebagai perayaan Tahun Baru Cina.