Memahami Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Pers
Pers menjadi salah satu kegiatan jurnalistik yang telah hadir dalam masyarakat sebagai penyambung lidah antara pemerintah dan rakyat. Namun, terdapat ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pers yang perlu diketahui.
Para pihak pers meliputi wartawan, pers nasional, pers asing, perusahaan pers. Selain itu, aksi yang menjadi pembahasan dalam undang-undang pers adalah hak tolak, pembredelan, hak jawab, hak koreksi, penyensoran, dan lain sebagainya.
Ketentuan pidana dalam undang-undang pers tercantum pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Untuk memahami lebih lanjut, simak pembahasan tentang pengertian pers dan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pers dalam ulasan di bawah ini.
Pengertian Pers Menurut Undang-undang
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Pers, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Sedangkan pers nasional yang tercantum pada Pasal 1 ayat (5) UU Pers adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia. Berlainan dengan pers nasional, pers asing yang tercantum pada Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Pers adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers asing.
Ketentuan Pidana dalam UU Pers
Ketentuan pidana dalam UU Pers tercantum pada Pasal 18 ayat (1) hingga (3) UU Pers. Berikut ini beberapa ketentuan pidana dalam pasal tersebut beserta penjelasannya.
1. Larangan Penyensoran, Pembredelan atau Pelarangan Penyiaran
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pers yang pertama yakni larangan tindakan tertentu. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pers menentukan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Sementara itu, Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pers berbunyi “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.” dan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pers menegaskan: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi."
Pengertian dari penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
Sementara maksud dari pembredelan atau pelarangan penyiaran yakni penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Pengertian tersebut sesuai dengan UU Pers.
Berdasarkan penjelasan di atas, muncul larangan terkait tindakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan siaran. Pasalnya, pers memiliki hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Jika ada pihak yang melanggar ketentuan ini atau melakukan tindakan yang mampu menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan tersebut, maka terhadapnya dikenakan sanksi berupa pidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta.
2. Larangan Bagi Perusahaan Pers
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pers yang kedua adalah terkait larangan bagi perusahaan pers. Pasal 18 ayat (2) UU Pers menegaskan bahwa: “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Sementara itu, Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Pers berbunyi “Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah” dan “Pers wajib melayani Hak Jawab”
Kemudian, pada Pasal 13 UU Pers, terdapat beberapa larangan yang dilakukan oleh perusahaan pers. Adapun, larangan yang dimaksud, berkaitan dengan penyajian iklan, yakni sebagai berikut:
- Berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
- Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Peragaan wujud rokok dan/atau penggunaan rokok.
Berdasarkan penjelasan di atas, pelanggaran tersebut membuat perusahaan pers dikenakan pidana berupa denda maksimal Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Kemudian, pihak yang mewakili perusahaan pers tersebut adalah penanggung jawab yang sebelumnya telah diumumkan secara terbuka melalui media yang bersangkutan.
3. Bentuk Perusahaan Pers dan Kewajibannya
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pers berikutnya adalah bentuk perusahaan pers dan kewajibannya. Hal ini tercantum dalam Pasal 18 ayat (3) yang berbunyi “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).”
Sementara itu, Pasal 9 ayat (2) UU Pers berbunyi “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia” dan Pasal 12 UU Pers menegaskan, “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan”.
Jika kedua ketentuan tersebut dilanggar, terdapat sanksi yang menyertainya. Sanksi tersebut berupa pidana denda maksimal Rp 100 juta.
Demikian penjelasan terkait ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pers selengkapnya beserta sanksi yang menyertainya.